Mengapa Menilai dan Menghakimi?


Kita umumnya menilai segala sesuatunya, menilai semua kejadian dan semua orang. Itu sudah menjadi kebiasaan mental kita. Bahkan, pada sementara orang, merasa menemukan sejenis kesenangan, kepuasaan, di dalam menilai. Kalau yang dinilainya itu ternyata ‘rendah’ di matanya, ia merasa ‘tinggi’, setidak-tidaknya merasa lebih tinggi dari yang dinilainya itu. Kegemaran menilai ini berkerabat sangat dekat dengan kegemaran ‘menghakimi’.

Inilah salah satu bentuk prilaku dari mereka yang menganut —apa yang kita sebut dengan— “pola-pandang ke luar” itu. Mereka sangat cenderung mengarahkan perhatiannya ke luar. Dan oleh karenanya, mau-tak-mau juga akan menganut “pola-pandang kasat-indria”. Kedua pola —yang tidak memungkinkan seseorang untuk benar-benar memasuki wilayah spiritual— ini, tak bisa dipisahkan satu-sama-lain. Keberadaan yang satu akan diikuti oleh keberadaan yang lainnya. Mereka bagaikan kembar-siam. Sahabat dekatnya adalah “pola-pertanggungjawaban ke luar”.

Yang menganut “pola-pandang kasat-indria” hanya bisa menerima sesuatu sebagai nyata bila bisa dipersepsinya lewat indria-sensoriknya. Baginya, yang tak kasat-indria, apalagi tak kasat-pikir, tidak akan bisa ia anggap sebagai nyata, riil. Agar sesuatu bisa disebutnya nyata, sesuatu itu mestilah kasat-indria, atau sejauh-jauhnya kasat-pikir. Yang menganut “pola-pertangungjawaban ke luar” akan mempertanggungjawabkan setiap tindakannya ke luar, kepada pihak lain, kepada orang-orang, atau bahkan kepada sosok Makhluk Agung ciptaan inteleknya. Makanya, pengakuan pihak luar menjadi sesuatu yang sangat berarti baginya. Tanpanya, mereka merasa gagal, merasa tidak berarti dan kehilangan semangat.

Rasa Iba-diri, Ketakutan dan Identifikasi-diri Keliru


Ralph Waldo Emerson : Do the thing we fear, and death of fear is certain.

Rasa iba-diri bukan saja terekspresi berupa pementingan dan pemanjaan-diri, namun juga berupa ketakutan dalam berbagai jenis dan kualitasnya. Selanjutnya, apapun yang diperbuat seseorang hanyalah berdasarkan ketakutan ini. Takut pada kemiskinan (material) misalnya, orang akan membanting-tulang mengumpulkan harta-benda; takut mati, ia menjaga kesehatannya baik-baik; takut bodoh atau dikatakan bodoh, ia menimba ilmu-pengetahuan sebanyak-banyaknya; takut direndahkan, ia berusaha meraih jabatan setinggi-tingginya. Apapun yang ia lakukan, hanya cerminan dari ketakutannya sendiri.

Ketakutan juga merupakan cerminan dari ketidak-tahuan. Ketika seseorang telah ‘mengetahui dengan jelas’ sesuatu itu, maka ketakutan akan hal itupun sirna dengan sendirinya. Hanya ketika ia belum tahu sajalah ia masih takut-takut, waswas, sangsi, khawatir, cemas dan sejenisnya. Orang yang telah mengetahui kematian dengan jelas misalnya, tidak lagi takut mati. Demikian juga halnya dengan orang yang telah mengetahui kehidupan ini dengan jelas, tidak akan takut menghadapi beraneka bentuk badainya. Disini menjadi jelas bagi kita kalau ‘mengetahui dengan jelas’, bukanlah sekedar kebutuhan intelektual, namun kebutuhan emosional juga.

Peradaban manusia, tatanan suatu masyarakat, adat-istiadat, bentuk-bentuk peraturan dan perundang-undang, jelas mengarahkan siapa saja pada keteraturan, pada ketertiban. Namun, sesungguhnya semua itu juga lahir dari ketakutan. Bila ini Anda sadari, Anda akan sadar betapa kita semua hidup dalam samudera-luas ketakutan. Dan sekali lagi, ini merupakan salah-satu ekspresi dari rasa iba-diri—yang amat mendasar sifatnya.

Dari mana sesungguhnya rasa iba-diri ini berasal? Dimana ia mengakar? Mungkin demikian pertanyaan Anda. Ia mengakar pada identifikasi-diri keliru. Semasih kita secara keliru mengidentifikasikan-diri sebagai “raga yang berjiwa”, secara keliru menyangka kalau “diri” ini adalah “raga yang berjiwa”, selama itu juga akan muncul berbagai bentuk pemikiran, perasaan, dan berbagai bentuk upaya dalam rangka mempertahankan jiwa, mengikat erat-erat sang jiwa pada raga ini, jasmani ini, badan kasar ini.

Hanya lantaran kebodohan atau ketidak-tahuan kitalah yang menyebabkan kita mengidentifikasikan segala sesuatunya secara keliru bukan? Terlalu banyak kekeliruan yang telah kita perbuat karena kedodohan ini. Ia telah membenamkan tak terhitung banyaknya makhluk di samudra kelahiran dan kematian.

Sorga dan Neraka tidak jauh


Jika kita tidak mampu menyentuh sumber dari welas-asih di dalam diri kita, kita tidak akan punya waktu dan energi untuk membantu menyelamatkan makhluk-makhluk hidup yang sedang sekarat setiap hari.

Sedemikian menginginkan sesuatu yang bukan milik kita, sungguh menyiksa; hanya membuat kita gelisah, resah, bahkan bingung sepanjang hari. Kondisi mental yang kurang-lebih sama, juga akan kita rasakan ketika kita diharuskan menerima sesuatu atau seseorang sebagai milik kita, padahal kita sama-sekali tidak menyukainya, apalagi malah membecinya. Kita serasa ditempatkan di atas panggangan, di dalam oven, atau sejenisnya. Dalam kondisi seperti ini, emosi menjadi sangat labil. Hal-hal kecil saja, yang sepele saja, bisa meletup, membara dan berkobar menjadi kemarahan. Sungguh menyiksa ....

Begitulah bentuk-bentuk siksaan fisiko-mental yang ditimbulkan oleh dan merupakan konsekuensi —yang tiada terelakkan— dari nafsu-keinginan, oleh rasa suka-tak-suka, oleh cinta-benci. Dimana, entah sudah berapa banyak energi hidup ini terkuras, hanya untuk meladeninya. Dan kalau enerji itu berhasil dimanfaatkan untuk hal-hal yang konstruktif, membantu meringankan beban hidup sesama misalnya, entah berapa banyak kebajikan yang telah tertimbun. Pernahkah ini terlintas di benak Anda?

Makanya, patutlah kita syukuri pengingatan-pengingatan dari para bijak ribuan tahun lampau yang wanti-wanti mengingatkan kita akan siksaan ‘api neraka’ ini. Kita tak perlu mengkhayalkan kalau neraka itu sedemikian jauh —dalam ruang dan waktu— dari kehidupan ini, karena ia ada disini, sekarang ini, dalam kehidupan ini juga. Ia bisa kita rasakan langsung. Demikian juga halnya dengan sorga. Baik sorga maupun neraka tidak jauh dari kehidupan ini.