Manusia Kreatif yang Hidup Anonim

Pernahkah Anda renungkan? Kita sebetulnya ingin termasyhur, apakah sebagai seorang penulis, penyair, pelukis, politisi, artis, atau apa saja. Kenapa? Karena kita sesungguhnya tidak mencintai apa yang kita kerjakan. Jika Anda cinta menyanyi, atau melukis, atau menulis sajak —jika Anda sungguh-sungguh cinta itu— Anda tidak akan peduli apakah Anda termasyhur atau tidak. Ingin menjadi termasyhur bersifat murahan, remeh, bodoh, tidak punya arti; tetapi, lantaran kita tidak mencintai apa yang kita kerjakan, kita ingin memperkaya diri kita dengan kemasyhuran.

Pendidikan kita yang sekarang ini bobrok, oleh karena ia mengajarkan kita untuk mencintai kesuksesan, dan bukan mencintai apa yang kita kerjakan. Hasil menjadi lebih penting daripada tindakan.

Adalah baik untuk menyembunyikan kecemerlangan Anda di balik karung, untuk anonim, mencintai apa yang Anda lakukan dan tidak memamerkannya. Adalah baik untuk baik-hati tanpa demi sebuah nama. Itu tidak menjadikan Anda termasyhur, itu tidak membuat foto Anda terpampang di koran-koran. Para politisi tidak akan bertandang ke rumah Anda. Anda sekadar manusia kreatif yang hidup anonim, dimana disana ada kekayaan serta keindahan agung.

Kenapa Bertanya ?

Ada banyak motif yang melatar-belakangi kenapa kita bertanya. Kita bertanya bisa digerakkan oleh ‘rasa ingin-tahu’ dimana kita memang benar-benar tidak tahu akan hal yang ditanyakan. Masih dalam kategori ini, kita juga bisa bertanya karena ingin-tahu lebih jauh lagi, lebih dalam lagi tentang sesuatu atau seseorang atau sekelompok orang. Yang seperti ini bisa kita sebut sebagai ‘pertanyaan murni’.

Motif lain adalah ‘menguji’ —apakah itu untuk menguji sampai dimana seseorang memahami hal yang ditanyakan itu, ataukah sekedar untuk menguji apakah apa yang sudah kita ketahui tentangnya bersesuaian atau setara dengan yang diketahui oleh orang yang kita tanyai. Dalam yang disebutkan belakangan ini, terjadi proses membandingkan, menilai maupun mengukur. Yang seperti ini bisa kita kelompokkan kedalam jenis ‘pertanyaan menguji’.

Kita juga bisa bertanya untuk mengklarifikasi sesuatu, karena sesuatu itu belum begitu jelas buat kita. Berbeda dengan yang sebelumnya, kita sudah punya pengetahuan tentang yang dipertanyakan, namun kita merasakannya sebagai kurang lengkap, sehingga kurang jelas buat kita. Yang seperti ini, sebutlah dengan ‘pertanyaan klarifikasi’. Yang sangat mirip dengan ini adalah —apa yang kita sebut saja dengan— ‘pertanyaan mengusut’.

Jadi, berdasarkan motifnya, terlihat kalau sekurang-kurangnya adanya empat jenis pertanyaan, dengan empat motif yang menggerakkan kita untuk bertanya. Atau kalau diciutkan lagi, malah hanya ada dua —‘pertanyaan murni’ dan ‘pertanyaan tidak-murni’— dimana di dalam ‘pertanyaan tak-murni’ termasuk juga pertanyaan yang tak butuh jawaban, yang hanya bersifat ‘peyakinan’.

Nah ... sekarang pertanyaannya adalah: Di dalam kehidupan sehari-hari, pertanyaan yang manakah yang paling sering kita tanyakan? Yang murni ataukah yang tak-murni? Jawaban daripadanya bisa memberi sebagian gambaran tentang siapa kita ini, orang macam apakah kita ini, yang boleh jadi sangat berguna bagi kita, bagi pembelajaran-diri di dalam kelahiran berjasad ini.


" Tiada cara logis untuk mengungkap hukum-hukum elemental. Yang ada hanyalah cara intuitif, yang dibantu oleh suatu ketajaman rasa, terhadap runtutan yang melandasi di balik suatu penampakan. "

- Albert Einstein -

Berani Mati, tapi Takut Hidup

Yang memandang keberadaannya sebagai ‘raga yang berjiwa’ tidak akan pernah bisa melihat semua makhluk-hidup sebagai setara, tidak bisa menerima kalau segenap umat manusia bersaudara, tidak akan bisa menerima bahwa kita semua pada dasarnya sama. Karena raga atau jasmani —yang kasat-indria— inilah yang membedakan kita. Di mata mereka, itulah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, secara fundamental. Yang memandang keberadaannya sebagai ‘raga yang berjiwa’ akan selalu membeda-bedakan; ini cantik—itu jelek, ini keturunan bangsawan—itu keturunan rakyat jelata, ini kaya—itu miskin, ini lelaki dan itu wanita, ini tua dan itu muda, dst...dst....Sebab bagi mereka perbedaan itu sangatlah nyata, kasat-indria.

Pola-pikir kasat-indria (sakala) sangat bersesuaian dengan pola-pandang ini. Padahal, nyaris tak ada manusia duniawi yang tidak menganut pola-pandang ini. Inilah persoalan pelik yang akan dihadapi oleh siapa saja yang punya niat luhur mempersatukan umat manusia. Mereka lebih suka mengurung dirinya di dalam kerangkeng-kerangkeng pemikiran sempit dan sumpek, ketimbang bebas di dalam terbuka dalam segala keleluasaannya. Walaupun mereka berkoar-koar menyuarakan kebebasan; padahal sebetulnya mereka takut bebas; mereka menatap kebebasan dengan rasa ngeri.

Yang menganut pola-pandang ini juga sangat takut pada kematian. Kalangan merekalah yang melontarkan ‘fitnah’ bahwa, “hidup ini hanya sekali saja” —makanya nikmatilah kesenangan duniawi dan kenikmatan ragawi sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya; kalangan mereka jualah yang mensugesti publik dengan kebohongan bahwasanya “kematianlah yang paling menakutkan di muka Bumi ini”. Mereka lupa kalau mereka sendiri lebih takut kepada penderitaan hidup ketimbang kematian itu sendiri. Kalangan mereka ini jualah yang akan lari terbirit-birit dan lebih memilih mati ketimbang hidup sengsara. Walaupun mereka kelihatan menggagah-gagahkan dirinya sebagai ‘pasukan berani mati’, sebetulnya mereka ‘sangat takut hidup’.

Kalau mau dilihat sedikit lebih ke dalam lagi, dengan sedikit lebih seksama lagi, sebetulnya kita juga berbeda dalam kualitas mental. Kepribadian kita masing-masing berbeda. Namun tak berarti kalau perbedaan itu tak bisa dipersatukan, diselaraskan, diharmoniskan. Sesuatu yang secara hakiki tidak berbeda dengan yang lainnya, selalu bisa dipersatukan.

Fakta ini bisa dibuktikan langsung. Adanya bahtera rumah-tangga —darimana kita dihasilkan misalnya— merupakan salah-satu bukti konkrit yang tiada terbantahkan. Kalaupun mau diuraikan secara ilmiah, tubuh inipun sebetulnya terbuat dari unsur-unsur dasar hakiki yang sama. Demikian pula tataran mental ini. Kita semua punya pikiran —yang merupakan sisi aktif dari mental, serta perasaan— yang merupakan sisi pasifnya. Betapa rendahpun kepekaannya, kita sama-sama punya persepsi dan kecerdasan. Kita juga sama-sama punya naluri, yang kalau berhasil dispiritualisasikan bisa menjadi intuisi. Dan yang paling mendasar adalah, kita semua ‘merasa ada’, kita semua sadar, punya kesadaran —betapa rendahpun martabatnya.

Itu saja sudah menunjukkan kalau pada dasarnya kita ini sama. Terlalu banyak kesamaan esensial yang menyulitkan kita untuk membedakan diri. Padahal, kedua tataran ini —fisikal dan mental ini— bukanlah eksistensi hakiki kita. Mereka tak-ubahnya pakaian luar dan pakaian dalam yang kita kenakan. Seberapa seringpun kita berganti pakaian luar dan pakaian dalam, dalan sehari, kita tetap orang yang sama bukan? Kalaupun kita bersikeras hendak membedakan diri masing-masing, maka seharusnya kita bisa mengemukakan perbedaan esensialnya, perbedaan hakikinya. Bukan sekedar perbedaan superfisialnya —yang teramat sangat dangkal—itu. Apa lagi sekedar perbedaan atribut tempelan —seperti: jender, usia, suku, ras atau kebangsaan, agama atau kepercayaan atau ideologi, kedudukan atau jabatan, status sosial-ekonomi atau sosial-politik, dan lain sebagainya itu.

Ajaran luhur mengajarkan bahwa eksistensi hakiki kita semua adalah Jiva, Atman, Sang Diri-Jati. Kita bukanlah wujud ini; raga ini tak-ubahnya pakaian-luar dan batin sebagai pakaian-dalam yang dikenakan oleh Sang Jiva pada kesempatan tertentu, untuk kurun waktu tertentu, dan untuk kepentingan tertentu saja.

Semoga Cahaya Agung-Nya senatiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.

Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu semua insan.



You cannot live without dying. You cannot live if you do not die psychologically every minute...... To live completely, wholly, every day as if it were a new loveliness, there must be dying to everything of yesterday...

Takut Kehilangan Eksistensi

Hanya yang telah menemukan kesejatian sajalah yang mungkin mendatangkan kebaikan dan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat manusia dan dunia...


Kalau bukan yang utama, maka salah satu hal yang membuat orang takut meninggalkan kehidupan duniawi adalah takut kehilangan eksistensi di dalam lingkungan sosialnya. Akibatnya, masa pensiun —yang sebetulnya merupakan masa yang paling sesuai untuk itu— paling-paling hanya dimaknai dan diterapkan sebagai masa dimana tidak lagi melangsungkan kegiatan ekonomis-produktif seperti sebelumnya. Bukan saja banyak yang setelah mencapai usia pensiun masih juga bergiat di bidang ekonomis-produktif, namun banyak juga yang berkilah: “Bagaimana mungkin meninggalkan kehidupan duniawi sementara kita masih hidup di dunia ini?”

Eksistensi merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi kebanyakan orang. Orang bisa mengorbankan banyak hal demi eksistensi ini, karena di dalamnya juga ada penghargaan. Seseorang yang benar-benar eksis di lingkungan sosialnya juga dihargai oleh lingkungannya. Secara emosional, orang hanya merasa berharga bila dihargai, bila ada yang menghargai. Thus, penghargaan merupakan kebutuhan mental manusia. Tanpanya, manusia merasa kosong, merasa tidak berarti. Oleh karenanyalah, kehilangan eksistensi merupakan sesuatu yang lebih menakutkan dari kematian itu sendiri. Fenomena yang disebut dengan “post power syndrome” mengakar disini.

Namun, benarkah ‘meninggalkan kehidupan duniawi’ juga berarti kehilangan eksistensi sosial? Ternyata tidak. Anggapan itu samasekali keliru, tidak benar. Anggapan itu muncul dari anggapan keliru bahwasanya lingkungan sosial hanyalah lingkungan konvensional —yang penuh aktifitas fisikal dan mental, yang penuh gejolak dan gelora emosi— seperti yang kita kenal selama ini. Bahkan lebih sempit lagi, lingkungan sosial menurut sangkaan banyak orang hanyalah sebatas lingkungan sosial-ekonomis, dimana seseorang hanya dihargai bila ia menguasai banyak harta-benda atau dianggap punya nilai ekonomis yang tinggi lantaran profesi, keakhlian atau jabatan bisnisnnya. Kalaupun mereka masih mengenal slogan ‘manusia sebagai makhluk sosial’, maka yang mereka maksudkan hanyalah ‘makhluk sosial-ekonomis’. Makanya, dapatlah dimengerti mengapa sekarang ini orang-orang kaya ‘dirajakan’ dan uang ‘didewakan’.

Kehidupan duniawi memang dicirikan oleh dua tujuan utama: penguasaan harta dan pemuasan hawa-nafsu. Mereka beranggapan, dengan menguasai banyak harta mereka bisa membentengi dirinya dengan bangunan dan berbagai peralatan canggih, bisa menggaji pengawal atau tentara bayaran, mereka tak perlu merisaukan yang berkaitan dengan sandang, pangan, papan, obat-obatan dan kebutuhan fisikal lainnya. Secara keseluruhan, dengan menguasai harta mereka berharap bisa memperoleh rasa aman. Dengan menguasai harta pula mereka berharap bisa menikmati apapun yang mereka inginkan —termasuk di dalamnya: pangkat, jabatan, bahkan pengaruh dan penghormatan di masyarakat, ketenaran, kenikmatan dan pemuasan hawa-nafsu indriyawi, kemewahan dan kelimpahan materi, perlakukan bak seorang raja (eksistensi yang paling utama di dunia ini), dan sejenisnya— sehingga bisa menikmati kenyamanan. Kedua rasa ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Pemburuan terhadap kedua rasa inilah yang menjadi pokok perburuan serta mengisi segenap urusan yang ada di dalam kehidupan duniawi.

Namun, kalau saja kita sempat merasakan hanya secuil saja daripadanya untuk kemudian digunakan bahan perenungan, akan tampak jelas betapa kelirunya sangkaan ini. Apapun yang bisa diberikan dari penguasaan harta hanya bersifat sementara dan bersyarat. Tidaklah ada jaminan kalau harta itu bisa kita kuasai selama-lamanya. Kalaupun ia kita kuasai cukup lama, ia tetap tidak menjamin rasa aman; jangan-jangan malah membangkitkan kekhawatiran dan takut kalau-kalau ia segera habis, hilang, rusak atau sejenisnya. Penguasaan banyak harta ternyata juga bukan syarat satu-satunya dan otomatis guna bisa menikmati kenyamanan yang diidamkan. Kalau Anda sedang gundah atau sakit misalnya, bentuk-bentuk kenikmatan indriawi apapun tidak akan ada artinya buat Anda bukan? Semua itu semu sifatnya. Semua itu hanyalah sangkaan kita saja, karena kita menggandrungi dan mendambakannya.

Eksistensi yang berlandaskan, berkaitan dan bertumpu pada kesemuan —yang membuat kita sangat takut kehilangannya dengan meninggalkan kehidupan duniawi— tentu semu juga adanya. Dan ironisnya, saking takut kehilangan yang semu kebanyakan dari kita malah menghindari yang sejati.

Listen More, Speak Less !!!

Kita tak akan bisa belajar dari setiap orang apabila kita selalu merasa lebih tahu dari mereka. Pembelajaran-diri ini juga ibarat membuat kolam penampung air. Semakin rendah ia dibuat dibandingkan daerah sekitarnya, semakin banyak air akan mengalir ke dalamnya.

Untuk bertanya saja misalnya, ternyata membutuhkan kesiapan mental dan kerendahan-hati secukupnya. Kecuali hanya untuk mengujinya, Anda tak akan pernah mau bertanya kepada orang yang Anda anggap sama pengetahuannya dengan Anda, apalagi bila Anda anggap lebih rendah. Padahal, bisa saja ia mengetahui sesuatu yang samasekali tak pernah Anda ketahui sebelumnya, sejauh setiap orang punya pengalamannya masing-masing.

Kerendahan-hati atau kesediaan untuk merendah dan mendengar di dalam pembelajaran-diri memegang peranan penting. Terlebih lagi bilamana ia berhubungan dengan pengembangan-batin. Sebaliknya, sikap sok tahu dan suka menggurui, sama sekali tidak kondusif bagi pembelajaran-diri ini. Yang seperti ini akan lebih suka memperdengarkan ketimbang mendengar; lebih cenderung menggurui ketimbang berguru dan akan merasa hina untuk bertanya. Ada keangkuhan intelektual disini. Inilah sebabnya mengapa yang seperti ini akan sangat sulit memperluas wawasannya dan mengembangkan batinnya; sebaliknya, ia hanya akan berkubang dari itu ke itu saja.

Oleh karenanyalah harus dikikis dulu dan digantikan dengan kerendahan-hati, sebelum Anda benar-benar bisa belajar dari setiap orang, dari segala sesuatu, dari segala fenomena dan kejadian dalam hidup ini.

Suka menyepelekan merupakan penyakit lain yang paling mengganggu proses pembelajaran-diri. Ia berkerabat dekat dengan kecerobohan-mental. Manakala Anda menyepelekan sesuatu atau seseorang, maka Anda akan mengabaikannya begitu saja. Disana juga hadir sikap mental yang memandang rendah di satu sisi, sementara merasa lebih tinggi dan lebih superior, di sisi lainnya. Inilah yang menyebabkan lepasnya perhatian Anda terhadapnya.

Anda tidak akan memperhatikan sesuatu yang Anda anggap sepele bukan? Batin yang suka menyepelekan adalah batin ceroboh, batin yang tanpa perhatian. Padahal, batin hanya mampu belajar dengan baik bilamana ia penuh perhatian, sangat awas, menyelidik, kritis dan peka terhadap setiap kejadian dan segala sesuatu di sekitarnya. Batin seperti inilah yang akan mudah mengembang dengan pesat hingga batas-batas yang tiada terukur.

Tak Kenal Maka Tak Benci

Menuruti berbagai keinginan —baik yang bersifat fisikal maupun mental— hanya akan mempergemuk dan memperkuat egoisme. Menurutinya tak-ubahnya juga memberinya pupuk. Berbagai hasrat dan keinginan inilah yang membentuk kegandrungan serta mengundang berbagai bentuk pemikiran yang tiada terpisahkan dengan berbagai bentuk perasaan.

Tapi, darimanakah datangnya keinginan ini? Mengapa kita menginginkan sesuatu dan tidak atau menolak yang lainnya? Mengapa sesuatu lebih mengundang selera dan hasrat, sementara yang lainnya tidak? Darimanakah semua ini datangnya? Pernahkah Anda mempertanyakan hal ini? Bila belum, mari kita pertanyakan.

Kita tidak akan pernah menginginkan atau punya hasrat yang kuat untuk menghindari sesuatu yang tak pernah kita kenal, tidak pernah mengadakan kontak dengannya —baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara fisikal-indriawi maupun mental-psikologis— bukan? Kesan-kesan baik, yang menyenangkan atau yang sebaliknya, yang timbul saat terjadinya kontak-kontak pengenalan inilah pemicunya.

Kendati kita tak pernah mengadakan kontak langsung dengan seseorang atau sekelompok orang, dengan bangsa Yahudi misalnya, akan tetapi bila dari berbagai siaran di berbagai stasiun televisi terus-menerus kita dengar kekejian mereka kepada orang-orang Palestina —apalagi bila kita merasa sesama umat Islam— maka kita akan terpicu untuk ikut-ikutan membenci bangsa Yahudi. Dan kalau kita kemudian berkesempatan berkenalan dengan beberapa orang Yahudi yang ternyata baik, anggapan kita sebelumnya bisa jadi berubah drastis.

Kalau kita punya pepatah “Tak kenal, maka tak sayang”, maka kitapun sepantasnya punya pepatah “Tak kenal, maka tak benci”, sejauh kita tak akan pernah bisa membenci yang sama-sekali tidak kita kenal.

Demikianlah, kontak langsung maupun tak-langsung besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan keinginan, hasrat, selera, kegandrungan atau yang sejenisnya. Dan jika membatasi kontak, atau membentuk sejenis filter yang berfungsi menyaring hal-hal yang diperkenankan masuk sedemikian dalamnya dan yang mana tidak, yang secara faktual adalah mungkin, bukankah tidak ada jeleknya bila itu dilakukan?


Kutukan egoisme memicu perbuatan-perbuatan, keinginan-keinginan dan kepedihan. Ia merupakan sumber dari segala bentuk kejahatan. Ia adalah ilusi. Ia mengecoh orang-orang. Ia bersekongkol dengan rasa-kepemilikan. Ia lahir dari atau merupakan kegelapan-batin. Ia muncul dari pandangan keliru.....

Guyon yang Mencerahkan



Kita boleh jadi tidak bisa membicarakan hal-hal yang bersifat spiritual dengan sembarang orang, tapi kita bisa —secara proporsional— berkelakar, guyon nyaris dengan siapa saja bukan? Nah ... kalau memang demikian adanya, bukankah guyonan yang berkandungan spiritual-filosofis bisa sangat membantu dalam pengembangan batin, dalam pencerahan batin?

Memang benar kalau untuk bisa berkelakar seseorang mesti punya bakat banyol, jenaka, atau sekedar rasa humor. Tapi saya percaya setiap orang punya rasa humor —betapa kecilpun itu adanya— yang bisa dikembangkan. Kita tak harus jadi pelawak; cukup sekedar memberi iklim yang sehat bagi tumbuhnya dan rasa humor itu sendiri.

Pada sisi lain, kita sudah tahu kalau tertawa —bukan dalam rangka menertawai yang lain, tertawa mengejek atau sejenisnya— adalah sehat, baik bagi jasmani maupun mental. Tapi ia juga bisa sehat bagi batin, bagi tataran rohani. Ia bisa merupakan santapan mental dan juga spiritual. Makanya, lewat guyonan, kalau Anda mau, Anda bisa berbagi kecerahan nyaris dengan siapa saja.