Anak kecil mencari Tuhan




Si kecil berkata lirih: "Tuhan, bicaralah denganku"
Maka seekor kutilang bernyanyi
Si anak tidak mendengarkan.

Maka dia bicara keras : "Tuhan, bicaralah denganku"
Tiba-tiba guntur menggelegar di langit
Tetapi si kecil tidak mendengarkan.

Si kecil mengamati sekelilingnya,
"Tuhan aku ingin melihatmu" malam itu bintang-bintang bersinar terang
Tetapi si anak tidak memperhatikannya.

Dan si anak berteriak keras,
"Tuhan tunjukkan sebuah mukzijat padaku!"
Dan sebuah kelahiran telah terjadi padanya, namun dia tidak merasa.

Dengan keputus-asaan dia berteriak histeris,
"Sentuhlah aku Tuhan, agar aku bisa melihatMu!"
Tiba-tiba 'Tuhan" turun dan hinggap di atas tangannya
Tetapi si anak mengusap tangan untuk menghalaunya dan terbanglah jauh... Sang Kupu-Kupu....

Menemukan Jati Diri


Personalitas atau kepribadian, menjadikan seseorang tampil unik, tampil beda dibanding orang lain. Dua orang kembar sekalipun punya keunikan masing-masing...tidak persis sama. Kepribadian yang unik inilah —dalam percakapan sehari-hari— disebut dengan jati-diri. Jauh di benak kebanyakan dari kita beranggapan bahwa jati-diri ini sesuatu yang solid, yang utuh, yang final, yang tak bisa berubah lagi. Atau dengan kata lain, kita adalah jati-diri kita ini. Dan ini sudah definitif, sudah final.

Tapi, apakah memang demikian adanya?
Sebelum membedahnya, marilah kita lihat lagi apa yan telah terjadi, apa yang telah kita perbuat berlandaskan anggapan seperti itu. Seluruh kehidupan kita, tanpa kecuali, dalam kelahiran ini, berlandaskan anggapan demikian. Dan ... kita tahu sendiri, karena telah kita alami langsung sendiri, seperti apa adanya melangsungkan kehidupan berlandaskan anggapan itu...berdasarkan anggapan bahwa kita adalah jati-diri kita, kita adalah kepribadian kita.

Dalam hubungan antar manusia misalnya, kita telah mengadakan hubungan pertemanan, persahabatan, persaudaraan dengan jati-diri jati-diri lain, dengan pribadi-pribadi lain; bahkan sebagian dari kitapun telah melahirkan pribadi-pribadi lain —melalui beranak-pinak. Sekali lagi, seluruh dari yang kita klaim sebagai kehidupan kita sampai detik ini, tiada lain berlandasan anggapan itu. Dan ‘fakta’ ini, kita alami langsung, kita rasakan langsung. Kitapun tak pernah merasa perlu mempertanyakannya kembali ‘apakah sesungguhnya memang demikian adanya?’, karena telah menganggap kalau angapan itu benar, telah menyangka kalau kita telah menemukan kesejatian dari diri kita.

Tapi, apakah sesungguhnya memang demikian adanya?
Mempertanyakan yang seperti ini, mempertanyakan anggapan mendasar kita, yang melandasi seluruh alur kehidupan kita selama ini, tidaklah dilakukan oleh semua orang, tidaklah dilakukan oleh sembarang orang. Ini butuh derajat kesadaran serta keberanian tertentu; sebab jawaban atasnya, bisa meruntuhkan semua bangunan yang selama ini kita sebut dengan ‘hidup dan kehidupanku’. Dan....tentu tak banyak orang yang benar-benar siap menghadapi resiko besar ini.

Kebanyakan dari kita akan lebih memilih untuk tetap berada di ‘zona aman’ anggapan kita selama ini, sejauh telah puluhan tahun lamanya kita berada di ‘zona aman’ itu. Itulah mengapa ini tak dilakukan oleh sembarang orang.Derajat kesadaran tertentu yang dibutuhkan untuk menerbitkan niat untuk mempertanyakannya saja, tak serta-merta hadir. Mungkin seseorang diharuskan mengalami banyak pengalaman yang tidak mengenakkan, bahkan hingga sedemikian menyakitkan dalam kehidupannya, sekedar guna memunculkannya —seperti ditinggal mati oleh orang-orang yang paling dikasihinya, misalnya. Mungkin mesti demikian. Oleh karenanyalah, niat berbahaya ini tak terbit pada sembarang orang.

Makanya dibutuhkan derajat keberanian tertentu. Mereka yang sudah merasa nyaman di ‘zona aman’ ciptaan sendiri, sudah barang tentu tak akan mau mengambil resiko besar yang punya kemungkinan meruntuhkannya. Jadi dibutuhkan ‘keberanian lain’, yang bukan sekedar keberanian mengambil resiko, seperti pola kalah-menang dan untung-rugi. Namun, perlu dicamkan baik-baik kalau, hanya apabila seseorang punya derajat kesadaran dan keberanian tertentu yang dibutuhkan sajalah ia punya kemungkinan dipertemukan dengan siapa atau apa sesungguhnya ia adanya, punya kemungkinan dipertemukan dengan sejatinya, dengan ‘Jati-diri dari jati-dirinya sendiri’.





“ Man’s knowledge of his own self is indisputable,inviolable, and certainly true, and no one doubts one’s own existence. “