Winner Not Whiner


Banyak orang sekarang mengeluh mengenai berbagai hal dalam hidup mereka. Dan biasanya, orang yang banyak mengeluh juga ahli dalam menyalahkan situasi atau orang lain. Mereka mengarahkan jari telunjuk pada ekonomi, pemerintah, atasan mereka, karyawan lain, pasangan mereka, atau siapapun yang mereka temui.

Bahkan ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik, mereka yakin bahwa keadaan itu tidak akan berlangsung lama. Sambil menunggu terjadinya hal-hal buruk, mereka mengeluh dan menyalahkan segala sesuatu yang terjadi hari sebelumnya, dan menunjukkan siapa yang seharusnya dipersalahkan atas segala sesuatunya.

Mengeluh dan menyalahkan sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan psikologis utuk melarikan diri dari masalah dan mengingkari tanggung jawab atas hidup kita sendiri. Mengeluh dan menyalahkan adalah sebuah cara lain untuk mengatakan, "Itu bukan salah saya." Menempatkan diri kita sebagai korban dari seseorang atau sebuah situasi membuat kita merasa aman.

Tapi berita buruknya adalah, menyalahkan dan mengeluh tidak akan membawa kita kemanapun. Ia hanya membuat jarak yang semakin besar terhadap solusi atas masalah kita. Orang yang menyalahkan orang lain atas masalah mereka selalu memiliki alasan untuk tidak berubah dan meningkatkan kehidupan mereka. Faktanya adalah, alasan apapun yang kita kemukakan, ia bukanlah solusi atas masalah yang kita hadapi. Selama kita masih berlindung dibalik segala alasan, kita tidak akan menemukan solusi atas masalah kita.

Hidup adalah soal pilihan. Kita mendapatkan apa yang kita pilih. Hidup kita hari ini adalah hasil dari pilihan yang kita buat kemarin. Dan hidup kita esok adalah hasil dari pilihan yang kita buat hari ini. Sekarang, mari kita putuskan apa yang akan kita pilih:

Hadapi kenyataan, berubah dan meningkatkan kehidupan kita.

Atau…

Habiskan waktu untuk menyalahkan dan mengeluh tentang segala hal.

Dalam kata yang sederhana, apa yang akan kita pilih: Menjadi Pemenang (Winner) atau Pengeluh (Whiner).

Saya yakin bahwa kita semua akan memilih yang pertama, meskipun terkadang tidak segampang itu. Namun, kita tetap harus memilih apa yang ingin kita capai dalam hidup kita. Kita harus memilih, menjadi seorang juara (victor) atau korban (victim), pemenang atau pecundang. Begitu kita mengambil keputusan, secara bertahap perubahan akan terjadi dalam hidup kita.

Sekarang, mari kita berjanji pada diri sendiri. Bila mendapati diri kita mulai mengeluh dan menyalahkan situasi atau orang lain, ingat untuk menghardik diri sendiri, "STOP!" Ambil napas yang dalam sejenak, analisa situasi, paparkan alternatif solusi yang kita miliki, ambil keputusan dan mulailah melangkah menuju solusinya.

Ingat, sukses tidak akan datang dengan sendirinya. Kita yang harus mendatanginya, mengusahakannya. Saya ingin mengakhiri edisi kali ini dengan kutipan kata mutiara yang luar biasa dari William Jennings Bryan di bawah ini:

“Destiny is not a matter of chance, it is a matter of choice. It is not a thing to be waited for, it is a thing to be Achieved!”

"Takdir bukanlah soal kesempatan, ia adalah soal pilihan. Ia bukan untuk dinantikan, ia harus dicapai."


Selamat Tahun Baru !!!


Jadi pemenang atau pecundang?


Pemenang selalu menjadi bagian dari jawaban;
Pecundang selalu menjadi bagian dari masalah.

Pemenang selalu memiliki program;
Pecundang selalu memiliki alasan.

Pemenang selalu mengatakan, "Akan saya lakukan untuk Anda”;
Pecundang mengatakan, “Itu bukan tugas saya."

Pemenang melihat jawaban atas setiap permasalahan;
Pecundang melihat masalah dalam setiap jawaban.

Pemenang mengatakan, "Memang susah, tapi tetap ada kemungkinan";
Pecundang mengatakan, “Memang ada kemungkinan, tapi itu terlalu sulit."

Ketika seorang pemenang melakukan kesalahan, ia mengatakan, “Saya salah.”;
Ketika seorang pecundang melakukan kesalahan, ia mengatakan, “Bukan salah saya.”

Seorang pemenang membuat komitmen;
Seorang pecundang membuat janji.

Pemenang memiliki impian;
Pecundang memiliki rencana kotor.

Pemenang mengatakan, “Saya harus melakukan sesuatu";
Pecundang mengatakan, “Sesuatu harus dilakukan."

Pemenang adalah bagian dari team;
Pecundang terpisah dari team.

Pemenang melihat manfaatnya;
Pecundang melihat penderitaannya.

Pemenang melihat kemungkinan;
Pecundang melihat masalah.

Pemenang percaya pada prinsip menang-menang;
Pecundang percaya bahwa agar bisa menang, seseorang harus kalah.

Pemenang melihat potensi;
Pecundang melihat masa lalu.

Pemenang memilih apa yang mereka katakan;
Pecundang mengatakan apa yang mereka pilih.

Pemenang menggunakan argument yang kuat dengan kata-kata yang lembut;
Pecundang menggunakan argument yang lemah dengan kata-kata yang kuat.

Pemenang berpegang teguh pada nilai dan berkompromi terhadap hal-hal kecil;
Pecundang berpegang teguh pada hal-hal kecil dan berkompromi terhadap nilai.

Pemenang menuruti filosofi empati: "Jangan lakukan pada orang lain hal-hal yang tidak kamu ingin mereka lakukan terhadap kamu";
Pecundang mengikuti filosofi, "Lakukan pada orang lain sebelum mereka melakukannya padamu."

Pemenang membuat segala sesuatunya terjadi;
Pecundang membiarkan segala sesuatunya terjadi.

Kaca Spion


[ Andy F. Noya ]

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?

Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.
Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia.Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.

Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.

Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya . Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah.

Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.

Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami – ibu, dua kakak, dan saya – harus bisa bertahan hidup sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya. Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan. Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ”Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,” ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, “Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras.”
Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong. Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak.

Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.

Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.

Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit …

Mau jadi patung?


Anda pernah melihat batu pualam yg di museum… ada lantai pualam juga kan??


Nah… Satu ketika si lantai pualam mengeluh, “Kenapa yah, kita berasal dari gunung yang sama, batu yg sama, tapi kenapa nasibku begitu buruk, Aku ditempatkan dilantai, kotor dan diinjak-injak orang, sementara kamu ditempatkan ditempat yg indah, disorot lampu berjuta-juta watt, dan dikagumi semua orang… Kamu ditempatkan ditempat yg mulia… sementara aku hanya ditaruh ditempat yg hina”


Lalu patung pualam itu menjawab, “Tahu gak… waktu kita sedang mau dipahat oleh Pemahat Yang Agung itu… kamu mengeraskan dirimu, jadi kamu mematahkan setiap pisau yang dipakai pemahat itu untuk membentuk kamu… Akhirnya pemahat itu menyerah… terus dibiarkan kamu hanya menjadi lantai dan diinjak orang”


“Ketika pemahat Yang Agung itu memahat aku… Aku merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhku… Pisau yang tajam itu melukaiku… dan setiap pahatannya meninggalkan rasa perih yang dalam pada bekas pahatannya… Tapi karena aku tahu aku berada ditangan yang tepat… aku merelakan diriku dibentuk sesuai dengan keinginan sang pemahat… Aku merelakan sepenuhnya akan dibentuk jadi apa aku nantinya… ”


Aku hanya menutup mata dan menikmati pisau menyentuhku…


Dan ketika aku membuka mataku… Aku sudah berada ditengah-tengah sebuah museum yang mahal, Ditempatkan ditempat yang terindah dan dikagumi semua orang… dan disoroti sinar lampu yang membuatku makin merasa berharga…


Dan aku menjadi batu termulia dari semua batu didunia ini. Hanya karena aku ikhlas menjalani semua proses pembentukan yang memang selayaknya dilalui oleh semua “batu” untuk membentuknya menjadi batu yang terbaik.

Hati yang Selesai, Hidung Pesek dan Marijuana Politik


Ada seorang tamatan SMA yang menjadi tukang becak namun hatinya tidak pernah ikhlas dengan pekerjaannya, sehingga satu kali kakinya menggenjot pedal becak, satu kalimat gerutuan nongol dari bibirnya. Setiap berpapasan dengan orang lain, ia merasa di ejek. Kalau ada orang tak sengaja menatapnya, ia langsung bereaksi dengan memelototkan matanya. Ia merasa setiap orang yang naik mobil dan motor, atau bahkan setiap penumpangnya, adalah bangsat-bangsat yang memperhinakan hidupnya, yang bisa beli motor dan mobil dan punya ongkos naik becak karena korupsi, mencopet, atau perbuatan tidak bermoral lainnya.

Hatinya dirundung penyakit. Hatinya tak pernah selesai.

Ia menyangka bahwa menjadi tukang becak adalah suatu kehinaan hidup. Ia beranggapan bahwa menjadi presiden, menjadi orang kaya, menjadi orang terpandang, menjadi direktur perusahaan, itulah hidup yang mulia. Itulah kamukten. Adapun kuli, pemulung, satpam, pengasak, tukang becak - adalah secelakanya- celakanya orang hidup.

Tentu karena ia adalah produk dari suatu masyarakat feodal yang memelihara kebodohan nilai berabad-abad. Ia adalah anak dari jaman dungu yang tidak pernah menggali akal dan rasionalitas, sehingga tidak pernah mengerti bahwa menjadi hidup yang mulia adalah hidup yang benar dan baik. Bahwa menjadi sales yang profesional dan santun dan jujur lebih mulia dibanding menjadi direktur yang curang dan korup. Bahwa menjadi tukang yang setia, tekun dan amanah, lebih tinggi derajatnya dibanding menjadi presiden yang culas, licik, tak tahu malu dan egois.

Maka hatinya penuh kerewelan yang mubazir. Hatinya tak kunjung selesai.

Maka energi pikiran dan hatinyapun dikuras tidak untuk menapak kedepan: bagaimana mencari kemungkinan pekerjaan lain yang menurutnya lebih bergengsi dan berpendapatan lebih tinggi. Bukan untuk melatih ketrampilan baru atau rajin mencari peluang-peluang yang bisa mengembangkan hidupnya.Ia menghabiskan daya hidupnya untuk mengutuk kenyataan hidupnya sendiri, dan ia mandeg dalam kenyataan yang ia kutuk sendiri itu.

Yang paling celaka adalah bahwa dibalik kecamannya atas kemalingan orang lain yang karena itu bisa membeli mobil dan motor,si penarik becak ini diam-diam mencita-citakan suatu peluang untuk juga bisa maling,sehingga juga bisa beli motor. Atau sekurang-kurangnya dia bermimpi kapan ada kesempatan ia bisa menyikat entah motor siapa dan membawanya lari.

Kalau setelah sekian tahun ternyata cita-cita rahasia itu tidak tercapai,maka dialektika antara impian dengan grutuan akan membengkak seperti bola salju. Pelan-pelan ia akan mengalami kekalahan dan keausan. Baik mentalnya maupun mungkin juga fisiknya. Wajahnya tidak bercahaya. Cepat berkerut.

Dan satu kali ia menggerutu, maka sehelai rambutnya memutih.

Tukang becak itu bisa juga seorang politisi, seorang pengusaha, seorang pejuang karier pribadi, bisa juga seorang seniman, penyanyi, pemain sinetron, ustadz, ulama, atau kiai, atau siapa saja. Hidung pesek adalah realitas dan kewajaran hidup mereka masing-masing. Sementara motor dan mobilnya adalah kemenangan politik, kedekatan dengan konglomerat, keunggulan jurus berbuat licik, pemilikan masa atau apa saja. Dan jika kumpulan pemimpin negara dan masyarakat kita adalah orang-orang yang hatinya belum selesai, maka sudah kita alami bersama bencana demi bencana menimpa,termasuk menimpa para pemilik hidung pesek kepemimpinan nasional kita.

Hatinya tak pernah selesai.

Sebagaimana ada juga seorang lain yang hidungnya kalah mancung dibanding orang lain. Sampai tua hatinya tak pernah selesai. Hatinya dipenuhi hidung. Hatinya buram oleh tema hidung dari pagi sampai pagi. Hatinya ruwet oleh ukuran hidung. Banyak urusannya terganggu oleh hidung, bahkan diam-diam banyak rejekinya yang tidak jadi bersentuhan dengannya karena ia sibuk dengan harga diri yang menyangkut hidung.

Demikian juga ketika 'hidung-hidung' itu berupa pemilikan barang, obsesi kedudukan, cita-cita yang tidak rasional, egoisme atas sesuatu hal, baik dalam wilayah pergaulan kecil sehari-hari, maupun perpolitikan besar nasional. Hidung itu bisa bernama konstitusi, demokrasi, pansus, xgate, saham diperusaan, akses modal, dan apa saja. Salah satu puncak dari psikologisme itu adalah si pemilik hidung pesek berfatwa bahwa hidung yang indah dan diterima oleh Tuhan bukanlah hidung mancung melainkan hidung pesek. Dan akhirnya kalau ada pihak yang membantah fatwa, yang sudah dicari-carikan ayatnya itu akan diserbu oleh pasukan hidung pesek.

Negara ini tidak pernah tentram karena hati para pemimpin dan warganya penuh keruwetan dan tak kunjung selesai. Hatinya rakus tuntutan, haus ketidak relaan. Hatinya shakauw : menagih, menagih, menagih. Kalau yang itu naik ke kursi puncak, yang ini juga harus mendapatkan gilirannya. Nanti kalau yang ini naik kepuncak Ia juga akan ditimpa ketidak relaan berikutnya: Yang lain juga harus naik kepuncak.

Kita semua diborgol oleh irama tagihan-tagiham dari kedalaman diri kita sendiri. Kita mengidap narkoba, sabu-sabu, uap lem, marijuana politik, dan kekuasaan.


[ Emha Ainun Najib ]

Petani Impian


Senang rasanya membayangkan hal-hal yang luar biasa yang bisa kita raih suatu hari nanti. Ada banyak hal yang sepertinya yang ingin kita lakukan untuk diri kita sendiri, keluarga maupun masyarakat sekitar kita.Dengan impian manusia, begitulah katanya dunia ini terus bertahan.Lihat saja orang yang hidupnya dipenuhi impian-impian tentang hari esok yang lebih baik... Hidupnya penuh semangat dan antusias...

Dia tidak hanya sekedar bermimpi, tapi benar-benar membangun taman impiannya itu mulai dari mempersiapkan dirinya agar menjadi "Petani Impian" yang lebih baik, mempelajari lahan tempat taman impiannya akan dibangun, dia haus akan pengetahuan bagaimana cara membangun taman impiannya..

Untuk menjadi Petani Impian yang lebih baik, dia mulai dari dirinya, dia belajar Ilmu Diri, dia coba kenali dirinya, apa potensinya.. sampai akhirnya dia tahu di persimpangan mana ia sudah saat ini berada.. kemana dia harus melangkah lebih dulu.. bahkan sekarang dia tahu, ternyata banyak sekali pola pikir, sikap hidup, pergaulannya yang menghambat dia mencapai impiannya...
Banyak hal yang dilakukan dalam hidupnya yang manfaat dari kegiatan tersebut, kesenangannya, hanya untuk hari itu saja...

Sekarang dia telah siap untuk membangun impiannya... taman impiannya sendiri...
Bukan taman impian yang telah disiapkan oleh orangtuanya, juga bukan taman impian om dan tantenya...

Dia ingat sekarang.. beberapa teman yang dia ikuti gaya hidup enak dan santainya ternyata sudah ada jatah taman impian dari famili-familinya...
Sudah saatnya untuk menguji semua pengetahuan yang dimilikinya tentang Menabur Benih Impian dan kemudian menuainya...

Lahan sekarang sudah di depan mata.. semua peralatan sudah disiapkan dan dia sudah mempelajari bagaimana menggunakan alat-alat tersebut.. dia juga yakin.. dengan semakin sering dia gunakan alat-alat ini.. dia pasti akan semakin mahir.. bahkan kalau perlu mengembangkan alat bertani sendiri...

Urutan suskes-sukses kecil sudah terbayang di matanya... fokusnya jelas.. termasuk apa yang harus dikerjakan dan efek atas setiap pekerjaan tersebut...
Oh ya, dia juga pernah mendengar beberapa Petani Impian lain yang gagal.. namun dia juga pernah mendengar tentang Petani-petani Impian yang telah berhasil membangun Taman Impian mereka...

Dia mengerti membangun taman ada resiko perubahan musim, hama dan lain-lain.. namun dengan pasrah berpangku tangan... lebih beresiko lagi...
Tapi dia tidak akan pernah tahu apakah dia akan berhasil membangun Taman Impiannya atau tidak sampai dia benar-benar bertindak membangunnya... karena dia juga mengerti.. kebanyakan ketakutan hanya ada dalam pikiran..

Dia sangat menghormati para Petani Impian yang masih terus berjuang membangun Taman Impiannya.. tapi tidak kepada Petani Impian yang telah menyerah dan sekarang membuat barisan dipinggir ladang sambil bersorak-sorak bahwa Taman Impian tidak mungkin dibangun...
Dari Petani Impian mereka berubah menjadi Pencuri Impian...

Cobalah sebutkan mimpi-mimpi anda pada teman anda, anda akan segera tahu; dia seorang Petani Impian atau Pencuri Impian...
Berapa kali mimpi anda telah dicuri orang?
Lebih buruk lagi, ada orang yang mensabotase impiannya sendiri…

Jangan jadi kepiting


Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting, tapi tidak banyak yang tahu sifat kepiting.
Semoga Anda tidak memiliki sifat kepiting yang dengki.
Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah.

Kepiting itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat.
Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di malam hari, lalu dimasukkan ke dalam wadah, tanpa diikat. Keesokan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantap untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan ini, kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari wadah, sekuat tenaga mereka, dgn menggunakan capit-capitnya yang kuat.

Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil buruannya selalu berusaha meloloskan diri.

Resepnya hanya satu,yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting.

Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari wadah, teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar. Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut wadah, lagi-lagi temannya akan menariknya turun… dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar.

Keesokan harinya sang pemburu tinggal merebus mereka semua dan matilah sekawanan kepiting
yang dengki itu.


Begitu pula dalam kehidupan ini… tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu.
Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalami kesuksesan kita malahan mencurigai, jangan-jangan kesuksesan itu diraih dengan jalan yang nggak bener.

Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi,sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera kita sadari tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.

Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya.

Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalah dalam suatu persaingan,namun yang pasti kita menang dalam kehidupan ini.

Pertanda seseorang adalah ‘kepiting’:

1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi) yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip/pedoman dalam bertindak.

2. Banyak mengkritik tapi tidak ada perubahan

3. Hobi membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting-kepiting yang akan keluar dari wadah dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri.

Seharusnya kepiting-kepiting itu tolong-menolong keluar dari wadah,namun yah… dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya…


Coba renungkan berapa waktu yang Anda pakai untuk memikirkan cara-cara menjadi pemenang.
Dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama. Dan gantilah waktu itu untuk memikirkan cara-cara pengembangan diri Anda menjadi pribadi yang sehat dan sukses.

Open your mind



Dahulu kala di suatu desa kecil di Indian, seorang petani yang sangat miskin mempunyai hutang yang sangat besar kepada rentenir di desa tersebut. Rentenir itu, udah tua, bangkotan, eee.... malah tertarik pada putrinya pak tani yang cakep itu.

Kemudian si rentenir tersebut mengajukan penawaran, dia akan melupakan hutang2 petani tersebut jika dia dapat menikahi putrinya.Sang petani dan putrinya pun bingung dengan tawaran tersebut, kayaknyamereka nggak setuju.

Melihat gelagat seperti itu Si rentenir mengajukan tawaran lagi untuk membuat keputusan. Dia mengatakan, bahwa dia akan meletakkan kepinghitam dan keping putih di dalam kantong kosong, kemudian sang putri petani diharuskan untuk mengambil satu keping dari kantong tersebut.


1. Jika sang putri mendapatkan keping hitam, maka dia akanmenjadi istri rentenir tersebut dan hutang2 petani tersebut lunas.

2. Jika sang putri mendapatkan keping putih, maka rentenir tersebut tidak akan menikahi sang putri dan hutang2 petani tersebut lunas.

3. Jika sang putri menolak mengambil keping, sang petani akan dipenjara.

Berada di halaman petani yang banyak terdapat kepingan2,si rentenir mengambil 2 keping. Ketika mengambil, mata sang putri yang tajammelihat, bahwa keping yang dimasukkan ke dalam kantong keduanya berwarna hitam. Kemudian rentenir itu menyuruh sang putri mengambil keping tersebut di dalam kantong.

Sekarang bayangkan anda ada di sana , apa yang kamu lakukan jika anda sebagai putri tersebut? Jika anda harus menolong sang putri, apa yang harus kau lakukan kepada sang putri?

Melihat hal seperti itu, ada 3 kemungkinan. ..

1. sang putri menolak untuk mengambil kepingan.

2. sang putri menunjukkan, bahwa yang di dalam kantong tersebut keduanya adalah berwarna hitam serta mengungkap, bahwa rentenir tersebut curang.

3. sang putri mengambil keping hitam dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan ayahnya dari hutang2 dan penjara.

Sekarang pertimbangkan cerita di atas. Pengalaman ini digunakan untuk membedakan pemikiran logika dan lateral thinking. Dilema sang putri tidak dapat diselesaikan dengan logika awam. Pikirkan cara lain, jika sang putri tidak memilih pilihan yang diberikan kepadanya.Apa yang akan anda tawarkan kepadanya ?

Jangan melihat jawaban di bawah ini, sebelum anda memikirkan cara lain sebagai saran kepada sang putri, pikirkan 5 menit saja....

`
`
`
`
`
`
`
`
`
`

Baik, begini caranya.

Sang putri memasukkan tangannya ke dalam kantong dan mengambil satu keping tersebut. Tanpa melihat keping tersebut, secara sengaja menjatuhkan (setengah melempar) keping tersebut ke halaman dan bercampur dengan keping2 yang lain di halaman.'Oh, betapa bodohnya aku' kata sang putri, 'tapi, anda nggak usah khawatir, jika tuan melihat sisa kepingan di dalam kantong, maka tuan akan mengetahui keping mana yang saya ambil'. Dengan begitu, sisa yang ada di dalam kantong adalah keping berwarna hitam, sehingga diasumsikan bahwa sang putri telah mengambil keping yang berwarna putih.Sejak rentenir berani menyatakan untuk tidak jujur, sang putri mengubah dari keadaan yang kelihatannya mustahil menjadi keadaan yang sangat menguntungkan.



Moral of the story : Semua permasalahan yang kompleks mempunyai jalan keluar. Yang anda butuhkan hanya melebarkan pemikiran anda.Jika logika anda tidak bisa bekerja, berusahalah dengan lateral thinking.Lateral thinking sangat kreatif, mudah dikerjakan tiap hari.

'Rahasia untuk sukses, adalah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain'...... .Lebih Baik Mulai Menyalakan Lilin daripada terus menerus mengutuki kegelapan yang menyelubungi kita...

Fakta Hidup Anda


1. Sekurang-kurangnya ada 5 orang dalam dunia yang menyayangi Anda dan sanggup mati karena Anda.

2. Sekurang-kurangnya ada 15 orang dalam dunia ini yang menyayangi Anda dalam beberapa cara.

3. Sebab utama seseorang membenci Anda adalah karena dia ingin menjadi seperti Anda.

4. Senyuman dari Anda boleh membawa kebahagiaan kepada seseorang, walaupun dia tidak menyukai Anda.

5. Setiap malam ada seseorang mengingat Anda sebelum dia tidur.

6. Anda amat bermakna dalam hidup seseorang.

7. Kalau bukan karena Anda,seseorang itu tidak akan hidup bahagia.

8. Anda seorang yang istimewa dan unik.

9. Seseorang yang Anda tidak ketahui menyayangi Anda.

10. Apabila Anda membuat kesalahan yang sangat besar, ada hikmah dibaliknya.

11. Sekiranya Anda merasa dipinggirkan, pikirkan dahulu; mungkin Anda yang meminggirkan mereka.

12. Apabila Anda berpikir tidak mempunyai peluang untuk mendapatkan sesuatu yang Anda ingini, mungkin Anda tidak akan memperolehnya, tetapi jika Anda percaya pada diri sendiri lambat laun Anda akan memperolehnya.

13. Kenanglah segala pujian yang Anda terima. Lupakan segala caci maki.

14. Jangan takut untuk meluapkan perasaan Anda; Anda akan merasa senang bila seseorang mengetahuinya.

15. Sekiranya Anda punya sahabat baik, ambillah waktu untuk memberitahunya bahwa dia adalah yang terbaik. Hanya semenit diperlukan untuk mendapat sahabat baik, sejam untuk menghargainya, sehari untuk teman tetap paling setia. Walaupun punya harta yang banyak, teman tetap paling berharga.

The Candle of Hope

Ada 4 lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh.
Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka...

Yang pertama berkata: “Aku adalah Damai. Namun manusia tak mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!”
Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.

Yang kedua berkata: “Aku adalah Iman. Sayang aku tak berguna lagi. Manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.”
Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara:”Aku adalah Cinta. Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna.”
“Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya.”
Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga.

Tanpa terduga…
Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah padam.
Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “Ekh apa yang terjadi?? Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!”

Lalu ia mengangis tersedu-sedu.

Lalu dengan terharu Lilin keempat berkata:
"Jangan takut, Janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya"
” Akulah H A R A P A N “

Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya.

Apa yang tidak pernah mati hanyalah H A R A P A N yang ada dalam hati kita… dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Iman, Damai, Cinta dengan HARAPAN-nya...

Beban bukan penyebab stres

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: "Seberapa berat menurut anda kira-kira segelas air ini?" Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr. "Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya," kata Covey.

"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."

Beban hidup kita sama seperti gelas air yang diangkat Covey. Terkadang kita merasa beban hidup kita terlalu berat dan tidak teratasi lagi sampai merasa begitu putus asa.

Tetapi beban hidup tetap harus dihadapi, dan kita harus ingat bahwa Tuhan tidak akan pernah memberi suatu masalah atau beban yang tidak teratasi oleh kita. Pasti ada suatu cara bagaimana mengatasi masalah tersebut. Hanya bagaimana kita cara kita menghadapi dan mengatasi masalah dan beban hidup yang membuat kita berbeda satu sama lain.

Jika kita membawa dan memikirkan beban kita terus menerus maka beban itu semakin lama akan terasa semakin berat. Suatu saat kita harus meninggalkan beban tersebut untuk beristirahat agar kita lebih segar dan lebih kuat membawa beban itu lagi.

Jadi bukan beban berat yang menyebabkan stres, melainkan lamanya kita membawa beban hidup dan bagaimana cara kita menghadapi beban tersebut.

Semakin kita banyak bersyukur, seberat apapun beban hidup kita pasti akan terasa ringan dan pasti ada jalan keluar untuk menghadapi dan mengatasi beban tersebut.

Tukul yang bijaksana

Empat Mata dibredel, dan Negeri ini semakin lucu saja....
Jujur saya termasuk yang keberatan dengan keputusan KPI ini, meski saya bukanlah Tukulers hehe... Bukankah begitu banyak tayangan yg sebenarnya layak untuk dibredel? Sinetron gak jelas, Dangdut Aurat, Dan berbagai tayangan lain yang bikin eneg. Tapi Empat Mata? Ini kan tayangan komedi Bos...

Negeri yang Aneh, mau ketawa saja diatur... Bener kata Warkop DKI dulu, "Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang."

Oke lah... mau apalagi coba?
Berikut kata-kata bijak ala Tukul,yang tentunya saat itu disampaikan sambil cengengesan.
Semoga bisa menginspirasi...


Buat apa jadi orang pinter tapi kerjaannya mbodohin orang lain.

Kerjaan yang paling gampang itu nyalahin orang lain.

Hidup itu praktek, gak perlu teori, teori itu cuma menang dan sukses di angan-angan, praktek itu kenyataan dan bukti otentik.

Orang sabar untungnya di depan mata, orang emosi ruginya di depan mata.

Kalau anak istri senang otomatis suami senang, tapi kalau suami senang-senang belum tentu anak istri senang.

Sanjungan adalah teror.

Jangan cuma cerdas aja tapi juga harus cermat.

Ibarat cermin kalau kita senyum dia juga senyum makanya kalau kita mau dihargai orang kita harus menghargai orang lain.

Kalau kau membuka pintu kemudahan pada orang lain maka pintu kemudahan akan terbuka untukmu.

Hidup harus penuh mimpi, siapa tahu suatu saat bisa kesampaian.

Kemewahan itu apa sih? Semuanya itu hanya mampir saja.

Kelemahan yang ada di dalam diri saya, saya nikmati saja dan justru itu menjadi berkah bagi saya.

Melawak itu ibarat bermain musik. Selain jam terbang, jiwanya juga harus besar.

Rezeki nggak boleh ditolak. Kalau kamu nolak rezeki, nanti rezeki ngomong dengan bahasa rezeki. Biar rezeki lain juga nolak kamu.

Harta , kekayaan popularitas itu hanya titipan. Tidak ada yang perlu dibanggakan.

Untuk menjadi besar harus mau membesarkan orang lain. Dengan demikian, anda akan menjadi besar. Jangan sebaliknya, untuk menjadi orang besar malah dengan cara mengecilkan orang lain.

Cinta itu biasanya berkolaborasi dengan nafsu tapi kalau sayang sudah pasti cinta.

Cinta itu misteri, dari lima orang yang pernah saya taksir. Sepuluh orang menolak! Iya, karena wajah saya tidak ganteng.

Orang yang lahir duluan biasanya egois.

Hidup itu harus tek en gif.

Orang itu jangan dilihat dari kekayaannya, tapi iner biutinya.

Sama perempuan itu harus persuasif, jangan represif.

Orang itu harus optimis, jangan pesimis, jangan kalah sebelum berperang tapi harus menang sebelum berperang.

Saya bukan yang terbaik tapi yang terlatih.

Cintailah pekerjaanmu seperti keluargamu sendiri

Muka saya memang keliru tapi omongan saya gak pernah keliru.

Hidup tanpa tantangan, anyep...

Lebih baik capek bekerja daripada capek mencari kerja

Kesederhanaan menjadi kekuatan

Doakanlah orang yang paling membenci kamu

Kalau rekayasa manusia itu hanya sebentar tapi kalau rekayasa Allah ituakan abadi

Hanya orang-orang yang beriman saja yang bilang Mas Tukul ganteng

Kalau soal kebaikan, minimal satu hari satu orang saya baikin

Ujian hidup itu harus kita nikmati

Lebih baik merendahkan diri sendiri daripada merendahkan orang lain

Jangan suka menghina makanan, nanti makanan itu ngomong dengan makanan yang lain, terus mereka kompak gak mau masuk ke mulutmu, nanti kamu diinfus lho…

Kalau cuma meniru, sarimin juga bisa

Biasanya orang pemalu makannya banyak

Kalau kita bekerja secara profesional, maka pekerjaan itu akan membuat kita menjadi profesional

Lelaki kalau mau disukai wanita, harus bertanggung jawab

Jangan lupa humanisasi, memanusiakan manusia!

Orang bodoh... ya sering nanya

Orang jangan dilihat dari casingnya tapi sinyalnya dong

Dosa di dunia itu merugikan sepihak: kamu untung aku rugi – kamu rugi aku untung

Bisakah kita bermanfaat untuk orang lain?



Dijaman ketika hidup tidak terlampau mudah seperti saat ini; memikirkan diri sendiri bisa jadi sudah merupakan warna paling kentara dalam keseharian kita. Padahal, memikirkan diri sendiri merupakan cikal bakal munculnya sikap mementingkan diri sendiri. Dan ketika seseorang sudah mementingkan dirinya sendiri; maka lupakanlah keberadaan sendi-sendi pengikat yang menghubungkan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Sebab, ketika setiap orang sudah mementingkan diri sendiri; tidaklah mungkin mereka bersedia mendengarkan suara yang sayup berbisik melalui hati nurani. Jangan tanyakan lagi apa pedulimu kepada orang lain. Sebab, tanpa hati nurani, kepedulian kepada orang lain sudah dengan sendirinya berubah menjadi jenazah, yang tak mungkin kunjung bangkit hidup kembali. Sementara itu, dibelahan bumi kerontang hampir seribu lima ratus tahun yang lalu, konon seorang bijak berkata: Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain. Mungkinkah dijaman ini kita bisa menjadi manusia yang ’sebaik-baiknya’ itu?

Memberi. Sebuah kata yang penuh misteri. Mengapa kita harus memberi kalau hidup kita sendiri saja sudah sesusah ini? Sebuah pertanyaan yang beralasan. Terutama jika hidup kita sudah diliputi oleh semangat materialisme yang membutakan hati. Dengan demikian, sudah pasti hanya sedikit manusia yang bisa memberi kepada orang lain. Berapa pendapatan anda? Dijaman ini, anda yang berpendapatan 5 juta rupiah atau lebih sudah menjadi bagian elit yang konon tidak lebih dari 3% saja dari seluruh pegawai di Indonesia. Pendapatan resmi yang saya maksudkan. Jika pendapatan anda kurang dari 5 juta; dengan dua atau tiga orang anak, bagaimana anda mengelolanya – dan terutama bagaimana anda bisa memberi sebagian dari pendapatan itu untuk menjadi manfaat bagi orang lain? Sulit sekali bukan? Kita tidak sempat lagi memberi manfaat kepada orang lain. Maaf. Tapi, ya memang begitulah mekanisme berpikir materialistik kita. Betapa Tuhan berpihak kepada orang-orang kaya!

Tapi…, besar atau kecilnya nilai pendapatan tidak selalu melahirkan perbedaan bermakna atas sikap kita. Sekalipun, misalnya, pendapatan kita lebih tinggi dari itu, bahkan puluhan juta sekalipun. Atau mungkin anda, ada yang berpendapatan ratusan juta sebulan. Pada situasi seperti itu, kita bisa saja terjebak dalam bentuk ketidakberdayaan lain. Bukankah kadang kita masih menganggap bahwa pajak itu menghapuskan zakat? Sehingga kita merasa tidak lagi perlu membayar zakat karena – menurut kita – pajak sudah dengan sukarela atau terpaksa dibayarkan. Batin kita serasa sesak kalau melihat besaran angka pajak yang dipotong langsung di lembar kertas gajian kita. Lalu, sebuah serapah melompat dari mulut kita: Jalan didepan rumah gue, tetap saja gue-gue juga yang ngebenerin! Sedekah? Tanyakan saja kepada pemerintah. Bukankah mereka yang memungut uang pajak kita? Bahkan sebelum kita mencicipi hasil peras keringat itu. Semuanya sudah all in one. Lihatlah, Tuhan telah salah memilih orang. Tapi, setidaknya, mereka yang diberi Tuhan lebih banyak uang memiliki lebih banyak peluang. Untuk memberi manfaat kepada orang lain. Sekali lagi, Tuhan berpihak kepada orang-orang kaya!

Hey tunggu dulu; apa iya demikian? Jika Tuhan hanya memberi ruang kepada mereka yang banyak uang; apa bedanya Dia dengan penguasa lalim? Akui saja kalau kita sering terjebak dalam pandangan bahwa memberi selalu berurusan dengan materi. Tidak lebih dari itu. Kita lupa, bahwa banyak hal non-material yang bisa kita berikan kepada orang lain. Dan itu memberi manfaat kepada mereka. Bahkan konon katanya, tersenyum saja sudah senilai dengan sedekah. Tentu saja senyum yang tulus. Lantas, jika ternyata Tuhan menyediakan ruang untuk memberi manfaat kepada orang lain itu melalui begitu banyak jalan; indah rupanya itu semua. Indah memberi manfaat kepada orang lain itu adanya. Karena, sekalipun kita termasuk jenis manusia-manusia dengan pendapatan yang pas-pasan – misalnya – kita tidak pernah kehilangan ruang untuk memberi manfaat kepada orang lain – supaya kita bisa menjadi sebaik-baiknya manusia.

Jika saya tidak punya uang; bolehkah saya memberi manfaat kepada orang lain dengan tenaga saya? Jika saya tidak memiliki tenaga yang besar, bolehkah saya memikirkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain? Duh, maaf. Saya bukan orang pintar. Tak mungkin saya bisa berpikir sejenius itu. Bahkan nilai matematika saya saja berwarna merah; bolehkah saya memberi manfaat kepada orang lain dengan mengatakan kepada mereka; anda orang yang diberkahi. Benar. Anda adalah orang-orang yang diberkahi. Anda mendapatkan bentuk tubuh yang indah. Tampan dan cantik. Dan menawan. Bisakah keindahan itu memberi manfaat kepada orang lain? Tidak. Saya tidak tampan. Jauh dari kata tampan. Bolehkah saya menampankan perilaku saya agar tak seorangpun terusik oleh tingkah dan langkah saya?

Tolong ijinkan saya untuk memberi manfaat kepada orang lain. Agar saya tidak kehilangan kesempatan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya. Tolong. Karena bahkan saya tidak tahu bagaimana caranya. Tolong. Karena saya tidak memiliki apapun yang bisa diberikan kepada orang lain. Jangan tanya berapa pendapatan saya, karena bahkan sebelum tanggalan dikalender menuju ke bulan tua; hati saya sering gundah – bisakah anak dan istri saya mendapatkan nafkah. Nafkah yang halal, maksud saya. Jangan tanya apa yang bisa saya kontribusikan karena bahkan selama ini saya masih mengharapkan seseorang datang dan menolong saya agar terbebas dari segala kesulitan. Saya mau. Saya mau memberi manfaat kepada orang lain. Tapi tolong. Saya tidak tahu bagaimana melakukannya. Tetapi, jika itu boleh dengan sesuatu yang bukan uang, mungkin saya bisa. Iya. Setidaknya, saya akan memberi manfaat kepada orang lain dengan cara tidak membuat mereka menjadi sulit. Jika saya tidak membuat orang lain susah; apakah bisa diterima itu sebagai pemberian bagi mereka? Jika saya tidak menjadikan orang lain kesulitan karena saya, bisakah saya menjadi sebaik-baiknya manusia? Bukankah saya boleh mengatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang yang tidak menyulitkan orang lain. Ah, entahlah. Itu urusan Tuhan saja. Jika Tuhan setuju, mungkin saya bisa menjadi sebaik-baiknya manusia, dengan tidak menyulitkan orang lain. Barangkali. Sebut saja itu cara paling murah. Paling lemah. Tapi, belum tentu selalu paling mudah.

Kata-kata adalah doa



Kata-kata yang kita ucapkan, diucapkan keluar ataupun sekedar dalam hati, memiliki pengaruh yang luar biasa. Baik kepada diri sendiri, maupun kepada orang lain.

Percobaan Sederhana :

Isi kedua gelas dengan nasi yang kita makan sehari-hari. Nasinya diambil dari tempat yang sama, diisi di gelas yang kering dalam jumlah yang kira-kira sama, dan ditutup dengan plastik wrapper tipis dari gulungan yang sama. Untuk memastikan tidak ada udara keluar masuk, di bagian bawahnya diberi selotip. Kemudian dibiarkan selama 2 minggu.

Di gelas sebelah kiri, di beri stiker bertulisan "Jelek, Bodoh, Jahat."

Di gelas sebelah kanan, di beri stiker bertulisan "Cantik, Pintar, Baik."

Meski diletakkan berdampingan, selama 2 minggu perlakukan kedua gelas itu dengan berbeda. Setiap pagi dan malam, ambil gelas di sebelah kiri dan katakan, "Kamu jelek, bodoh, jahat! Saya tidak suka sama kamu!" disertai intensitas emosi yang memadai sebisa mungkin.

Kepada gelas yang di sebelah kanan, katakan, "Halo cantik. Kamu cantik, pintar dan baik deh. Terima kasih ya..." disertai intensitas emosi gembira dan bersyukur.

Setelah 2 minggu, tentu saja keduanya berjamur. Tapi jamur di gelas kiri berwarna kehitaman dan berbau tidak sedap. Jamur di gelas sebelah kanan cenderung berwarna putih dan tidak berbau. Menarik kan?....

Sebuah penelitian di Jepang juga membuktikan bahwa pikiran, kata-kata, ide dan musik akan mempengaruhi struktur molekul air.

Adalah Dr. Masaru Emoto dari Universitas Yokohama yang dengan tekun melakukan penelitian tentang perilaku air. Air murni dari mata air di Pulau Honshu didoakan secara agama Shinto, lalu didinginkan sampai -50 C di laboratorium, lantas difoto dengan mikroskop elektron dengan kamera kecepatan tinggi. Ternyata molekul air membentuk kristal segi enam yang indah. Percobaan diulangi dengan membacakan kata, “Arigato (terima kasih dalam bahasa Jepang)” di depan botol air tadi. Kristal kembali membentuk sangat indah. Lalu dicoba dengan menghadapkan tulisan huruf Jepang, “Arigato”. Kristal membentuk dengan keindahan yang sama. Selanjutnya ditunjukkan kata “setan”, kristal berbentuk buruk. Diputarkan musik Symphony Mozart, kristal muncul berbentuk bunga. Ketika musik heavy metal diperdengarkan, kristal hancur.

Ketika 500 orang berkonsentrasi memusatkan pesan “peace” di depan sebotol air, kristal air tadi mengembang bercabang-cabang dengan indahnya. Dan ketika dicoba dibacakan doa Islam, kristal bersegi enam dengan lima cabang daun muncul berkilauan. Dr. Emoto akhirnya berkeliling dunia melakukan percobaan dengan air di Swiss, Berlin , Prancis, Palestina, dan ia kemudian diundang ke Markas Besar PBB di New York untuk mempresentasikan temuannya pada bulan Maret 2005 lalu. Ternyata air bisa “mendengar” kata-kata, bisa “membaca” tulisan, dan bisa “mengerti” pesan. Dalam bukunya The Hidden Message in Water, Dr. Masaru Emoto menguraikan bahwa air bersifat bisa merekam pesan, seperti pita magnetik atau compact disk.

Semakin kuat konsentrasi pemberi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air. Air bisa mentransfer pesan tadi melalui molekul air yang lain. Barangkali temuan ini bisa menjelaskan, kenapa air putih yang didoakan bisa menyembuhkan si sakit. Dulu ini kita anggap musyrik, atau paling sedikit kita anggap sekadar sugesti, tetapi ternyata molekul air itu menangkap pesan doa kesembuhan, menyimpannya, lalu vibrasinya merambat kepada molekul air lain yang ada di tubuh si sakit.

Tubuh manusia memang 75% terdiri atas air. Otak 74,5% air. Darah 82% air. Tulang yang keras pun mengandung 22% air. Air putih galon di rumah, bisa setiap hari didoakan dengan khusyu kepada Tuhan, agar anak yang meminumnya sehat, dan cerdas, dan agar pasangan yang meminum tetap setia...hehe. Air tadi akan berproses di tubuh meneruskan pesan kepada air di otak dan pembuluh darah. Dengan izin Tuhan, pesan tadi akan dilaksanakan tubuh tanpa kita sadari. Bila air minum di suatu kota didoakan dengan serius untuk kebaikan, mungkin semua penduduk yang meminumnya akan menjadi baik dan tidak beringas. Pantaslah air zamzam begitu berkhasiat karena dia menyimpan pesan doa jutaan manusia selama ribuan tahun sejak Nabi Ibrahim.

Apa pesan dari alam yang dapat kita petik dari sini? Tentu saja banyak. Tapi disini saya ingin fokus pada satu hal saja: KEKUATAN KATA-KATA, kata-kata yang kita tujukan ke diri sendiri maupun kepada orang lain.

Sebagian orang sering menggunakan kata-kata negatif kepada diri sendiri. "Saya tidak bisa", "Saya tidak sepintar dia", "Saya tidak berbakat", dsb.

Apa pula jadinya bila kita mengatakan pada anak kita, "Kok begitu saja tidak bisa?", "Kamu kok tidak sepandai dia?", "Dasar pemalas!", "Anak nakal!" dsb.

Air adalah sumber kehidupan. Karena itu, kualitas air sangatlah penting bagi makhluk hidup. Apa jadinya bila kita terus menerus menggunakan kata-kata negatif, kepada diri kita maupun kepada orang-orang yang kita cintai?

Berbaiklah kepada diri Anda dan orang-orang yang Anda cintai. Caranya: Berhentilah menggunakan kata-kata negatif. Gunakan kata-kata positif. Daripada mengatakan, "Saya tidak bisa", lebih baik kita mengatakan "Saya memang belum bisa. Tapi saya akan belajar sampai bisa!".

Daripada mengatakan kepada anak "Kok begitu saja tidak bisa?", lebih baik kita katakan, "Anak pintar, coba kita kerjakan sama-sama PR kamu." Kemudian kita duduk bersama mengerjakan hal-hal yang ingin dihindarinya. Dengan begitu, kita akan tahu dimana letak kelebihan dan kelemahannya, dan kita dapat memberi arahan yang lebih baik untuk anak kita.

Daripada mengatakan kepada sales team Anda, "Apa masalah yang kamu hadapi dalam pencapaian target tahun ini?", lebih baik mengatakan, "Apa tantangan yang kamu hadapi...". Bukankah suasananya terasa lain begitu kita memilih menggunakan kata-kata yang lebih positif?

Ingat! Stop menggunakan kata-kata negatif. Saya yakin Anda dapat melakukannya.

Don't judge a book by its cover



Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpa kaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji.
Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

" Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard ", kata sang pria lembut.
" Beliau hari ini sibuk, " sahut sang Sekretaris cepat.
" Kami akan menunggu, " jawab sang Wanita.
Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya. " Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul. Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, " Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini, bolehkan?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak
terkejut. " Nyonya," katanya dengan kasar, " Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."
"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, " Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."
Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, " Sebuah gedung ?!
Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, " Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?"
Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.
Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard.
Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.


Kita, seperti pimpinan Hardvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju,acap menipu...

Belajarlah,maka kesempatan akan datang...



"Sumber dari segala macam bencana dan kutukan terhadap umat manusia adalah kebodohan dan ketidakmengertian. Sumber dari terciptanya peradaban tinggi adalah masyarakat yang menghormati pendidikan"

Setiap Manusia mempunyai potensi dan kesempatan yang sama untuk bahagia dalam hidupnya. Walau ukuran kebahagiaan manusia tidak bisa disama ratakan, namun secara umum bisa dilihat dari kesuksesan yang diraih selama hidupnya. Kesuksesan tidak bisa didapat begitu saja, butuh perjuangan dan usaha keras. Salah satu yang harus dilakukan untuk mendapat kesuksesan ter - sebut adalah dengan belajar. Belajar, merupakan tugas, tanggung jawab dan panggilan pertama bagi tiap manusia. belajar, selain membuat pengetahuan yang kita miliki bertambah, kesempatan terbukanya pintu kesuksesan pun semakin lebar.

Lantas bagaimana caranya agar kesuksesan yang ingin dicapai dengan cara belajar tersebut, dapat mudah kita raih ?? Ada beberapa hal yang patut kita ingat, ketika kita sedang belajar untuk menuju kesuksesan yaitu :

HASRAT KUAT

Belajar tanpa disertai oleh keinginan dan hasrat yang kuat untuk menuju sukses, tak akan berhasil. Karena segala seuatu (termasuk belajar) yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh, hasil yang dicapaipun akan ala kadarnya. Bila kesuksesan merupakan salah satu proses yang ingin diraih untuk mencapai kebahagiaan, maka mulailah belajar sungguh-sungguh dengan hasrat kuat, keinginan dan harapan yang besar.

Selain keberhasilan tidak akan pernah singgah kepada orang-orang yang berhastar lemah dan tak punya kemauan, tidak bisa dipungkiri bahwa segala sesuatu hanya akan terjadi bila kita menginginkan itu terjadi Seperti kata pepatah "Siapa yang berpikir dia bisa, maka dia akan bisa menjadi siapapun yang dia inginkan" Ciptakan dan penuhi alam bawah sadar kita dengan hasrat yang kuat untuk meraih harapan.

BERANI BELAJAR

Semua orang pada dasarnya tidak tahu dan tidak mampu. Hanya orang- orang yang berani belajar yang akhirnya akan tahu dan mampu. Ada begitu banyak cara untuk belajar, baik melalui pengalaman diri sendiri pengalaman orang lain, buku-buku bacaan, perenungan, kursus ataupun pelatihan-pelatihan yang ada. Kita tinggal memilih cara belajar yang kita sukai. Namun harus dipastikan bahwa cara belajar yang dilakukan, bisa membuat kita lebih mengerti dan memahami banyak hal. Sehingga kita mampu melihat dan mengetahui bahwa ada banyak cara dan pilihan untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

"Saya akan belajar, maka kesempatan akan datang" sunggu tepat apa yang dikatakan Abraham Lincoln tersebut Sebab tanpa belajar, maka segala kemungkinan menuju kesuksesan bisa hilang. Untuk menjadi siri yang selalu belajar (a becoming learling person) diperlukan keberanian dan ketabahan, yang berakibat terbukanya segala kemungkinan untuk kehidupan yang lebih baik.

BERANI BERUBAH

"Learning has not taken place, until behaviour has changed,: belajar tidak akan berarti apa-apa,sampai terjadi perubahan perilaku. Dengan belajar pengetahuan dan ketrampilan kita bertambah. Tetapi pengetahuan dan ketrampilan yang kita miliki tersebut tidak akan berarti apa-apa,jika ketrampilan yang kita miliki tersebut tidak sanggup merubah diri kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pengetahuan kita akan hemat tidak akan men- jadikan kita kaya kecuali kita berani berubah menjadi orang hemat dan mungkin akan kaya. Pengetahuan kita tentang kerja keras tak akan memberi manfaat, sampai kita berubah menjadi seorang pekerja keras dan meraih keberhasilan.

Setelah kita belajar, kita memiliki pengetahuan dan ketrampilan tentang hal-hal yang kita pelajar. Langkah berikutnya adalah bagaimana kita bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik, berdasarkan pengetahuan yang kita miliki. Perubahan itu mungkin terjadi begitu lambat. Bagi orang-orang tertentu hal itu mungkin menjadikannya frustasi sehingga proses belajarpun terhenti ditengah jalan, karena tidak merasa mendapatkan manfaat dari proses belajar. Namun perlu disadari bahwa jauh lebih sulit menerapkan apa yang kita ketahui, dibanding dengan proses belajar untuk mendapatkan pengetahuan itu sendiri. Perubahan kearah lebih baik yang terjadi pada diri kita, walau berjalan secara perlahan, sedikit demi sedikit, hal itu akan sangat besar artinta bagi kesuksesan kita.

Teruslah belajar dan janganlah pernah menyerah, walau kegagalan bisa sewaktu-waktu menghampiri. Gagal bukan berarti mati, tapi gagal berarti ada banyak hal yang harus diperbaiki. Lupakan kata tidak mampu dan tidak mungkin, namun persiapkan fisik dan mental Anda untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Benar atau Pintar ?



Kini, manusia Indonesia lebih suka dinilai pintar daripada dinilai benar. Pintar milik beberapa orang, sedangkan benar milik semua orang, karena pintar berdimensi pikir, sedangkan benar berdimensi nurani.

Berbagai penghargaan diberikan kepada orang-orang pintar, orang-orang benar salah lahir di dunia orang pintar. Sebenarnya pintar itu kultur, kerja mental. Sedangkan benar adalah natur, terbawa sejak lahir.

Dunia modern adalah dunia orang pintar. Siapa yang pintar akan benar. Kebenaran orang pintar adalah konstruksi pikiran. Semuanya akan benar jika bangunan pikirannya tersusun rapi, koheren-menyatu, sesuai hukum logika. Kebenaran orang pintar adalah kebenaran eksklusif dan isolatif karena hanya benar dalam bangunannya sendiri. Orang pintar hanya benar di lingkungan yang bangunan pikirannya sama atau mirip.

Apakah kebenaran itu?

Apa yang dinilai benar selalu mendatangkan perdebatan karena kebenaran selalu dilihat dari segi kepintaran. Benar dan tidak benar dinilai dari alam kesadaran, yakni pikiran. Sedangkan kebenaran atau benar adalah soal kehadiran, penghayatan, pengalaman, realitas obyektif. Manusia sejak zaman balita telah belajar mengenali apa yang benar dan tidak benar. Benar itu terasa, cocok, pas, gathuk, dengan penghayatan manusia itu sendiri.

Benar itu amat nyata, hadir, terindra. Semua orang mampu melihat kebenaran itu. Kebenaran yang diperdebatkan senantiasa ada pikiran yang masuk ke dalamnya. Kanak-kanak adalah manusia paling peka dalam mengendus hadirnya kebenaran. Itu sebabnya, mereka yang kanak-kanak dijamin akan masuk surga.

Kini kian banyak orang pintar di televisi, radio, penerbitan, mimbar, dan panggung. Mereka pandai bersilat lidah. Mereka setiap hari memproduksi kosakata baru. Udara dipenuhi kata-kata. Manusia percaya pada kata-kata. Manusia menggantungkan diri dari kata-kata. Perdebatan kian merobek. Kekacauan menggila. Semua terjadi karena manusia mendewakan kata-kata, alat pikiran manusia pintar itu.

Manusia kian buta melihat kebenaran. Kebenaran tidak pernah dihayati, dialami. Dirasakan, dimasukkan dalam kata hati. Kebenaran hanya dilihat dalam kepintaran berkata-kata. Kebenaran yang nyata hadir secara konkret di depan mata itu pun dapat diingkari oleh kepintaran. Dunia ini dapat dijungkir balik oleh kepintaran. Yang benar itu salah, yang salah itu benar. Di mana nuranimu manusia? Di mana kanak-kanakmu?

Manusia yang benar kini dinilai sebagai manusia bodoh. Lebih baik menjadi orang benar meski tidak pintar. Tentu lebih baik lagi jika orang benar itu juga orang pintar, daripada menjadi orang pintar tetapi tidak benar. Dan kenyataannya di Indonesia ini kian banyak orang tidak benar sekaligus tidak pintar. Itulah tragedi bangsa ini, banyak orang pintar tidak benar dan banyak orang tidak benar yang tidak pintar.

Buta kebenaran

Kepekaan terhadap hadirnya kebenaran itulah yang kini mulai menipis di Indonesia. Mudah-mudahan bangsa ini belum buta kebenaran. Buta kepintaran masih lebih baik daripada buta kebenaran. Tanpa kepintaran, manusia masih dapat hidup. Tanpa kebenaran, manusia akan musnah. Benar lebih bernilai daripada pintar. Pintar menuntun manusia menuju kemakmuran duniawi. Benar menuntun manusia menuju keselamatan. Kombinasi pintar dan benar menuju masyarakat yang adil dan makmur. Apa gunanya makmur tanpa keadilan dan kebenaran?

Tanpa kebenaran, sebuah bangsa akan musnah. Bukan benar dalam arti ideal-rasional, tetapi benar dalam arti kualitas kebenaran itu sendiri, yang obyektif terwujud dan dirasakan, dialami, dihayati secara sama oleh semua orang. Yang benar itu tidak menipu jika dirasakan cocok dan gathuk dengan nurani manusia di mana pun dan kapan pun. Yang benar itu hadir secara nyata, gamblang, dan terang. Bagaimana pun orang mau memutarbalikkan yang benar secara rasional. Yang benar itu tetap akan benar.

Namun kini orang tak malu-malu lagi untuk memutarbalikkan kebenaran dengan nilai lidah kepintarannya. Tidak benar itu wajar-wajar saja di Indonesia. Korupsi itu bukan lagi tidak benar. Korupsi itu kewajaran di Indonesia. Bahkan korupsi itu semacam hak istimewa karena tidak setiap orang diberi kesempatan korup. Orang bisa bangga di depan hakim, di depan umum, dirinya seorang koruptor kakap, bukan koruptor teri. Koruptor kakap lebih bangga karena menunjukkan dirinya lebih pintar mengorup uang negara. Koruptor teri itu bodoh. Sudah korupnya recehan, ketahuan lagi. Sedang saya ini koruptor mahakakap selama puluhan tahun dan baru ketahuan sekarang. Kenyataan ini menunjukkan betapa lihainya memutar orang agar korupsi saya tak ketahuan.

Dalam Zaman Edan ini, negara memiliki menteri-menterinya yang cerdik pandai, namun mereka tak mampu menepis pejabat negara yang sudah edan, tidak ingat dan waspada terhadap kebenaran. Berbahagialah, di zaman edan ini, manusia yang peka, selalu ingat dan waspada, terhadap Yang Benar.

Cerita " Apple Tree "



Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya." Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu." Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel. "Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" "Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel. "Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?" "Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah." Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. "Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu. "Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel. "Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu. "Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata. "Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu." "Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak sahabat. Dan,yang terpenting: cintailah orang tua kita. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.




[ Tiba-tiba saya ingat orang tua saya...,Saya merasa sudah jadi anak paling kurang ajar sedunia. ]

Penjara Jiwa



Dulu,ketika Soviet masih sebuah negara yang dikuasai partai tunggal Golkom (golongan komunis), para pembangkang yang paling gigih dan beranipun mengkeret menghadapi sistem penjara yang terkenal kejam. Disana, dulu ada kamp konsentrasi di Siberia, yang bisa membekukan tulang-tulang kering para pembangkang. Berkat sistem penjara yang ganas,kaku dan dingin thdp rasa kemanusiaan itu, pengarang besar Aleksander I. Solzhenitsyn menulis novel The Gulag Archipelago yang juga sudah difilmkan dgn bagus itu.Didukung jaringan mata-mata Soviet yang efektif dan terkejam di dunia, partai komunis pernah menjadikan seluruh negeri Soviet sebagai sebuah penjara raksasa.

Di negeri kita sini penjara atau bui --yang kemudian diubah menjadi "LembagaPemasyarakatan" tak sekejam itu. Meskipun begitu,tak seorangpun yang punya cita-cita luhur untuk sesekali mendekam di penjara.Kata penjara itu saja biarpun sudah ganti "kulit" menjadi "Lembaga Pemasyarakatan" sudah menakutkan. "Filsafat" yang melatarbelakangi sistem penjara kita,dan mungkin jg dimana-mana,jelas tidak dibumbui kedengkian dan hasrat balas dendam. Napi dipenjara supaya merenung,menyesali perbuatan dan memperoleh pelajaran untuk bisa hidup kembali di masyarakat secara baik.Tapi dimana-mana,dan juga di tempat kita, kenyataan sebaliknya sering terjadi.Maksudnya,seseorang dipenjara kemudian menjadi lebih jahat, lebih ganas.

Penjara memang mengurung,membatasi gerak,dan pada batas tertentu, juga melumpuhkan. Bayangkan,orang dikurung terus dan tak pernah menghirup kebebasan. Si terpenjara bisa dilumpuhkan secara fisik. Bisa juga secara psikologis. Mantan napi yang kemudian menjadi jahat, sebenarnya adalah orang yang telah dilumpuhkan fungsi-fungsi psikologisnya hingga benih-benih yang memiliki kecenderungan baik itu pada mati, dan bibit kasih sayangnya pun tak lagi berkembang. Pokoknya,dia berhasil dilumpuhkan.Ini hasil dari penjara yang meringkus dan membatasi gerak fisik orang.

Ada jenis penjara lain.Orang tidak terkurung di dalam penjara tapi ia terpenjara. Celakanya, banyak orang tak menyadari bahwa sebenarnya mereka terpenjara juga di dalam seluruh kebebasannya. Dalam konsep Inggris,penjara jenisini disebut captive mind: jiwa yang terpenjara (sekalipun fisiknya bebas melayang ke mana saja). Ini mungkin lebih membahayakan dan lebih kejam dibanding terpenjara secara fisik. Kebodohan,yang membuat kita menjadi picik, keras kepala, merasa benar sendiri, dan segenap ketidakmampuan bersikap kritis, pada dasarnya adalah potret sebuah keterpenjaraan jiwa. Pikir punya pikir,dimasyarakat kita banyak ulah manusia yang mungkin bisa disebut sebagai gambaran keterpenjaraan jiwa itu.

Nafsu "berkuasa" secara berlebihan (hasrat menjadi sesuatu dan tak memberi orang lain kesempatan menggantinya) adalah juga bentuk jiwa yang terpenjara. Untuk mudahnya,ini bisa dinamakan"penjara nafsu".Rangkaian dari keterpenjaraan ini banyak sekali. Biasanya, lanjutan nafsu berkuasa, adalah nafsu "ingin punya". Di dunia wayang kita kenal dengan Dasamuka.
Ia bernafsu menjadi jagoan paling sakti di bumi (bahkan juga di langit, ingin melebihi para dewa), dan ingin memiliki apa saja yang dimiliki orang lain.

Di sekeliling kita,nafsu ingin punya ini diwujudkan dalam bentuk ingin beli pulau,ingin beli gunung, ingin beli lembah, laut, danau, pabrik-pabrik, toko-toko,kantor. Apa saja yang ada.
Buat anak yang sudah bisa kerja dibelikan pabrik atau kantor yang disenangi. Untuk istri dibelikan kebun binatang dan kebun raya,mana tahu sang istri ingin menyegarkan jiwanya yang juga terpenjara itu. Apakah anak-anak yang masih sekolah tak dibelikan sesuatu? Jangan khawatir. Anak yang masih sekolah juga dibelikan sekolahan. Caranya,supaya tak mencolok dan tak jadi gosip di luaran, cukup menyogok gurunya.Kalau anaknya yang dungu itu tidak naik, gurunya dijejali dompet penuh duit.Dan rapor yang terbakarpun dipadamkan. Kemudian si anak dungu diberi kesempatan naik. Kalau anak atau cucu ingin juara dalam suatu lomba, untuk mereka kejuaraan juga bisa dibeli. Dengan kata lain,mereka bukan juara,melainkan "dijuarakan".

Betapapun bahayanya terpenjara secara fisik,segala dampak negatif dan aneka corak penderitaannya cukup dirasakan oleh yang bersangkutan. Tapi keterpenjaraan jiwa, diam-diam rupanya merembet, merayap, dan menggerayangi segenap pihak dalam keluarga. Bahkan mungkin segenap kerabat, famili, sanak,dan konco-konco seperjuangan dulu.

Keterpenjaraan jiwa,pendeknya,serupa wabah yang berjangkit.Wabah itu masa inkubasinya pendek, jangkauan dan daya ledaknya luas. Ancamannya: gawat, tapi tak selalu darurat. Soalnya, yang bersangkutan sering tak sadar. Dan karena itu juga tak harus merasa malu. Yang ada malah sejenis rasa bangga. Dokter medis, dokter jiwa, psikolog, pekerja sosial, kiai dan segenap ahli rohani harus dikerahkan untuk menyembuhkan keterpenjaraan jiwa seperti itu. Jika semua ahli itu masih belum menyembuhkan juga, mungkin tinggal satu yang bisa dijadikan tumpuan harapan: sejarah.

Artinya, biarkanlah sejarah yang sabar dan kalem itu dengan teliti mencatat, merekam, dan mengumpulkan segenap fakta yang diperlukan. Kelak, akhirnya sejarahpun akan bisa berkata seperti Chairil Anwar:
Bila telah sampai waktuku, ku mau tak seorang pun kan merayu.
Tidak juga kau(orang2 yg jiwanya terpenjara).
Tak perlu sedu sedan itu. Karena kau terlambat.
Saat kejatuhanmu telah tiba. Selamat jalan...
Betapa mengerikan akibat dari sebuah keterpenjaraan jiwa. Tapi mengapa harus ngeri? Tiap diri di antara kita, mungkin sudah dilengkapi alam dengan alat-alat sensor yang bisa mencegah
kemungkinan kita terjerumus ke dalam penjara seperti itu.

Soalnya: tinggal bagaimana kita sendiri. Terpenjara atau tidak, sebenarnya kita sendiri yang menentukan. Bukankah kita diberi hak utk jadi arsitek, buat melukis nasib kita sendiri.

Tuhan menciptakan kejahatan?



Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya". "Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?" "Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.

Kisah Lalat



Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta diatas sebuah tong sampah didepan sebuah rumah. Suatu ketika anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat. "Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar" katanya.

Setelah kenyang si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan dan esok paginya nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai.

Tak jauh dari tempat itu nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua "Ada apa dengan lalat ini Pak? Mengapa dia sekarat?".

"Oh.. itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini, sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita" Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi "Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? kenapa tidak berhasil?".

Masih sambil berjalan dan memangggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab "Lalat itu adalah seekor serangga yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama".

Semut tua itu melanjutkan perkataannya "Ingat semut muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama namun mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini".

"Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda"