Keterbukaan, Toleransi, Cinta-kasih dan Universalisme

Untuk bisa benar-benar terbuka, seseorang mesti berani menyingkirkan semua kepercayaan yang membuatnya fanatik, yang membuatnya hanya bisa menerima bahwa kepercayaan yang dianutnyalah yang benar, yang mengajarkan dan membimbing menuju kebenaran itu sendiri. Keterbukaan tak pernah bisa sejalan dengan fanatisme, sementara akan selalu seiring-sejalan dengan toleransi.

Keterbukaanlah yang membuat seseorang bisa menerima yang benar sebagai benar kendati itu bukan anutan formalnya, dan yang salah sebagai salah, atau yang keliru sebagai keliru walaupun itu adalah anutan formalnya. Keterbukaan jualah yang membuat seseorang bisa bersentuhan dengan apa yang disebut dengan universalisme itu.

Perlu kiranya dipahami kalau keterbukaanlah yang menghadirkan toleransi; bukan sebaliknya. Saya bisa mentolerir kesemena-menaan penguasa atau kelompok mayoritas, hanya lantaran saya tak punya keberanian dan kemampuan untuk menentangnya, dan seakan-akan toleran seraya berkata: ‘Agamamu adalah agamamu, dan agamaku adalah agamaku.’ Tapi toleransi saya itu bukan berpangkal pada keterbukaan saya; ia hanyalah ‘toleransi semu’. Atau, saya bisa saja menerima dan mencintai istri saya yang beragama Islam tanpa harus ikut beragama Islam misalnya, dan hidup bersamanya sampai akhir hayat, bukan lantaran saya benar-benar toleran melainkan karena saya memang benar-benar mencintainya. Cinta saya itulah yang melahirkan sikap toleran, karena cinta-kasih itu sendiri bersifat universal.

Makanya, kalau saya benar-benar mencintai kesejatian, kebenaran, keluhuran, kebaikan dan kemuliaan yang bersifat universal itu, saya pasti bisa benar-benar bersikap toleran; karena pada saat yang bersamaan saya akan terbuka terhadap yang saya cintai.

Hanya melalui keterbukaan sajalah saya mungkin memahami dan menerima keluhuran dan ajaran luhur manapun, dan dengan begitu saya bisa benar-benar toleran terhadap kebodohan dan kedunguan manapun terkait dengannya. Saya bisa saja sangat mencintai —bukan sekedar menghormati dan mengidolakan— Jesus atau Muhammad tanpa harus menjadi seorang Kristiani ataupun Muslim. Sebab keterbukaan itu memungkinkan saya mengkristalisasikan keluhuran universal dari semua ajaran luhur dalam kehidupan ini.


" Apapun mungkin akibatnya, dengan sadar, saya selalu berjuang mematuhi hukum tanpa-kekerasan dengan suka-rela dan tiada henti. ... Semakin banyak saya berkiprah di wilayah hukum ini, semakin besar saya merasakan keceriaan dalam hidup ini, keceriaan dalam lingkup universal. Ia memberi saya sebentuk kedamaian dan sebuah makna akan misteri-misteri alam —yang tak mampu saya paparkan."

Mahatma Gandhi.