Tentang Tujuan Hidup

“Jalan menuju tujuan kita tidak selamanya lurus. Kadang kita mengambil jalan yang salah, tersesat, atau harus memutar. Mungkin masalahnya bukan jalan apa kita ambil. Yang penting adalah kita sudah memulai.” - Barbara Hall

“Sebuah rencana yang baik adalah seperti sebuah peta. Ia menunjukkan tempat tujuan kita, dan biasanya jalan terbaik menuju ke sana.” - H. Stanley Judd

“Apa yang Anda perlukan adalah sebuah rencana, sebuah peta, dan keberanian untuk mengarah pada tujuan Anda.” - Earl Nightingale

“Dengan melewati semua hambatan dan rintangan, seseorang pasti akan tiba pada tujuan yang diinginkannya.” - Christopher Columbus

“Fokus pada perjalanannya, bukan pada tujuannya. Kebahagiaan yang sebenarnya bukan pada saat menyelesaikannya, melainkan pada saat melakukannya.” - Greg Anderson

“Ikuti apa yang sungguh-sungguh Anda sukai, dan biarkan ia menuntun Anda menuju tujuan Anda.” - Diane Sawyer

“Ia yang tidak tahu bagaimana melihat ke belakang, ke tempat asalnya, tidak akan mencapai tempat tujuannya.” - Jose Rizal

“Saya tidak bisa mengubah arah angin, tapi saya bisa menyesuaikan layar agar saya tetap mencapai tempat tujuan saya.” - Jimmy Dean

“Tujuan seseorang bukanlah sebuah tempat. Sesungguhnya, ia adalah sebuah cara pandang yang baru terhadap segala sesuatu.” - Henry Miller

“Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan. Saat Anda melakukannya adalah jauh lebih penting dibanding saat Anda berhasil mencapainya.” - Arthur Ashe

“Tanpa sasaran dan rencana untuk mencapainya, Anda adalah seperti sebuah perahu yang berlayar tanpa tujuan.” - Fitzhugh Dodson

“Jalan yang mengarah pada tujuan Anda tidaklah terpisah dari tujuan Anda. Ia adalah bagian dari tujuan itu sendiri.” - Charles de Lint

“Hidup yang baik adalah sebuah proses, bukan sebuah keadaan. Ia adalah sebuah arah, bukan tujuan.” - Carl Rogers

“Anda ditakdirkan menjadi orang yang Anda putuskan.” – Ralph Waldo Emerson

“Anda dapat menentukan apa yang Anda inginkan. Anda dapat memutuskan sasaran utama, target dan tujuan Anda.” – W. Clement Stone

“Jalan kehidupan penuh dengan tikungan dan belokan, dan tidak ada dua arah yang sama. Tapi pelajaran hidup ini datang dari proses perjalanannya, bukan dari tujuannya.” – Don William Jr

Apakah Anda Sadar?

Pernahkah Anda benar-benar memperhatikan gerak-gerik si pikiran, bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan di benak Anda sendiri? Mungkin pertanyaan ini terdengar lucu, naif, karena memang jarang dipertanyakan orang atau kita pertanyakan sendiri. Akan tetapi, apabila Anda pernah melakukan itu, Anda akan setuju kalau hal itu bukan saja mengasyikkan buat dilakukan, namun juga menghadirkan 'kejutan-kejutan' yang benar-benar baru bagi Anda. Ia menghadirkan sebentuk visi baru, pemahaman baru tentang diri Anda sendiri, yang selama ini Anda bengkalaikan begitu saja, karena sibuk kesana-kemari mengejar berbagai hal.

Mengawali sesuatu yang sama-sekali baru, yang sama-sekali asing sebelumnya, memang terasa sulit. Umumnya kita merasa enggan melakukannya. Kita lebih suka, kita akan jauh merasa nyaman, merasa dimudahkan, kalau hanya melakukan sesuatu yang sudah biasa dilakukan, melakukan pengulangan-pengulangan yang bersifat mekanis itu. Demikian juga halnya terhadap aktivitas mental ini, aktivitas memperhatikan apa yang ada dan sedang berlangsung di benak kita sendiri ini. Sangat boleh jadi kita enggan untuk memulainya.

Namun, coba renungkan. Bukankah sebetulnya sangat menggelikan kalau kita sendiri tidak jelas, tidak paham akan apa yang ada di benak sendiri? Yang setiap saat menghuni dan memenuhi benak ini? Kalau memang demikian faktanya, apakah kita ini pantas disebut sadar-diri? Dan adakah sesuatu yang bisa kita lakukan atau perbuat dengan sepantasnya, dengan sepatutnya, dengan sebaik-baiknya tanpa sadar?

Mungkin selama ini kita sudah ‘merasa sadar’, hanya lantaran tidak sedang mabuk miras atau narkoba, hanya karena tidak sedang dalam keadaan pingsan atau koma, yang hanyalah kesadaran ragawi yang hanya berdasarkan persepsi akibat berfungsinya indria-indria sensorik saja. Itu bukan sadar-diri yang kita bicarakan disini; apalagi dalam konteks spiritual.

Jangan Sia-Siakan Hidup

Sebuah Perenungan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1931

Yang bersungguh-sungguh di antara orang-orang pasif, yang mata bhatinnya melek di antara mereka yang tertidur, orang bijak itu melaju bagaikan seorang pembalap yang meninggalkan tunggangannya di belakang.

Dia yang telah mencapai penaklukan yang tidak dapat ditaklukkan lagi, yang tak seorangpun di dunia ini sanggup menerobos masuk, dengan jalan apa engkau hendak mengarahkannya, Yang Sadar, Yang Mengatasi, Yang Tak Terlacak ?

Dia yang tidak lagi dapat disesatkan oleh rantai-rantai belenggu manusia dan racun-racun kejahatan, dengan cara apa engkau hendak mengarahkan dia Yang Sadar, Yang Mengatasi, yang tak terlacak ?

Mengapa ? karena kita semua mengetahui bahwa tubuh itu fana, dan kita semua sedang mencari penyelamatan. Malam akan terasa panjang bagi dia yang tidak dapat memejamkan matanya; satu Mil akan tersa amat panjang bagi dia yang kelelahan; dan bagi si Pandir hidup ini akan terasa amat panjang karna ia tidak mengetahui hukum sejati. Karena seperti seorang pengembala yang menggiring kawanan ternak ke dalam kandang bersama pembantu-pembantunya, begitu pula Umur dan Kematian menggiring kehidupan manusia.Tetapi, karena manusia rentan terhadap berbagai godaan dari dunia yang penuh ilusi ini, si bodoh tetap menjalani kehidupan yang rentan, malas-malasan, lemah dan tidak mengacuhkan tata krama sosial. Inilah kehidupan dalam kesia-siaan, kehidupan yang tidak pantas dibicarakan.

Dia yang hidup selama seratus tahun, acuh tak acuh dan seenaknya sendiri, satu hari akan jauh lebih berharga baginya apabila dalam sehari itu ia bisa bersikap bijaksana dan reflektif. Dia yang hidup selama seratus tahun namun bermalas diri dan lemah hatinya, satu hari akan jauh lebih berharga apabila dalam sehari usianya itu ia mencapai kekuatan yang tak tergoyahkan…..Dia yang hidup selama seratus tahun namun tidak melihat hukum yang tertinggi, hidup selama satu hari saja akan jauh lebih berharga apabila dalam sehari itu dia melihat hukum yang sejati.

Sangat mungkin kita bertambah “ tua dalam kesia-siaan “

Seseorang tidak otomatis dianngap dewasa atau bijaksana hanya karena uban di kepalanya, dari segi usia, barangkali ia sudah mencapai kematangan biologis tetapi itu disebut “Tua dalam kesia-siaan “ Karena pertumbuhan moral itu sungguh ada: Orang yang sedikit belajar akan menua seperti seekor sapi; dagingnya kian tebal dan makin gempallah tubuh sang sapi, tetapi pengetahuannya tidak bertambah sedikitpun. Oleh karena itu, kita mendengar Sangkakala nyaring yang menyerukan panggilan untuk bangkit dari kehidupan moral yang sembarangan dan penuh kemalangan:

“ Bangkitkan dirimu ! Jangan bermalas-malas ! Ikutlah hukum keutamaan;


Dia yang setia akan beristirahat dalam kebahagiaan tak terbatas dalam kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya. Datang, tataplah dunia ini yang bersinar-sinar bagaikan kereta perang kerajaan;


Orang-orang bodoh tersedot ke dalamnya, tetapi mereka yang bijak menyentuhpun tidak pernah ”


Langkah pertama dan terakhir adalah penaklukan diri:

Bangkitkan dirimu dengan kekuatanmu sendiri, periksalah dirimu sendiri; maka berkat sikap atentif dan pertahanan diri yang kuat, engkau akan hidup bahagia. Karena diri adalah tuan atas diri, diri adalah pengungsian bagi diri; oleh karena itu, kekanglah dirimu seperti pedagang mengenakan tali kekang kepada seekor kuda yang istimewa. Keledai adalah seekor binatang yang baik, begitu juga kuda-kuda Misra yang sudah tersohor itu dan gajah-gajah bergading panjang; tetapi masih lebih baik lagi dia yang dapt menaklukkan dirinya sendiri. Karena dengan binatang-binatang ini tak seorangpun dapat mencapai negeri yang tak terjamah kaki-kaki manusia (Moksha) di tempat seseorang yang sudah menaklukkan dirinya duduk di atas punggung seekor binatang yang sudah dijinakkan ! – Ia mengendarai dirinya yang sudah dijinakkan tersebut. Pikiran yang mendasar ini harus terus-menerus diutarakan dan dikumandangkan dalam setiap napas dan langkah kita.

Jikalau seseorang seribu kali menaklukkan seribu orang tapi seorang lainnya hanya menaklukkan satu orang saja yaitu dirinya sendiri, orang ini adalah yang terbesar dari antara para penakluk. Proses penyelamatan harus datang dari dalam diri kita, atas pilihan pribadi. Kejahatan dilakukan karena dirinya sendiri maka seseorang mengalami penderitaan juga atas pilihan kejahatannya sendiri.

Tidak ada akibat sekecil apapun yang menimpa diri kita penyebabnya berasal dari luar diri kita. Engkau bagaikan sebuah magnet yang hanya dapat menarik unsur yang sama. Jika engkau berpikir benar, berkata jujur dan berbuat bajik saat itu pula sebenarnya engkau menarik kebenaran dan kebajikan tersebut dan demikian pula sebaliknya.

Yang murni dan yang tidak murni jatuh dan bangun oleh pilihan-pilihan pribadi yang mereka buat sendiri, tak seorang pun dapat memurnikan salah satu di antara mereka, kecuali dirinya sendiri. Jika ada suatu hal yang benar yang harus dilakukan, hendaknya engkau melakukanya dengan semangat kebenaran. Hanya seorang pengembara yang sembrono yang menyebarkan abu hawa nafsunya ke mana-mana !

Yang pertama yang harus dilakukan oleh seorang manusia adalah menjauhkan diri dari kehidupan palsu dan mencapai sesuatu ketinggian moral, dari situ ia akan sanggup melihat sebuah dunia yang berbeda dari sebelumnya. Ketika seorang terpelajar mengenyahkan kesombongan dengan keseriusan hati, di yang bijak itu sesungguhnya sedang memanjat teras-teras ketinggian kebijaksanaan seraya menatap gerombolan bodoh di bawah sana; bebas dari penderitaan dia menatap kerumunanan yang dicengkram penderitaan seperti orang yang berdiri di atas puncak gunung dan melihat mereka yang berada di lereng gunung tersebut.

Yang menarik rasa ingin tahu kita adalah bahwa keselamatan datang berkat Pengetahuan. Terowongan-terowongan penyelamatan ada di mana-mana, nafsu yang menggila bermunculan ke segala arah; jika engkau melihat nafsu sedang tumbuh tunas ke segala arah, tebaslah akarnya dengan pengetahuan ! Demikian pula, jikalau sudah mengetahui bahwa tubuh manusia sangat mudah retak dan hancur seperti tempayan dari tembikar dan membuat pikirannya sekokoh benteng pertahanan, seseorang harus menyerang Sang penggoda, dengan senjata pengetahuan, seseorang harus mengawasi dia ketika hendak ditaklukkan dan jangan pernah mengaso. Karena yang terbesar di antara sekalian kejahatan adalah ketidakacuhan. Ketidakacuhan ibarat setetes noda yang dapt mengkontaminasi sebelanga Amertha. Kehidupan jahat benar-benar merupakan kehidupan tanpa pikiran. Keseriusan aktif adalah jalan menuju immortalitas; ketidakseriusan pasif adalah jalan menuju kematian. Karena bagaimanapun, kejahatan dan penderitaan itu identik. Hanya mereka yang tidak mampu melihat bahwa penderitaan adalah konsekuensi logis dari kejahatan yang terus melakukan kejahatan : Jikalau seseorang melakukan dosa, janganlah dia mengulangi hal itu. Hendaknya dia tidak bersuka cita dalam perbuatan-perbuatan dosa : Akumulasi kejahatan adalah penderitaan.

Dan kebaikan dan kebahagiaan adalah identik : Jikalau seseorang melakukan perbuatan baik, biarlah dia mengulanginya sekali lagi, kiranya di bersuka cita di dalam perbuatan tersebut : Akumulasi kebaikan adalah kebahagiaan.

Orang yang berkeutamaan akan merasa bahagia karena ia memperoleh kebahagiaan yang tidak dapat diambil dari dirinya, dan akan merasakan kebahagiaan di dunia ini dan dunia yang akan datang; kebahagiaanya akan lebih besar ketika menjalani jalan yang baik. Sekali lagi:

Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, tidak membenci mereka yang membenci kita ! di antara orang-orang yang membenci kita, hendaknya kita hidup bebas dari kebencian ! Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, bebas dari ketamakan di antara orang-orang tamak ! di antara orang-oarang yang tamak, hendaknya kita hidup bebas dari ketamakan. Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, meskipun kita tidak memiliki apapun ! kita akan seperti Dewa- Dewa yang menyinarkan cahaya terang seraya minum dari mata air kebahagiaan, karena kekuatan kebaikan tidak lekang dimakan waktu ; Engkau tidak mencium bau wangi sekuntum bunga berlawanan dengan arah tiupan angin yang membawanya, begitu juga yang terjadi pada wangi kayu cendana, gaharu. Akan tetapi, harum wangi orang-orang baik berhembus bahkan berlawanan dengan arah tiupan sang Bhayu; kebaikan seseorang diberitakan kesegenap penjuru mata angin. Orang bijak akan terlihat dari kejauhan seperti hamparan salju di puncak gunung yang kelihatan dari negeri-negeri yang jauh. Orang jahat tidak terlihat, seperti sebuah anak panah yang melesat di gulita malam.

Itulah sebabnya: kita jangan membiarkan pikiran-pikiran akan kebencian, amarah, nafsu melenggang masuk ke dalam pikiran kita, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan melaikan mengganjar kejahatan dengan kebaikan. Karena ia yang dapat menarik kembali amarah yang mau menyembur adalah ibarat sebuah kereta perang yang sedang menggelinding, dia disebut seorang kusir sejati. Orang-orang yang lainnya hanyalah sekedar pemegang tali-tali kekang.

Kalahkan amarah dengan cinta, atasi kejahatan dengan kebaikan, atasi keserakahan dengan pembebasan dan hadapi Sang penipu dengan kebenaran !

Seseorang tidak menjadi terpelajar karena ia banyak bicara. Dia yang hatinya sabar dan bebas dari rasa benci dan takut, dia disebut yang terpelajar.

Love All Serve All

Love Ever Hurt Never


Serve To All Mind Kind Is Serve To The God

Avighnam Astu !

Lukisan indah Kebijaksanaan

Terowongan gelap tidak berujung, mungkin itu metafora kehidupan zaman ini. Kekayaan kehidupan anak-anak biasanya harapannya akan masa depan. Dan, saat tua tidak sedikit yang membanggakan masa lalu.

Keadaannya mirip kucing yang mengejar bayangannya sendiri. Pada pagi hari (masa muda) bayangannya ada di barat dikejar dan tidak ketemu. Pada sore hari (umur tua) bayangannya ada di timur, lagi-lagi dikejar juga tidak ketemu. Sadar bahaya ini, ada yang memotong lingkaran kegelapan dengan meyakini kehidupan berawal pada masa sekarang dan berakhir pada masa sekarang.

Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang. Namun, melalui tindakan pada masa kini, keduanya bisa dibuat kian terang atau gelap. Sebutlah Ibu yang sudah meninggal, tetapi belum sempat dibahagiakan. Masa lalu membuat kehidupan kian suram jika masa kini diisi penyesalan, rasa bersalah, tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sebaliknya ini bisa menjadi awal terang jika pengalaman tidak mengenakkan ini dijadikan titik awal untuk banyak membahagiakan orang.

Di Tibet, makhluk hidup diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi mother being. Terutama karena diyakini jika semua makhluk pernah menjadi Ibu kita pada masa lalu. Dengan demikian, bila rajin membahagiakan orang atau makhluk lain, kita juga sudah membahagiakan ibu. Selain itu, membahagiakan orang adalah salah satu persiapan terbaik menyongsong masa depan. Inilah transformasi spiritual, rasa bersalah akan masa lalu dan takut akan masa depan, diolah sekaligus dinikmati hari ini.

Guru sebagai cahaya

Inilah tanda-tanda manusia yang mulai terbimbing. Dalam setiap kejadian (menyenangkan maupun menjengkelkan) ada cahaya bimbingan. Di Timur, ia disebut munculnya guru simbolik. Tidak ada kebetulan, semua hanya bimbingan. Cuma, sebagian bisa dimengerti kini, sebagian dimengerti nanti.

Sayang, amat sedikit manusia yang lahir di zaman ini memiliki berkah spiritual berjumpa guru. Untuk itu, bagi orang-orang mengagumkan, seperti Jalalludin Rumi, perjumpaan dengan guru adalah berkah spiritual yang amat disyukuri. Segelintir sahabat yang berjumpa guru menyebutkan, hanya dengan mendengar namanya sebagian ketakutan akan neraka langsung sirna.

Karena itu, tidak sedikit pencari yang menghabiskan waktu, tenaga, dan dana untuk mencari guru. Idealnya, pencarian dimulai dengan berjumpa guru hidup. Lalu perintah-perintah guru hidup ini diperkaya guru dalam bentuk buku suci. Ia yang sudah memadukan guru hidup dengan buku suci lalu berjumpa guru simbolik dalam keseharian. Puncaknya tercapai saat ketiga guru ini menjelma menjadi guru dalam diri. Orang jenis ini seperti membawa lentera ke mana-mana. Tidak ada lagi kegelapan yang tersisa.

Kematian

Bagi mereka yang belum diberkahi perjumpaan dengan guru hidup, disarankan menjaga diri dengan etika. Praktik serius etika ini mungkin membimbing seseorang menjumpai guru simbolik. Di antara banyak guru simbolik, kematian adalah guru simbolik paling agung.

Perhatikan pendapat Dzogchen Ponlop dalam Mind beyond death: ”in order to die well, one must live well”. Agar matinya indah, belajarlah hidup secara indah (baca: hidup penuh cinta).

Maka, tidak sedikit guru meditasi yang menggunakan kematian sebagai sumber air perenungan yang tidak habis-habis. Pertama-tama meditator membayangkan tubuhnya mati. Badan kaku, membiru, orang-orang dekat menangis dan seterusnya.

Diterangi cahaya keikhlasan, kematian terlihat sebagai kembalinya unsur badan ke rumah aslinya. Unsur tanah kembali ke tanah, unsur air kembali ke air, unsur api kembali ke api, unsur udara kembali ke udara, unsur ruang kembali ke ruang. Dalam bahasa tetua Bali, kematian disebut mulih ke desa wayah (pulang ke rumah sesungguhnya).

Ia yang merenungkan kematian menjadi lebih tenang, santun, baik, dan rendah hati. Bukankah ketenangan dan kebajikan adalah teman paling berguna dalam kematian? Selain itu, kematian juga berubah wajah menjadi guru simbolik yang membimbing menapaki tangga kemuliaan. Mungkin ini sebabnya Santo Paulus mengemukakan l die every day.

Bila boleh jujur, tiap hari kita mengalami kematian. Seusai sarapan, kita berpisah dengan rasa enak (matinya rasa enak di mulut). Berangkat ke kantor, manusia berpisah dengan rasa nyaman di rumah (matinya rasa nyaman tinggal di rumah). Mengakhiri meditasi, meditator berpisah dengan keindahan konsentrasi (matinya kedamaian meditasi). Dalam wajahnya yang mendasar, kematian menakutkan karena ada perpisahan. Bila terbiasa dengan perpisahan sehari-hari, perpisahan melalui kematian akan menjadi suatu yang biasa.

Meminjam ajaran Tibetan book of the dead, wajah kematian terindah bertemu saat semua tahapan antara kematian dan kehidupan berikutnya (bardo) terlewati secara tenang-seimbang. Maka, disarankan untuk memperlakukan semua kejadian dalam hidup (dipuji-dicaci, sukses-gagal, meditasi sampai mimpi) sebagai bardo. Tidak ada apa- apa, yang menyenangkan maupun menakutkan hanya pancaran kesadaran murni. Sebagaimana dinyanyikan berulang-ulang oleh pertapa Milarepa: ”death is not a death for a yogi; it is a little enlightenment”. Dalam kehidupan pertapa, kematian muncul tanpa ditemani ketakutan, ia hanya sebuah pengalaman kecil pencerahan.

Inilah ujung terowongan kegelapan. Lalu muncul cahaya bimbingan. Kegagalan, ketakutan, bahkan kematian pun memancarkan sinar terang pengertian. Karena ketakutan akan kematian adalah ibu semua ketakutan, maka begitu ia lenyap, ketakutan lain pun sirna. Sebagai hasilnya, batin menjadi bersih dan jernih sempurna. Cirinya cara memandang, niat, kata-kata, perbuatan, sumber penghasilan, daya upaya, perhatian dan konsentrasi semua menjadi serba bijaksana. Kehidupan lalu berubah wajah menjadi lukisan indah kebijaksanaan. Gambarnya cinta, bingkainya keikhlasan.

Di Ubud Bali ada wanita bule yang tidak lagi muda tekun memelihara anjing-anjing liar tak bertuan. Kendati pengertiannya akan cinta tidak mendalam, dengan tekun ia melakukannya dalam waktu lama. Pengertian yang disertai keraguan kadang menjadi penghalang keikhlasan. Kehidupan wanita bule ini sedang menggoreskan tinta keindahan: cinta dan keikhlasan melukis kebijaksanaan.

Mengapa Sombong ?

If it isn't good, let it die.

If it doesn't die, make it good.

[ Ajahn Chah ]

Disamping memang ada yang terlahir dengan watak sombong, angkuh, tinggi-hati, arogan atau sejenisnya, yang dibawanya sebagai 'sifat bawaan', munculnya kesombongan di permukaan juga bisa dipicu oleh banyak hal seperti: kemenangan, kepintaran, keakhlian, kekuatan, kesaktian, pangkat atau jabatan, pengaruh, kekuasaan, kebangsawanan, kekayaan, kemasyuran, kerupawanan, kemapanan, berbagai bentuk kehebatan dan keunggulan lainnya. Banyak hal yang bisa memicu atau mengundang bangkitnya kesombongan, walaupun sebetulnya dalam kondisi apapun seseorang tidaklah pantas sombong.

Memang ada orang-orang yang berwatak sombong. Kendati mereka tidak ada dalam posisi unggul, mereka tetap saja sombong. Yang seperti ini tentu tak butuh sejenis pemicu tertentu untuk memunculkan kesombongannya. Ada juga yang sadar kalau mereka sebetulnya berwatak sombong —walaupun yang seperti ini relatif jarang— dan berusaha 'menyamarkannya' melalui penampilan dan tutur-kata yang tampak rendah-hati. Merasa berhasil mengelabui orang-orang, 'penyamaran' ini malah mengelabui dirinya sendiri, membuatnya menyangka sudah berhasil menundukkan kesombongannya. Padahal sebetulnya tidak. Malah sebetulnya kesombongannya kian halus, yang juga berarti kian menguat.

Kesombongan halus ini bisa ditunjukkan antara-lain melalui lontaran-lontaran seperti: 'Saya tidak tahu apa-apa', 'Saya orang bodoh', 'Saya hanya takut pada Yang Di Atas', dan lain sebagainya. Kesombongan halus ini bahkan bisa sedemikian rupa menampilkan seseorang sebagai baik-hati, dermawan, sopan, patuh bahkan 'rendah-hati' —yang sebetulnya rendah-diri.

Tetapi, seperti telah disinggung sebelumnya, walaupun seseorang sebetulnya tidak berwatak sombong, munculnya kesombongan bisa dengan mudah dipicu oleh banyak hal —yang pada dasarnya adalah kemunculan sebentuk perasaan 'merasa lebih' itu. Namun, bila direnungkan, kenapa sih kita sombong? Apakah kita memang punya kecenderungan itu, dengan kadar yang berbeda-beda satu-sama-lain? Kenapa kita bisa 'merasa lebih', 'merasa super'? Darimanakah munculnya rasa ini?

Kita tahu, kita tak akan pernah tahu apakah kita 'lebih' atau 'kurang' kalau tidak membanding-bandingkan bukan? Padahal, membanding-bandingkan —yang adalah kerja dari si pikiran—merupakan kebiasaan nyaris semua orang. Membandingkan sesuatu atau seseorang dengan yang lainnya secara objektif mungkin saja memang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak berkontribusi langsung pada rasa 'lebih' atau 'kurang' itu, tapi membandingkan seseorang dengan diri kita, membandingkan miliknya dengan milik kita inilah berkontribusi langsung. Jadi, walaupun bisa diduga kalau kesombongan erat-kaitannya dengan si pikiran dan si diri ini, kini tampak makin jelas kalau kesombongan tiada lain dari ekspresi egoisme itu sendiri. Singkatnya, karena saya egois-lah maka saya juga sombong.

Si Cacing dan Tahi kesayangannya

Sebagian orang memang kelihatannya tidak ingin bebas dari masalah. Jika mereka sedang tidak punya cukup masalah yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron untuk mengkhawatirkan persoalan tokoh-tokoh fiksi di dalamnya. Banyak juga yang merasa bahwa ketegangan membuat mereka lebih “Hidup”, mereka menganggap penderitaan sebagai hal yang mengasyikkan. Mereka tidak ingin bahagia, karenanya mereka begitu melekat pada beban mereka.

Tersebutlah dua orang Bhikkhu yang merupakan sahabat dekat sepanjang hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa di alam dewa yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di seonggok kotoran.

Sang dewa segera merasakan kehilangan teman lamanya dan kemudian bertanya-tanya di manakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam dewa dimana dia berada, lalu dia mencari temannya itu di alam dewa yang lain, dan temannya itu masih tidak ditemukan juga.

Dengan kemampuan dewanya, Sang Dewa melakukan pencariannya di alam manusia, masih belum ketemu juga. “Pasti temanku ini tidak terlahir di alam hewan” begitu pikirnya, namun dia tetap memeriksa alam hewan, “Siapa tahu!?”, pikirnya.

Masih saja belum ditemukan tanda-tanda keberadaan temannya itu. Lanjutlah pencariannya ke dunia serangga, jasad renik dan ..... tak disangka dia menemukan temannya itu terlahir sebagai seekor cacing dalam seonggok kotoran yang menjijikkan!

Ikatan rasa persahabatan di antara mereka yang begitu kuatnya menjadikan Sang Dewa merasa iba dan ingin membebaskan teman lamanya itu dari kelahiran yang mengenaskan itu. “Entah karma apa yang menjadikannya terlahir di situ??”, gumamnya.

Sang dewa pun memunculkan diri di depan tumpukan kotoran tersebut dan memanggil, “Hei cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita pernah sama-sama menjadi bhikkhu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir di alam dewa yang menyenangkan,
sementara kamu terlahir di kotoran sapi yang menjijikkan itu sebagai cacing. Jangan khawatir, aku akan membawamu ke surga bersamaku. Ayolah teman, sini ikut aku!”

“Tunggu!” teriak si cacing, “Apa sih hebatnya alam dewa itu? Aku senang dan bahagia di sini di lingkungan yang harum dan nikmat ini; lezat sekali, apa kamu bilang ini, Tahi?? Ya apalah itu, tapi enak sekali ini, tidak usah membawaku kesana , terima kasih dan aku disini saja.”

“Eh, alam dewa itu enak, yang pasti tidak bau,” jelas si dewa berpromosi dan berceritalah dia enaknya di alam dewa itu dan betapa bahagianya kalau berada di alam itu.

“Apa disana ada benda lembut dan lezat seperti yang ada di sekelilingku ini?”, tanya si cacing.

“Ya, kalau itu yang engkau inginkan, tentu saja tidak ada!' sahut si Dewa mulai gemas —‘Masa di alam dewa ada tahi!?’, pikirnya, heheheh.

“Kalau begitu , nggak ah! Aku disini saja”, jawab si cacing mantab. “Udah dulu yah! Aku mau makan dulu nih!” dan si cacing pun menyelam ke lautan makanannya, yang menurut dia nikmat ...onggokan tahi itu.

“Kalau dia sudah melihat alam dewa tentu lain pikirannya dan mungkin dia mau tinggal disana dengan rela,” pikir si dewa. Kemudian dia mengais onggokan tahi itu untuk menemukan si cacing. Nah, ketemu! Ditariknya si cacing keluar dari kotoran itu, namun ....

“Hei! Apa-apaan ini! ?Jangan ganggu aku, lepaskan!” teriak si cacing marah. Menggeliatlah dia, meronta dan setelah lepas, langsung menyelam lagi ke tumpukan tahi untuk bersembunyi.

Sang Dewa kembali mencoba mengeluarkan si cacing .... dapat! dan hampir bisa dikeluarkan dari tumpukan tahi itu, namun lendir dan cairan di tahi itu yang licin menjadikan mudah bagi si cacing untuk melepaskan diri dan kemudian bersembunyi makin dalam. Kembali si dewa menggobok-obok tahi itu dan mencoba menarik keluar si cacing, demkian lah seterusnya sampai seratus delapan kali.

Akhirnya si dewa menyerah dan kembali ke alam dewanya dan meninggalkan si cacing di tumpukan makanannya yang lezat dan nikmat —onggokan tahi kesayangannya.