Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe

Bangsa ini mewarisi semboyan luhur, “Rame ing gawe, sepi ing pamrih” —Giat bekerja tanpa mengharapkan hasil untuk diri sendiri. Semboyan altruistis ini mungkin sedemikian mendarah-dagingnya bagi banyak leluhur manusia Indonesia pada suatu jaman, namun kini sudah tidak lagi. Kalaupun masih ada yang menganutnya, yang tentunya sudah sangat sedikit, mungkin itu hanya sebatas hal-hal yang bersifat material dan sosial saja.

Pamrih adalah keinginan egoistis. Dimana, bila kita cermati ke dalam, boleh jadi ia merupakan motif yang melandasi setiap pemikiran, ucapan dan tindakan kita sehari-hari, betapa haluspun itu adanya. Kita membangun menara kehidupan kita berlandaskan pamrih. Kalaupun saya kelihatannya melakukan sesuatu bagi banyak orang bukan demi suatu imbalan tertentu, bukan saya lakukan atas motif perolehan sejumlah materi tertentu misalnya; namun kalau semua itu saya lakukan demi membentuk citra-diri saya di mata banyak orang, saya lakukan agar saya dianggap sebagai orang yang baik-hati, murah-hati, berhati mulia atau karena saya tahu —dari nasehat-nasehat leluhur dan kitab-kitab suci— kalau perbuatan seperti itu sama artinya dengan menyediakan kapling di sorga, dengan prinsip melakukan hal —yang sebetulnya bagi saya merupakan sesuatu yang ‘kecil’— demi sesuatu yang ‘besar’, menikmati kenikmatan hidup di sorga setelah kematian nanti, disamping meninggalkan nama harum yang akan diwarisi oleh anak-cucu saya misalnya, dimana semua itu hanya saya saja yang tahu, maka secara esensial, apa bedanya ini dengan berdagang, bisnis?

“Sepi ing pamrih” benar-benar sepi dari keinginan egoistis sekecil dan sehalus apapun. “Rame ing gawe” tak perlu diketahui orang, dikenal orang. Itu semata-mata dilakukan sebagai kewajiban yang dipertanggungjawabkan ke dalam, dimana tanpa melakukannya kita merasa ada sesuatu yang ‘kurang’ dengan keberadaan kita, ada ‘kekosongan’ dan menuntut untuk dipenuhi. Kepuasan dan kenikmatan justru sudah dirasakan persis ketika niat untuk melakukannya muncul di benak kita, saat melaksanakan, apalagi sesudahnya. Kalaupun itu tak sepenuhnya berhasil dengan gilang-gemilang, penunaiannya dengan bersungguh-sungguh sudah memberi kepuasan dan kenikmatan tersendiri yang tiada terbeli dengan uang. Makanya, semasih tersisa secuil keinginan egoistis sehalus apapun, seberapa baikpun kita melakukannya, seberapa banyakpun orang yang menikmati hasilnya, itu tetap bukan aktivitas “sepi ing pamrih”. Sepi dari pamrih, adalah benar-benar sepi keinginan egoistis manapun.

Kenyataan bukan Kebenaran


Apa yang umumnya kita sebut sebagai kenyataan atau fakta hanyalah terbatas pada yang kasat-indria, sesuatu yang bersifat eksternal dan bisa dicerap lewat organ-organ indria sensorik —yang kita tahu amat sangat terbatas kemampuannya ini. Terlalu dangkal, dan terlalu besar kemungkinannya kalau pandangan kita tentang sesuatu itu salah atau keliru, bila kita hanya mengandalkan pada kemampuan organ-organ indria sensorik ini saja. Sehingga, apapun yang selama ini kita anggap dan sebut sebagai kenyataan atau fakta, besar kemungkinannya bukan kebenaran.

Belum lagi bila yang belum tentu benar itu dikacaukan oleh ikut-campurnya kecenderungan-kecenderungan dan kegandrungan-kegandrungan kita, oleh rasa sentimental kita, rasa suka-tak-suka kita. Tak sedikit dari kita cenderung memperhatikan sisi buruk atau lemah dari sesuatu yang tak kita sukai, yang tak sesuai dengan selera pribadi kita. Sebaliknya, terhadap sesuatu yang kita gandrungi, yang cocok dengan selera kita, kita akan memperhatikan sisi-sisi yang sebaliknya. Kecenderungan ini sangat kuat bagi kebanyakan dari kita, sehingga setiap penilaian kita terhadap sesuatu nyaris selalu diwarnai olehnya. Apapun yang dihasilkan oleh penilain subjektif ini, jelas bukan kebenaran.


Makanya menjadi jelas buat kita kalau, baik penilaian subjektif maupun objektif —yang bertumpu kuat pada kemampuan indriawi— sangat kecil kemungkinannya benar, bahkan besar kemungkinannya malah salah atau keliru. Padahal, demikianlah kita menilai segala sesuatunya selama ini. Apa artinya ini? Bukankah ini berarti bahwa apapun anggapan kita tentang sesuatu selama ini tidak bisa dibilang benar? Dan ini merupakan fakta otentik buat kita bukan? Bila memang demikian halnya, bila untuk hal-hal yang kasat-indria saja kita tidak mampu melihat kebenarannya, kesejatiannya, mungkinkah kita bisa melihat kebenaran dari sesuatu yang tidak kasat-indria, yang ada di balik dan melatari semua yang kasat-indria ini?

Ketulusan itu Mensucikan

Hanya memikirkan apa yang bisa diperoleh, tanpa pernah memikirkan apa yang bisa diberikan, memastikan kita jadi para pengemis, bahkan perampok di dunia ini.’ demikian kurang-lebih seorang ayah pernah menasehati putranya.

Kebanyakan dari kita umumnya tidak menyadari kalau ketika kita memperoleh sesuatu, sebetulnya boleh jadi kita telah memberikan banyak hal atau harus memberi yang setara; demikian pula sebaliknya, ketika kita memberi sebetulnya kita juga sudah, sedang dan akan menerima. Seperti semua tindakan lainnya, memberi dan menerima tunduk dan ada di wilayah ‘hukum kausalitas universal’. Artinya, tak seorangpun hanya memberi dan memberi tanpa menerima apapun —walaupun ia tak mengharapkannya— dan tak seorangpun bisa hanya menerima dan menerima saja tanpa diharus memberi —walau ia tak menginginkannya. Setiap pemberian mengundang penerimaan dan setiap penerimaan mensyaratkan pemberian.

Suatu pemberian atau persembahan yang tulus dengan sendirinya memperhalus dan meningkatkan mutu dari pemberian itu sedemikian rupa sehingga mengundang penerimaan yang lebih halus dan lebih berkualitas pula. Pada dasarnya, ketulusan atau ketanpa-pamerihan inilah yang mensucikan setiap pemberian, ketulusan atau ketanpa-pamerihan inilah yang menjadikan setiap persembahan menjadi sebuah korban-suci. Dan, kalau kita memang jujur, kita tahu kapan kita memberi dengan tulus-ikhlas dan kapan kita memberi dengan pemerih. Makanya, boleh jadi sekulum senyum yang tulus jauh lebih bernilai ketimbang sekeranjang sembako.

" Not is it so remarkable that our greatest joy should come when we are motivated by concern for others. But that is not all. We find that not only do altruistic actions bring about happiness but they also lessen our experience of suffering."

Mengapa Mudah Percaya?


If you see certainty in that which is uncertain,you are bound to suffer...

Adalah penting punya sebentuk kepercayaan tertentu, sebab tanpanya boleh jadi kehidupan terombang-ombing tanpa arah dan tujuan. Namun pada saat yang bersamaan, adalah penting juga untuk menyisakan seporsi rasionalitas untuk bisa memilah dan memilih dengan tepat hal-hal yang patut dan yang tidak patut untuk dipercaya.


Kepercayaan punya pengaruh emosional yang sangat kuat bagi penganutnya. Pengaruh emosional inilah yang sangat potensial memborong dan memenuhi segenap khasanah mental seorang penganut hingga tak menyisakan ruang sedikitpun bagi bekerjanya rasio, akal-sehat. Bahkan konyolnya lagi, tidaklah aneh buat yang bersangkutan untuk menyatakan kalau penyikapan emosional itulah yang paling rasional untuk diberikan kepada yang ia percayai itu.

Singkatnya, kebanyakan dari kita umumnya sangat rentan untuk disergap dengan mudah oleh fanatisme. Jangankan terhadap sebentuk ajaran agama tertentu misalnya, tak sedikit orang-orang fanatik yang hanya mau mengenakan pakaian dengan merek-merek tertentu, atau dengan desain tertentu saja. Betapa konyolpun ini bagi kita, demikianlah fakta yang terlihat di sekeliling kita bukan?

Akan tetapi, marilah kita lihat lagi ‘mengapa kita mempercayai sesuatu dan tidak yang lainnya’. Kalau kita mempercayai sesuatu hanya lantaran banyak orang di sekitar kita yang mempercayainya dan takut ditolak oleh lingkungan kalau tidak ikut mempercayainya, maka itu hanyalah kepercayaan ikut-ikutan yang sangat rapuh dari segala sisi. Ini sama rapuhnya dengan, kalau kita percaya hanya sebagai kepercayaan warisan karena para orangtua dan banyak pendahulu kita juga mempercayai dan menganutnya. Kalaupun kita mempercayainya lantaran kita merasa aman dan nyaman –yang sebetulnya tidak selalu bisa dipertahankan selama-lamanya— bila berada di dalamnya, ini masih sangat rapuh juga. Ketika —karena sesuatu hal— kedua rasa itu pergi –karena ia memang tak mungkin dipertahankan terus— kitapun akan dengan ringannya pergi meninggalkan kepercayaan itu. Beda halnya dengan, bila kepercayaan itu memang terasa cocok dan memenuhi tuntutan rasionalitas Anda. Apalagi bila ia juga memberi kepastian akan tercapainya tujuan hidup Anda.

Bagi manusia moderen, yang mau-tak-mau mesti mengedepankan rasionalitas dan tak semata-mata harus tunduk begitu saja pada gelora emosi, adalah penting dan mendesak buat mempertanyakan kembali: mengapa ia mesti mempercayai sesuatu dan tidak yang lainnya?
Secara rasional, kita percaya pada sesuatu kalau sesuatu itu bisa memberi cukup bukti. Dan bukti, tidak selamanya harus berupa bukti fisikal atau sesuatu yang bisa dicerap oleh indria sensorik yang terbatas ini. Ia bisa juga berupa bukti mental, yang bisa dicerna oleh akal-sehat kita, atau bahkan bukti spiritual yang tak bisa dipersepsi oleh indria dan sulit diterima akal.

Yang terakhir inilah seringkali dikacaukan oleh ulah emosi. Banyak orang menyangka kalau mereka mempercayai sesuatu atas alasan spiritual, padahal itu sebetulnya hanyalah atas alasan emosional saja. Orang yang sedemikian kharismatiknya misalnya, akan mudah dipercayai oleh banyak orang hanya lantaran gelora emosi yang mampu dibangkitkan melalui kharismanya itu.

Yang demikian tak jauh bedanya dengan orang-orang yang menguasai hipnotisme atau sulap. Dan sekali lagi, ini bukanlah bukti spiritual. Dalam kenyataannya, lebih banyak orang hanya menumpukan kepercayaannya pada bukti fisikal saja, ditambah campur-tangan emosi atau tidak.

Ilusi Terbesar


Sesungguhnya, segala sesuatu hanyalah seperti apa adanya. Tidak lebih, tidak kurang. Ketika kita lebih menyukai sesuatu dibanding yang lainnya —atas alasan selera atau cita-rasa kita sendiri atau karena ia memberi kita kenikmatan, rasa senang, rasa puas sesaat— kita mulai memberinya predikat atau label “bagus”, “nikmat”, “indah”, atau sejenisnya. Demikian pula sebaliknya.

Terlepas dari apakah mereka memang bagus atau jelek secara objektif, kitalah yang melabelinya, memberinya predikat. Kita menumpangkan selera kita, menyelubungi segala sesuatu dengan tumpangan itu, dengan pertimbangan apakah ia memberi rasa senang atau tidak kepada kita. Alhasil, ia tak lagi seperti apa ia adanya bagi kita, ia menjadi ilusif. Kitalah yang menjadikannya ilusif. Bukan dianya yang adalah fatamorgana.

Memang ada hal-hal eksternal yang bersifat ilusif; seperti fatamorgana misalnya. Mereka memang berpotensi dan dengan mudah bisa mengecoh kita. Namun, bila kita tak sedemikian mudahnya dikecoh, bila kita tahu kalau itu hanya fatamorgana, kita tak akan pernah berhasil dikecohnya; walaupun segenap indria sensorik ini merasakannya demikian. Disini tampak jelas kalau kuku-kuku tajam ilusi hanya berhasil mencengkram mereka yang tidak-tahu, yang tidak berpengetahuan, tidak berpemahaman atau yang berpandangan sempit, dangkal, salah dan keliru akan sesuatu. Jadi sangat subjektif.

Prasangka misalnya; ia sangat ilusif, sejauh prasangka tetap ‘bukan yang ada’. Apapun prasangka kita tentang sesuatu atau seseorang bukanlah sesuatu atau seseorang itu seperti apa ia adanya bukan? Makanya, kecenderungan berprasangka merupakan sesuatu yang —secara internal— sangat ilusif, sangat mudah membuat kita terkecoh, terkelabui, tertipu. Kecintaan kita pada diri ini —atau yang juga disebut dengan rasa iba-diri— misalnya, bisa merupakan sesuatu yang luarbiasa ilusifnya. Bahkan, kita bisa dibuatnya bertindak tidak adil, berat sebelah, membela dan melindungi diri secara tidak proporsional, bahkan semena-mena terhadap orang atau makhluk lain. Kita bisa dibuatnya bertindak sedemikian kejinya, sedemikian tak berprikemanusiaannya.

Begitulah ... dalam banyak hal dan banyak kejadian kita temukan kalau egoisme merupakan ilusi terbesar bagi setiap orang. Ia bisa membuat kita berpikir, berbicara dan bertindak sama-sekali diluar akal-sehat, diluar pengetahuan yang sudah sedemikian banyak kita kumpulkan dengan bersusah-payah itu, diluar —apa yang kita anggap sebagai— pengalaman-pengalaman dan pencapaian-pencapaian spiritual kita.


Meditate on the Self. One without two, exalted awareness.Give up the illusion of the separate self.Give up the feeling, within or without, that you are this or that.

~ Ashtavakra Gita 1:13.