Membuat Duplikat dan Merumahkan Tuhan


Suatu ketika sekelompok orang melihat Tuhan sedang sibuk dengan pekerjaan-Nya. Salah seorang diantaranya bertanya kepada Tuhan, “Apa yang sedang Engkau lakukan?”

“Aku sedang membuat duplikat diriKu, seorang manusia,” jawab Tuhan, yang kemudian balik bertanya, “Apa yang sedang kalian lakukan disini?”

Orang itu menjawab, “Ooo... kami sedang membentuk Tuhan ke dalam rupa kami.”

***

Itulah tragedi sepanjang masa. Kita begitu mudah menjadi ‘tidak serupa Allah’ dan mulai mendekonstruksi Tuhan ke dalam rupa manusia. Milyaran uang dipakai untuk mengkonstruksi bangunan-bangunan megah untuk merumahkan Tuhan, yang dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang tak beriman. Tempat-tempat ibadah kita telah menjadi pusat-pusat pelestarian perilaku yang mana kefanatikan dan idolatry (mengagungkan seseorang atau kitab tertentu sebagai satu-satunya sumber dan jalan kebenaran), kecanduan, dan nafsu (amarah, curiga, iri, benci, menghakimi, dll.)

Dan ironisnya hal-hal itu diterima atau dianggap wajar. Kita lupa bahwa Tuhan ada dimana-mana (omnipresent). Dia berada di dalam kita semua dan tempat yang paling disukai adalah hati yang baik-hati, tulus dan welas-asih.

Manusia berevolusi oleh alam sebagai spesies yang memiliki pikiran sendiri untuk memilih jalan-hidupnya, untuk menjadi serupa atau tidak serupa dengan Allah. Namun kita telah mengerdilkan Tuhan.

Kekuatan mental yang seyogyanya adalah anugerah, terbukti menjadi kutukan terbesar yang menggerogoti Tuhan sendiri. Tuhan menginginkan kita untuk menjalani kehidupan yang lepas dari ikatan-ikatan. Namun kita justru telah melepaskan diri kita dari Tuhan. Melakukan kebaikan adalah menjadi seperti Tuhan. Tetapi kita telah menjadi tidak serupa Tuhan dengan begitu banyaknya pilihan-pilihan keliru yang telah kita perbuat.

Kita harus berhenti dan merenung: Sedang kemana kita berjalan?
Kita menjarah bumi bagi kebutuhan-kebutuhan kita yang tak pernah dapat terpuaskan dan menghancurkan jiwa kita demi ego, harga-diri dan kebanggaan.

Untuk mencapai Tuhan, kita harus berprilaku seperti Tuhan. Kita harus selalu mencoba berbuat baik dan melakukannya terus-menerus tanpa membuang waktu sedikitpun.

Agama, Pilihan ataukah Warisan?



Agama harus menyusupi setiap tindakan kita.
‘Agama’ yang dimaksud disini tidak berarti sektarianisme.
Ini berarti kepercayaan terhadap bekerjanya sebentuk
pemerintahan moral universal
yang daya-aturnya melingkupi seluruh semesta.
Hal ini tidak jadi kurang nyata,
hanya karena ia tak terlihat.
Agama ini melampaui Hindu, Islam, Kristen, dll.
Dan ini juga tidak menggantikan mereka;
namun menyelaraskan dan memberi mereka realitas.

~ Mahatma Gandhi.

Setelah untuk pertama kalinya mendengar atau mengenal sesuatu, setelah menilai atau mempertimbangkannya sesuai dengan selera dan kemampuan kita saat itu, ada dua kemungkinan: langsung menerimanya, atau langsung menolaknya. Itulah yang umumnya kita lakukan.

Padahal, kitapun tahu kalau kemampuan kita di dalam menilai dan mempertimbangkan tidaklah tetap seumur-hidup. Artinya, sesuatu yang tadinya kita terima, bisa saja kita tolak pada suatu waktu tertentu; atau sebaliknya, yang tadinya kita tolak, malah baru belakangan kita lihat kebaikan dan kecocokannya dengan diri kita, sehingga kita rasa layak untuk diterima.

Kalau sesuatu tadi berupa barang, suatu metode, atau bahkan seorang calon pasangan-hidup yang tadinya ditolak, sepanjang ia masih tersedia (available), kita masih mungkin menerimanya kembali. Namun bila itu adalah sebuah ajaran, atau katakanlah, sebuah agama, kendati ia sendiri masih selalu tersedia buat kita, boleh jadi kitalah yang justru tidak siap untuk menyebrang, untuk berganti anutan. Setidak-tidaknya, kita akan menerima reaksi keras dari komunitas sosial-relijius asal kita yang tak rela melepaskan dan membiarkan kita menyebrang begitu saja. Komunitas yang baru itupun belum tentu menerima kita secara benar-benar terbuka, karena masih menyangsikan kesetiaan kita. “Siapa yang menjamin kalau ia tidak akan menyebrang lagi ke yang lainnya dan mengkhianati kita?”, mungkin saja mereka berpikir demikian. Kita mau-tak-mau menjadi terlibat di dalam kepelikan dilema sosial-psikologis yang tidak perlu, sejauh dasar keterlibatan kita dalam komunitas itu adalah ajaran, adalah agama, dan bukan masalah sosial-organisatorisnya.

Makanya, di kalangan masyarakat relijius seperti Indonesia ini, tidaklah sedemikian mudahnya seorang berganti-ganti agama atau keyakinan, layaknya orang berganti-ganti pakaian atau mobil. Mungkin masih jauh lebih mudah berganti-ganti pasangan-hidup, yang memang diijinkan oleh sementara institusi agama.

Tetapi persoalannya adalah, umat beragama di Indonesia memeluk dan menganut agama tertentu lantaran terlahir dari orangtua yang memeluk dan menganut agama itu. Jadi itu sejenis warisan. Berbeda dengan masyarakat di negara-negara sekuler, seperti Amerika Serikat misalnya. Agama yang sebagian besar dari kita anut sekarang ini adalah ‘barang’ warisan dari orangtua kita, atau bahkan leluhur kita. Sebagai akibatnya, bagi kebanyakan kita, masalah beragama bukanlah masalah memilih dan menetapkan suatu pilihan, melainkan lebih pada menerima sesuatu untuk diwarisi, terlepas dari apakah yang diwarisi itu diterima atau ditolak oleh pewarisnya. Sehingga, bagi kebanyakan dari kita, secara konkrit, tidak ada persoalan menerima atau menolak suatu ajaran atau agama tertentu.

Memeluk dan menganut suatu agama tertentu sebagai warisan dengan sebagai pilihan, tentu berbeda di dalam penyikapannya. Ketertarikan untuk lebih mendalami ajaran agama yang diwarisi umumnya lebih kecil, walaupun seseorang begitu kuat keyakinannya terhadapnya. Artinya, agama disini lebih terposisikan sebagai budaya-hidup, atau bahkan adat-kebiasaan yang tak perlu dikritisi lagi.

Akibatnya sudah dapat dipastikan, pemahaman dari para pemeluk atau penganut ‘agama warisan’ terhadapnya menjadi sangat terbatas. Buruknya lagi adalah, selain sangat terbatas dalam cakupannya, itupun hanya sebatas kulit-luarnya saja, hanya sebatas permukaan yang kasat-indria saja. Kerangka-dasar ajaran —apalagi dasar-dasar filosofisnya— menjadi sesuatu yang ada di luar jangkauan. Tak jarang kalau mereka bahkan tak-faham betul akan apa yang selama ini mereka lakukan, yang hanya mereka ‘sangka’ sebagai kegiatan relijius hanya lantaran banyak orang yang melakukannya. Sangat boleh jadi kalau yang selama ini mereka sangka sebagai kegiatan relijius sesungguhnya hanyalah adat-kebiasaan saja.

Bila demikian kejadiannya, persoalan faktual mereka sesungguhnya adalah: bagaimana menjadikan apa yang diwarisi juga sebagai pilihannya. Dan, seperti yang telah kita singgung di awal tulisan ini, masalah memilih bukan saja masalah kemampuan menilai dan mempertimbangkan—yang bisa saja diperoleh dari pembelajaran secara sekuler dan pengalaman-pengalaman terkait dengan itu, namun ia juga masalah selera. Apa artinya ini?

Ini berarti, bagi yang berkepentingan, hanya memberikan pengajaran-pengajaran dengan maksud untuk memperdalam pemahaman sehingga keyakinan yang sudah ada menjadi lebih kokoh, belumlah mencukupi. Masih diperlukan pengemasan-pengemasan baru —sedemikian rupa— disana-sini, agar bisa seluas-luasnya menyentuh selera mereka. Ini, tentu bukan merupakan suatu tugas sederhana yang mudah. Para pengemasnya dituntut punya kepekaan yang cukup terhadap trend selera yang sedang berkembang, disamping punya kreativitas serta seporsi keluwesan dan kepiawaian di dalam menseleksi dan memodifikasi model-model kemasan baru secara inovatif. Ini benar-benar butuh sejenis think-tank team yang juga bertindak selaku task-force. Team ini, nantinya bukan saja akan meningkatkan sraddha dan bhakti dari para penganut yang telah ada, tapi juga bertindak sebagai sejenis missionaris guna menyebarluaskan ajaran dan merekrut para peminat dan penganut baru. Ia akan berfungsi ganda—melakukan preservasi dan juga invasi.

Semoga ini ada manfaatnya.
Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.
Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu setiap insan.

Yang tahu hanya kamu sendiri !



Alkisah di suatu negeri burung, tinggallah bermacam-macam keluarga burung. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Mulai dari yang bersuara lembut hingga yang bersuara menggelegar. Mereka tinggal di suatu pulau nun jauh di balik bukit pegunungan. Sebenarnya selain jenis burung masih ada hewan lain yang hidup di sana. Namun sesuai namanya negeri burung, yang berkuasa dari kelompok burung.

Semua jenis burung ganas, seperti, burung pemakan bangkai, burung kondor, burung elang dan rajawali adalah para penjaga yang bertugas melindungi dan menjaga keselamatan penghuni negeri burung.

Burung-burung kecil bersuara merdu, bertugas sebagai penghibur. Kicau mereka selalu terdengar sepanjang hari, selaras dengan desau angin dan gesekan daun. Burung-burung berbulu warna-warni, pemberi keindahan. Mereka bertugas bekeliling negri membentangkan sayapnya, agar warna-warni bulunya terlihat semua penghuni. Keindahan warnanya menimbulkan kegembiraan. Dan rasa gembira bisa menular bagai virus, sehingga semua penghuni merasa senang.

Pada suatu ketika, seekor induk elang tengah mengerami telur-telurnya.

Setiap pagi elang jantan datang membawa makanan untuk induk elang. Akhirnya, di satu pagi musim dingin telur-telur mulai menetas. Ada 3 anak elang yang nampak kuat berdiri. Dua anak elang hanya mampu mengeluarkan kepalanya dari cangkang telur harus berakhir dalam paruh sang ayah.

Dengan tangkas, elang jantan mengoyak cangkang telur lalu mematuk-matuk calon anak yang tak jadi. Perlahan-lahan sang induk memberikan potongan-potongan tubuh anaknya ke dalam paruh mungil anak-anak elang.

Kejam...? Ini hanya masalah kepraktisan. Untuk apa terbang dan mencari makan jauh-jauh jika ada daging bangkai di dalam sarang. Sebagai hewan, elang hanya mempunyai naluri dan akal tanpa nurani. Inilah yang membedakan manusia dan hewan.

Waktu berjalan terus, hari berganti hari. Anak-anak elang yang tadinya berbentuk jelek karena tak berbulu, kini mulai menampakkan keasliannya. Bulu-bulu halus mulai menutupi daging di tubuh masing-masing. Kaki kecil anak-anak elang sudah mampu berdiri tegak. Walau kedua sayapnya belum tumbuh sempurna.

Induk elang dan elang jantan, bergantian menjaga sarang. Memastikan tak ada ular yang mengincar anak-anak elang dan memastikan anak-anak elang tak jatuh dari sarang yang berada di ketinggian pohon.

Suatu pagi, saat induk elang akan mencari makan dan bergantian dengan elang jantan menjaga sarang. Salah seekor anak elang bertanya: “Kapankah aku bisa terbang seperti ayah dan ibu?”

Induk elang dan elang jantan tersenyum, bertukar pandang lalu elang jantan berkata: “Waktunya akan tiba, anakku. Jadi sebelum waktu itu tiba, makanlah yang banyak dan pastikan tubuhmu sehat serta kuat”. Usai sang elang jantan berkata, induk elang merentangkan sayapnya lalu mengepakkan kuat-kuat.

Hanya dalam hitungan yang cepat, induk elang tampak menjauhi sarang. Terlihat bagai sebilah papan berawarna coklat melayang di awan. Anak-anak elang, masuk di bawah sayap elang jantan. Mencari kehangatan kasih sang ayah.

Waktu berjalan terus, musim telah berganti dari musim dingin ke musim semi. Seluruh permukaan pulau mulai menampakan warna-warni dedaunan. Bahkan sinar mentari memberi sentuhan warna yang indah. Anak-anak elang pun sudah semakin besar dan sayapnya mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar.

Suatu ketika seeor anak elang berdiri di tepi sarang, ketika ada angin kencang, kakinya tak kuat mencengkram tepi sarang sehingga ia meluncur ke bawah. Induk elang langsung merentangkan sayang dan mendekati sang anak seraya berkata: “Rentangkan dan kepakan sayapmu kuat-kuat!”

Tapi rasa takut dan panik menguasai si anak elang karenanya ia tak mendengar apa yang dikatakan ibunya. Elang jantan menukik cepat dari jauh dan membiarkan sayapnya terentang tepat sebelum si anak mendarat di tanah. Sayap elang jantan menjadi alas pendaratan darurat si anaknya.

Si anak elang yang masih diliputi rasa panik dan takut tak mampu bergerak. Tubuhnya bergetar hebat. Induk elang, dengan kasih memeluk sang anak. Menyelipkannya di bawah sayapnya dan memberikan kehangatan. Sesudah si anak tenang dan tak gemetar, induk elang dan elang jantan membawa si anak kembali ke sarang.

Peristiwa itu menimbulkan trauma pada si anak elang. Jangankan berlatih terbang dengan merentangkan dan mengepakkan sayap. Berdiri di tepi sarang saja ia sangat takut. Kedua saudaranya sudah mulai terbang dalam jarak pendek. Hal pertama yang diajarkan induk dan elang dan elang jantan adalah berusaha agar tidak mendarat keras di dataran.

Lama berselang setelah melihat kedua saudaranya berlatih, si elang yang pernah jatuh bertanya pada ibunya:

“Adakah jaminan aku tidak akan jatuh lagi?”

“Selama aku dan ayahmu ada, kamilah jaminanmu!” jawab si induk elang dengan penuh kasih.

“Tapi aku takut!' ujar si anak.

“Kami tahu, karenanya kami tak memaksa.” jawab si induk elang lagi.

“Lalu apa yang harus kulakukan agar aku berani?” tanya si anak.

“Untuk berani, kamu harus menghilangkan rasa takut!”

“Bagaimana caranya?”

“Percayailah kami!” ujar elang jantan yang tiba-tiba sudah berada di tepi sarang.

Si anak diam dan hanya memandang jauh ke tengah lautan. Tiba-tiba si anak elang bertanya lagi; “Menurut ibu dan ayah, apakah aku mampu terbang ke seberang lautan?”

Dengan tenang si elang jantan berkata: “Anakku kalau kau tak pernah merentangkan dan mengepakkan sayapmu, kami tidak pernah tahu, apakah kamu mampu atau tidak. Karena yang tahu hanya kamu sendiri!”

Lalu si induk elang menambahkan: “Mulailah dari sekarang, karena terbang kecilmu akan menjadi awal perubahan hidupmu. Semua perubahan dimulai dari terbang awal, anakku!”

Si anak elang diam tertegun, memandang takjub pada induk elang dan elang jantan. Kini ia sadar, tak ada yang tahu kemampuan dirinya selain dirinya sendiri. Kedua orang tuanya hanya memberikan jaminan bahwa mereka ada dan selalu ada, jika si anak memerlukan. Didorong rasa bahagia akan cinta-kasih orang tuanya, si elang kecil berjanji akan berlatih dan mencoba.

Ketika akhirnya ia menggantikan elang jantan menjadi pemimpin keselamatan para penghuni negeri burung, maka tahulah ia, bahwa kesuksesan yang diraihnya adalah di mulai saat tekad terbangun untuk melangkah. Sukses itu tak pernah ada kalau hanya sebatas tekad. Tapi tekad itu harus diwujudkan dengan tindakan nyata, walau dimulai dari langkah yang kecil.

Mulailah rentangkan dan kepakkan sayap kemampuanmu, maka dunia ada digenggamanmu !

Dari Kesadaran-personal hingga Kesadaran-universal


Kesadaran-personal, bentuk kesadaran yang menegaskan bahwa kita ini ada sebagai sesosok pribadi yang tegas berbeda dengan yang lainnya; ini didukung kuat oleh kesadaran-ragawi serta pola-pandang kasat-indria. Sementara, kesadaran-ragawi ini sendiri tidak bisa hadir tanpa dukungan kerja dari segenap organ indria —lima indria sensorik dan lima indria motorik. Oleh karenanya, kesadaran-personal ini bisa juga disebut kesadaran-indriawi. Penganut bentuk kesadaran ini sangat banyak jumlahnya di dunia. Bahkan, hampir semua diantara kita ini masih dengan kuat menganut bentuk kesadaran ini.

Sementara kesadaran-sosial lebih merupakan kesadaran-mental. Ia berkembang dalam interaksi-interaksi sosial —yang pada hakekatnya adalah berinteraksi secara mental— yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk kesadaran inilah yang memberitahu kita kalau manusia lain juga sama manusianya dengan kita, yang menegaskan kepada kita bahwa manusia lain juga punya kebutuhan-kebutuhan yang serupa, punya prilaku dan pola-pikir yang serupa, dan banyak kesamaan-kesamaan lainnya. Dan oleh karenanya pula kita butuh membentuk suatu masyarakat yang menjamin adanya jalinan sosial, kegotong-royongan dan keharmonisan. Kesadaran-sosial yang ada pada diri ini sangat mengidam-idamkan keharmonisan dan kedamaian. Tindakan altruistis hanya bisa kita temukan pada mereka yang sudah sepenuhnya menjejakkan kakinya di wilayah kesadaran ini.

Kesadaran-universal hanya mungkin hadir pada mereka yang sudah berkembang kesadaran-spiritualnya. Bentuk kesadaran ini sudah tidak memisah-misahkan lagi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, antara spesies satu dengan spesies lainnya. Apa yang terlihat hanyalah makhluk-hidup, hidup dan bentuk-bentuk kehidupan itu sendiri, yang mau-tak-mau mesti harmonis dengan alam dimana mereka hidup. Bagi kesadaran ini, kematian jasad sudah kehilangan daya terornya; bahkan sudah kehilangan maknanya. Itu tak-ubahnya berganti pakaian. 

Kebanyakan dari kita masih berkubang pada bentuk kesadaran pertama —kesadaran-personal. Makanya persoalan ego menjadi persoalan yang merepotkan semua orang. Hanya mereka yang benar-benar menyadari keberadaannya sebagai abdi Tuhan —melalui mengabdi kepada sesama dan kepada prinsip-prinsip kemanusiaan itu sendiri— sajalah yang mampu mulai bergerak meninggalkan bentuk kesadaran-personal, yang sudah mulai menanggalkan ego beserta segenap implikasi egoistisnya hingga batas-batas tertentu, guna memasuki kesadaran-sosial —bentuk kesadaran yang bersendikan pada sikap altruistik yang sarat dengan kerja tanpa-pamerih.
Sungguh tidak banyak yang berhasil memasuki jenjang kesadaran-universal yang bertumpu pada mekarnya kesadaran-spiritual ini; ia mengatasi dan melingkupi kedua bentuk kesadaran sebelumnya. Disinilah kian tampak nyata betapa kekuatan spiritual jauh melampaui kekuatan fisikal atau material manapun. 

Seseorang yang belum berkembang kesadaran-sosialnya —dimana etika-moral mencirikannya dengan kuat, nyaris tak mungkin langsung masuk apalagi melangkahkan kakinya di wilayah kesadaran ini. Kepatuhan terhadap kaidah-kaidah etika-moral inilah yang ‘membebaskannya’ dari belenggu kesadaran-personal —yang kuatnya diwarnai oleh egoisme itu. Tak seorangpun berhak mengklaim sebagai dan pantas menyandang sebutan ‘seorang universalis’ sebelum menanggalkan egoismenya. Memaksakan diri, sama artinya dengan menguatkan egoisme.

Apa itu Hukum Identifikasi?



Identifikasi-diri, yang kemudian bertindak sebagai subjek atau ‘si aku’, memang bisa kepada berbagai macam hal yang berkaitan dengan diri kita, kepunyaan kita, kemampuan atau keakhlian kita, bidang profesi yang kita geluti, peran atau atribut yang kita kenakan, atau yang sejenisnya, hingga angan-angan, tujuan hidup dan cita-cita kita. Bisa bermacam-macam.
Kemudian, setelah kita nobatkan dia sebagai diri kita melalui identifikasi-diri, dialah yang menentukan susah-senang kita, bahagia-sengsara kita. Saya ajak Anda untuk menyebutnya dengan ‘Hukum Identifikasi’ atau ‘Hukum Penyamaan’, dimana hukum ini kurang-lebih berbunyi: “Kepada apa atau siapa kita mengidentifikasikan-diri, maka itulah atau dialah kita”. Ini sangat mirip dengan —apa yang kita kenal dengan— sugesti-diri, afirmasi diri atau bahkan hipnosis-diri.

Namun, betapa baikpun itu, betapa menyenangkanpun itu, betapa berhasilpun kita mengecoh diri ini untuk menjadi, berperan dan bertindak sebagai yang bukan dirinya sendiri, tak akan pernah mempertemukan kita dengan jati-diri kita; apalagi dengan Sang Diri-Jati.

Menatap Dunia dan Kehidupan dengan cara lain


Menatap dunia ini —berikut segenap hiruk-pikuknya— dari ‘suatu jarak tertentu’ bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Apalagi menatapnya dari ‘suatu jarak tertentu dengan ketinggian tertentu di atasnya’. Bahkan, mungkin frasa ini sendiri merupakan suatu istilah yang sama-sekali baru bagi kita —sejauh yang dimaksud bukanlah dalam artian fisikal.

Seseorang, bisa saja tampak terlibat langsung di dunia, langsung berada di tengah hiruk-pikuknya kehidupan duniawi, namun secara mental-emosional sama-sekali tiada tersentuh oleh semua itu, karena ia sebetulnya hanya menatap semua dari ‘suatu jarak tertentu dengan ketinggian tertentu di atasnya’. Pemposisian-diri seperti ini, sungguh bukan sesuatu yang mudah, oleh karenanya tidak lumrah. Jelas tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.


Namun, karena sesuatu dan lain hal seseorang bisa melakukan itu, ia akan melihat dunia dan kehidupan ini sama-sekali lain; berbeda dengan perspektif banyak orang sehingga iapun akan menyikapinya dan menjalani kehidupannya ini dengan ‘cara yang lain’. Cara lain disini tidak harus menjadikannya ekstrim, secara kasat-indria berlawanan dengan apa yang dilakukan orang-orang kebanyakan. Seperti telah disinggung sebelumnya, ia bisa saja masih tampak terlibat langsung dan aktif di dunia seperti yang lainnya, namun pada saat yang bersamaan sama-sekali tiada tersentuh oleh semua itu. Karena sebetulnya ia berada di ‘alam lain’.

Nah ... bagaimana Anda menatap dunia dan kehidupan yang sedang Anda jalani ?

Keselarasan antara Pemikiran, Ucapan dan Tindakan


Saya sering mengatakan pada istri saya kalau ‘jangankan tindakan fisikal ataupun ucapan, berpikir salahpun kita harus tanggung akibatnya’. Dan bagusnya, ia tampaknya mengerti; walaupun, seperti juga saya, belum mampu sepenuhnya untuk selalu berpikir benar.

Yang sering amati didalam kehidupan kita sehari-hari, adalah bahwasanya, kita sangat cenderung menyangka kalau kita ‘telah’ berpikir dengan benar, tanpa benar-benar memeriksa dsn mencermati kerja dari si pikiran —yang nyaris tak mau terlepas dari perasaan. Ketika si pikiran berkata: “Benar juga apa yang dikatakannya ....” misalnya, si perasaan segera menyahuti: “Sok tahu lu....”. Ketika si pikiran berkata: “Sebaiknya saya membereskan pekerjaan rumah saya dulu sebelum berangkat”; si perasaan menimpalinya: “Kita bisa kehilangan kesempatan untuk duduk di kursi depan”. Akhirnya ... alih-alih berpikir benar, kita malah terjebak keraguan, lantaran selalu berpikir berdasarkan pola ‘untung-rugi’ dan ‘kalah-menang’.

Pikiran punya sifat aktif, agresif dan sejenisnya; dan perasaan bersifat lembam, malas, mau enaknya saja, atau sejenisnya. Seperti apapun kerja duet pikiran-perasaan, tak akan pernah benar-benar membuahkan kearifan. Karena intelijensia-murni-lah yang arif. Hanya intelijensia-murni-lah yang membantu kita guna bisa berpikir benar, sehingga mungkin punya pandangan yang benar akan segala sesuatunya.


Padahal, kalau saja kita bisa menjadikan apapun yang sedang kita pikirkan juga hal yang sedang kita bicarakan dan kerjakan, kita punya kemungkinan yang sangat besar untuk menggapai keberhasilan, juga ketenteraman hati. Karena didalamnya bisa dipastikan terjadi keselarasan antara pemikiran, ucapan dan tindakan.

Mengkondisikan ‘suasana hati’?



Cahaya ini bukan untuk dinyalakan oleh orang lain ...
Tak seorangpun di dunia dan di sorga
yang bisa menyalakan itu,
selain Anda sendiri,
dalam pemahaman dan meditasi Anda sendiri.  ( J. Krishnamurti )

Bisa dirasakan langsung kalau kontak-kontak indriawi dengan lingkungan, dengan objek-objek indriawi itu sendiri, berpengaruh lasung terhadap emosi perasaan, terhadap bentuk-bentuk perasaan yang mendominasi isi benak ini, terhadap suasana-mental secara keseluruhan bukan? Secara naluriah, kita menyukai suasana lingkungan yang memanjakan fisik maupun mental kita. Naluri atau insting ini erat sekali kaitannya suasana-mental, terutama emosi. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa ‘emosi adalah reaksi dari jasad fisikal ini kepada tataran mental ini’.

Namun tidak demikian halnya dengan rasio. Rasio memang bisa bereaksi terhadap apa yang dialami oleh tataran fisikal ini, namun tidak selalu demikian; ia juga bisa sekedar merespons tanpa bereaksi sehingga tidak menghasilkan penyikapan atau tindakan instingtif. Kalau emosi punya pola tindakannya sendiri, rasiopun demikian. Rasio bisa berkata, ‘Tak perlu hiraukan gonggongan anjing itu, ia tak akan menggigit.’, walaupun emosi cenderung menggerakkan kaki ini untuk lari saja.

Yang cenderung emosional, cenderung memenangkan impuls-impuls emosinya dan bertindak instingtif. Dan ini, juga biasanya otomatis saja. Tanpa sepenuhnya disadarinya. Di tataran mental yang dominasi gelora emosi, pertimbangan, nalar atau akal-sehat tak mendapat kesempatan untuk ikut berkiprah, sehingga ia seakan-akan tak ada sama-sekali. Dan konyolnya adalah, tak sedikit orang yang menyangka kalau bertindak dalam dan digerakkan oleh kondisi mental serupa itu sebagai —apa yang mereka sebut sebagai— ‘mengikuti suara hati’.

Impuls-impuls emosi dan rasa sentimental atau bentuk-bentuk perasaan memang seringkali dikelirukan oleh banyak orang sebagai ‘suara hati’ atau ‘kata hati’. “Mood” misalnya, yang adalah ‘suasana mental’ —yang dipengaruhi secara kuat oleh kerja emosi atau perasaan— bahkan oleh sebuah kamus Inggris – Indonesia yang banyak digunakan orang diterjemahkan sebagai ‘suasana hati’.

Memang benar, bisa dirasakan langsung, kalau memang ada ‘suasana mental’ yang kondusif bagi kejernihan, yang memungkinkan —bukan saja nalar, tapi bahkan— intuisi bekerja. Namun ‘suasana mental’ seperti ini tidak semata-mata terbentuk oleh pengkondisi-pengkondisi eksternal —seperti suasana lingkungan sekitar, kontak-kontak indriawi maupun yang lainnya, namun kondisi internalnya sendirilah yang justru besar kontribusinya. Oleh karenanya, mengkondisikan ‘suasana hati’ —kalaupun ia memang bisa dikondisikan— lebih merupakan tindakan diam, mengkondisikan suasana internal. Dan, inilah sebentuk laku meditasi.