Kasih Sayang


Dari semua Kualifikasi Luhur sebelumnya, Kasih-sayanglah yang terpenting; sebab, jika ia cukup kuat didalam kepribadian seseorang, ia akan mendorong orang itu untuk memiliki yang lainnya, dan yang lain itu tidak akan sempurna tanpa kasih-sayang. Ia kerap kali diterjemahkan sebagai hasrat yang kuat untuk bebas dari lingkaran-setan kelahiran dan kematian, dan untuk manunggal dengan Tuhan[1]. Tetapi hanya mengartikannya demikian akan terdengar seolah-olah mementingkan diri sendiri, padahal itu baru sebagian dari maknanya yang begitu luas. Ini bukanlah semata-mata keinginan melainkan kemauan, hasrat yang kuat, ketetapan hati. Agar berhasil, ketetapan hati ini mesti mengisi seluruh kehidupan Anda, sehingga tak tersisa lagi ruang bagi bentuk perasaan lain. Inilah sesungguhnya hasrat yang kuat untuk manunggal dengan Tuhan itu; bukan dalam rangka melarikan diri dari kesulitan-kesulitan dan penderitaan hidup, melainkan —atas dasar cinta-kasih Anda yang mendalam kepada-Nya— Anda hendak bertindak bersama Dia dan seperti Dia. Karena Beliau adalah Kasih-sayang, maka jika Anda ingin menyatu dengan-Nya, Anda sendiri mestilah dipenuhi dengan ketidak-mementingkan diri sendiri dan Kasih-sayang yang sempurna itu juga.


Dalam kehidupan sehari-hari ia punya dua makna; pertama, Anda mesti benar-benar berhati-hati agar tidak sampai menyakiti makhluk-hidup manapun[2]; kedua, hendaklah Anda senantiasa siap-siaga dalam menyambut setiap kesempatan untuk menolong.
Pertama, jangan menyakiti. Ada tiga dosa yang menimbulkan derita besar bagi orang lain dibanding yang lainnya di dunia —fitnah, kebengisan dan takhayul— sebab mereka bertentangan dengan Kasih-sayang. Terhadap tiga dosa inilah seseorang — yang berhasrat mengisi hatinya dengan Kasih-sayang Tuhan— mesti senantiasa waspada.


Mari kita lihat apa yang diperbuat oleh fitnah. Ia diawali dengan pemikiran jahat, dan ia sendiri adalah kejahatan. Sebab di dalam diri setiap orang atau di dalam segala sesuatu ada kebaikan; di dalam diri setiap orang atau di dalam segala sesuatu juga ada ketidak-baikan. Yang manapun bisa kita perkuat dengan cara memikirkannya, dimana dengan cara ini kita bisa membantu atau sebaliknya menghalangi evolusi; kita bisa melakukan kehendak Logos[3] atau sebaliknya menolak-Nya. Jika Anda memikirkan kejahatan orang lain, pada saat yang sama Anda juga melakukan tiga kejahatan:
1.Anda telah mengisi pikiran orang lain dengan pemikiran jahat, bukannya pemikiran luhur, dengan demikian Anda telah menambah kesengsaraan dunia.
2.Jika memang benar ada kejahatan seperti yang Anda sangka pada orang itu, Anda telah memperkuat dan memberinya santapan; dengan begitu Anda telah membuat Saudara Anda lebih buruk lagi dari sebelumnya, dan bukannya menjadikannya lebih baik. Tetapi umumnya kejahatan itu tidak ada disana, Anda hanya mengkhayalkannya; dan kemudian pemikiran jahat Anda menggoda Saudara Anda itu untuk melakukan kesalahan, karena ia sendiri tidak sempurna, Anda bisa membuatnya menjadi apa yang Anda pikirkan.
3.Anda telah mengisi batin Anda sendiri dengan pemikiran-pemikiran jahat dan bukannya luhur; dimana dengan begitu Anda telah menghalangi perkembangan Anda sendiri, dan bagi mereka yang bisa melihatnya, Anda membuat diri Anda sebagai suatu objek yang buruk-rupa dan menyedihkan, bukannya seseorang yang cantik dan membangkitkan cinta-kasih.


Tidak puas dengan menghadirkan malapetaka bagi dirinya sendiri dan korbannya itu, fitnah mencoba lagi dengan sekuat daya mengajak orang-orang lain sebagai partnernya di dalam tindakan jahatnya ini. Dengan bersemangat ia menuturkan dongeng jahatnya ini kepada mereka, dengan harapan mereka mempercayainya; untuk kemudian bergabung bersamanya mencurahkan pemikiran jahat terhadap penderita malang itu. Ini berlangsung berhari-hari, dimana ini tidak hanya dilakukan oleh seorang saja melainkan [bisa dilakukan] oleh ribuan orang. Apakah Anda mulai melihat betapa mendasarnya, betapa mengerikannya, dosa ini adanya?
Anda harus menghindarinya sema-sekali. Jangan pernah membicarakan keburukan siapapun; jangan mau dengarkan kalau siapapun membicarakan kejelekan orang lain, dan katakanlah dengan sopan: ‘Barangkali itu tidak benar, dan seandainya benar sekalipun adalah lebih baik tidak membicarakannya.’




Note :
[1] Dalam Yoga, khususnya Jñana Yoga, ini disebut mumukshutva.
[2] Apa yang disebut dengan Ahimsa di dalam Yoga Sutra Patanjali.
[3] Disini digunakan istilah Logos. Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary memberinya penjelasan sebagai: [1] Kebijaksanaan Ilahi yang bermanifestasi di dalam penciptaan, pemerintahan, dan penyelamatan dunia dan seringkali dipersamakan dengan sosok kedua di dalam Trinitas Kristen, dan [2] Nalar yang dalam filsafat Yunani merupakan prinsip pengendali di alam semesta.

Bacalah, yang tersirat bukan yang tersurat.


Ternyata membaca yang tersirat dari apa yang tersurat bukanlah sesuatu yang mudah. Sekedar membaca apa yang tersurat, setiap orang yang melek-huruf kendati buta-mata, bisa melakukannya. Makanya, seseorang bisa saja hafal di luar kepala apa yang pernah dibacanya, tapi sama-sekali tak mengerti apa yang dimaksud. Padahal kata-kata bukanlah sekedar yang tertulis atau terucap, namun mengandung suatu makna yang bisa jauh melampaui kehadiran kata-kata atau sekedar deretan huruf-huruf.


Demikian juga menyimak dari apa yang terdengar. Telinga ini bisa saja saat itu mendengar berbagai bunyi dan suara, akan tetapi, apabila kita tidak memberi cukup perhatian kepada semua itu, kita sebetulnya sama-sekali tidak menyimaknya; apalagi mencamkannya, meresapinya, memasukkannya ke hati. Kendati kita menyimaknya sekalipun, kita belum tentu mengerti apa yang dimaksud; sehingga kita tidak berhasil menangkap pesan —yang boleh jadi sangat penting dan bermanfaat— daripadanya.

Saat kita berbicara, menyampaikan apa yang ada di benak kita, kita tidak ada dalam status yang siap menyimak. Begitu pula ketika kita ngoceh di benak kita. Untuk bisa benar-benar menyimak, bukan saja kita tidak boleh tuli atau mulut ini bungkam, namun benak inipun harus bungkam, sepi dari ocehan, omelan, sepi dari bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan. Singkatnya, benak ini mesti hening.


Untuk bisa menangkap yang tersirat dari yang tersurat, menangkap pesan atau maksud dari apa yang terdengar, bukan saja dibutuhkan perhatian secukupnya, namun juga butuh ketajaman dan kejernihan; butuh batin yang tajam dan jernih. Dimana, dalam batin yang hening inilah mungkin punya ketajaman dan kejernihan.


Mungkin ada yang menyangka kalau persoalannya adalah menghenengkan gelora dan gejolak batin ini. Tidak hanya itu. Menggunakan obat-obatan tertentu gelora perasaan dan gejolak pikiran bisa dipaksa heneng dengan relatif mudah —sehingga telaga batinpun heneng. Tapi keheningan yang timbul karena pemaksaan, bukan saja lembam, tapi juga tumpul dan tidak awas; tak punya ketajaman dan kejernihan. Batin meditatiflah yang punya kualitas-kualitas yang dibutuhkan itu, yang punya kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk menangkap yang tersirat dari yang tersurat serta menyimak yang terdengar.