Dasar tak tahu diri !

Kita mendambakan kedamaian,
akan tetapi sudahkah kita membukakan pintu hati kita baginya?

Kita mendambakan keharmonisan,

akan tetapi sudahkah kita membukakan pintu hati kita baginya?

Kita mendambakan pencerahan,

akan tetapi sudahkah kita membukakan pintu hati kita baginya?


Inilah sebetulnya beberapa pertanyaan seorang pendamba. Kita umumnya mengharapkan segala sesuatunya datang dari luar, apakah itu berupa anugerah atau kita yang kita sebut dengan rejeki. Pada sisi lain, kita tidak pernah berusaha secara sadar ke arah itu; tidak pernah berusaha mengkondisikan agar itu dimungkinkan terjadi. Di benak kita, mungkin kita memilih untuk menjadi pengemis saja, asal menikmati kesejahteraan yang sama dengan seorang direktur sebuah perusahaan multi-nasional dan 'profesi' sebagai pengemis itu tidak dipandang hina di masyarakat.

Bila saya katakan demikian, besar kemungkinannya Anda akan menolak.

Anda dengan sengit akan mengatakan, “Tidak...saya tidak berjiwa pengemis. Mungkin Andalah yang demikian.”

Ya...begitulah...bukan saja berjiwa pengemis, juga tidak jujur dan tidak mau mengakui kekurangan-diri, tidak mau mawas-diri, malah sebaliknya selalu membohongi diri sendiri, sampai-sampai tak mengenali diri-sendiri, tak tahu-diri.

Jadi, bilamana ada yang kemudian mengumpat sebagai “Dasar tak tahu-diri”, sebetulnya kita tak perlu protes, apalagi berang. Malah kita semestinya berterimakasih kepada orang yang telah mengingatkan kita itu. Mampukah kita berbuat demikian? Siapkah kita untuk menjadi manusia yang tahu-diri?

Kebodohan adalah...

Kebodohan tetap ada kendati seseorang punya banyak pengetahuan, berpendidikan baik, canggih, punya kapasitas dalam latihan yang mengantarkannya pada perolehan kemasyuran, kecemaran, harta. Kebodohan tidaklah sirna melalui akumulasi banyak fakta maupun informasi yang dikumpulkan —komputer dapat melakukan semua itu dengan lebih baik ketimbang pikiran manusia. Kebodohan adalah sama-sekali kurangnya pemahaman-diri.

Kebanyakan dari kita superfisial, dangkal, punya sedemikian banyak kepedihan dan kebodohan sebagai bagian dari ‘nasib’ kita. Sekali lagi, ini bukan membesar-besarkan, bukan asumsi, akan tetapi suatu fakta aktual dari eksistensi kita sehari-hari. Kita bodoh akan diri kita sendiri dan di dalamnyalah terdapat kepedihan besar. Kebodohan itulah yang mengembang-biakkan setiap bentuk ketakhyulan, ia menghidupkan terus-menerus ketakutan, melahirkan harapan dan keputus-asaan, disamping semua temuan-temuan dan teori-teori dari pikiran cerdik.

Makanya, kebodohan tak hanya membiakkan kesengsaraan, akan tetapi juga membawa serta kebingungan yang dahsyat di dalam dirinya sendiri.