Perlukah semua umat manusia jadi orang suci ...?


“Memperbaiki dunia mesti diawali dengan memperbaiki diri sendiri”; ungkapan bijak ini mungkin sudah sering kita dengar. Kalau kita menerimanya sebagai sebentuk kebenaran, maka bagi kebanyakan dari kita, persoalannya justru tertumpu pada ‘memperbaiki diri sendiri’ ini. Apa yang mengawali perbaikan diri sendiri ini? Dan bagaimana saya mesti memperbaiki diri saya ini, kalau saya sendiri tidak tahu betul akan apa atau siapa adanya diri saya ini, kalau saya sendiri tidak jelas akan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya, akan cacat-cela dan keburukan-keburukannya?


Yang akan menemui jalan-buntu, didalam mengawalinya adalah, mereka yang justru telah merasa sangat mengenal dirinya dimana tak ada yang perlu diperbaiki lagi dan berkata: “Beginilah saya adanya. Dan ini sudah sangat baik untuk saya dan keluarga saya. Buktinya saya nyaman-nyaman saja kok ... Saya dan keluarga hidup sejahtera, serba berkecukupan; tidak hanya itu, kami sering berderma serta membantu berbagai kegiatan amal kemanusiaan serta lingkungan hidup. Mesti diperbaiki seperti apa lagi?”


Yang seperti itu tentu tak merasa perlu mengenal dirinya sendiri lebih jauh dan lebih dalam lagi, dan cenderung akan langsung berbuat ini dan itu untuk memperbaiki dunia. Akibatnya ... seperti yang kita nikmati sekarang inilah. Bisa dirasakan sendiri. Kita tahu, entah sudah berapa banyak Nabi, para Maharshi dan Rshi, para orang-orang suci, para santa atau santo atau yang sejenisnya, yang hidup di dunia; entah sudah berapa banyak politis atau negarawan yang berkaliber dunia, entah sudah berapa banyak para jenius dan ilmuwan dunia, tapi tampaknya dunia tak kian membaik, bahkan kian parah. Kenapa? Adakah mereka itu tak ada pengaruh positifnya sama-sekali terhadap perbaikan dunia? Bagaimana ini? Dimana letak persoalannya? Memang tidak mampukah agama-agama besar dunia —yang kini sudah terpecah-belah dalam banyak serpihan-serpihan kecil sekte-sekte, cults, sampradaya atau yang sejenisnya— itu memperbaiki dunia? Haruskah semua umat manusia jadi orang suci yang arif dan bijak bestari agar dunia bisa benar-benar membaik? Tapi mungkinkah itu?


Merasa sudah baik dan terus-menerus menghimpun kebajikan duniawi —yang memang dilakukan oleh tak sedikit orang— terbukti belum cukup. Atau, jangan-jangan malah justru memperunyam. Lebih dari satu millennium yang silam seorang Jagatguru dimintai nasehat oleh seorang mentri sebuah kerajaan tentang bagaimana agar negri mereka aman, makmur, sejahtera, damai dan sentosa, sang Guru berkata singkat: “Taruhlah kepala di kepala, dada di dada, tangan di tangan dan kaki di kaki.” —“Tempatkan orang-orang yang tepat di posisi yang tepat”.


Tapi, sadarkah kita kalau posisi kita sekarang ini sangat boleh jadi sebetulnya bukan posisi yang tepat —baik bagi kita sendiri maupun bagi dunia— sehingga tanpa kita sadari kita sudah berkontribusi terhadap carut-marutnya dunia? Sadarkah kita?