Renungan Indah


[ WS Rendra ]

Seringkali aku berkata, Ketika semua orang memuji milikku Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya :
Mengapa Dia menitipkan padaku ??? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ??? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu???

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua "derita" adalah hukum bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika : aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk
beribadah. "Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".....

Antarkan Manusia pada Kehancuran...



Further false and material pictures are so impressed upon the sensitive minds of people that they are thrown into further states of hypnosis.... that it is not what appears that is the reality of life.

~ Baird T. Spalding.



Betapapun juga, mesti kita akui kalau kehidupan duniawi adalah kehidupan materialistik. Kita seakan-akan dipaksa demikian, dipaksa untuk jadi materialistis, karena bak terhipnotis, kita —sedemikian rupa— dibuat percaya kalau kenikmatan, kenyaman, ketenangan, rasa aman serta kesenangan hidup —yang secara keseluruhan sebut saja kama— hanya bisa dicapai melalui penguasaan dan penggunaan materi (artha). Akibatnya, karena kita juga mengelirukan bahwa kebahagiaan itu sendiri adalah terpenuhinya nafsu-keinginan (kama), dimana kita beranggapan kalau hanya dengan begitu kita bisa merasa bahagia, maka kitapun dibuat bertekuk-lutut dan dengan suka-rela mengabdi kepada artha.

Bagi kebanyakan dari kita, itulah kehidupan; karena itulah satu-satunya pri-kehidupan yang kita kenal. Kalaupun di permukaan kita terlihat melakukan berbagai aktivitas kultural dan spiritual-relijius, maka yang kita tuju, yang menjadi sasaran kita adalah itu —penguasaan artha guna pemenuhan kama. Bagi kebanyakan dari kita reliji hanyalah sekedar kendaraan guna mendapatkan semua itu, semua yang secara keliru kita anggap sebagai kebahagiaan hidup.

Hanya sesudah seseorang mengalami keterpurukan, diterpa berbagai kekecewaan hidup —akibat beranggapan keliru seperti itu— barulah ia mulai berpaling kepada spiritualitas, pada esensi dari ajaran semua agama. Bahkan, tak sedikit malah yang sudah sedemikian terpuruknya, masih saja meyakin-yakinkan diri untuk tetap hidup di biduk yang sama, bukan saja lantaran tak kenal apa itu spiritualitas, melainkan dengan pengharapan kalau-kalau suatu ketika segala sesuatunya berubah membaik, seperti halnya yang baik berubah memburuk. Mereka mencoba meyakin-yakinkan dirinya bahwa ‘badai pasti berlalu’.

Berpri-kehidupan benar jelas bukan berkehidupan dengan sepenuhnya menggantungkan kebahagiaan pada artha dan kama —tanpa sama-sekali mengenal dan menerapkan ajaran-ajaran spiritual. Justru sebaliknya; berpri-hidupan benar adalah kehidupan di atas biduk dharma, tanpa peduli dampak samping daripadanya yang berupa perolehan artha dan pemenuhan kama. Hanya kehidupan seperti inilah yang mengantarkan kepada kebebasan dan kebahagiaan sejati.

Kehidupan duniawi, ragawi —yang terus-menerus memburu pemuasan nafsu-keinginan, pemanjaan indriawi, yang juga disebut dengan kehidupan hedonis itu— hanya akan mengantarkan umat manusia kepada kehancurannya. Kenapa? Karena ia telah jatuh ke tataran terendah dari esensi keberadaannya yang sebetulnya keilahian, telah ‘dikendarai kendaraan’, ‘diperalat alat’, ‘diperbudak budak’.

Dimana Letak Bahagia Anda?


Kemarin,saya terima e-mail dari Anne Ahira karena saya memang berlangganan newsletter "Think & Succeed" nya yang keren itu. Dan yang kemarin itu benar-benar mampu membuat saya termenung dan sesaat menjadi manusia bodoh... E-mail yang membahas tentang arti sebuah kebahagiaan itu akan saya bagi untuk anda semua....

"Tempat untuk berbahagia itu ada di sini. Waktu untuk berbahagia itu kini. Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia" - Robert G. Ingersoll

Sungging, apakah saat ini merasa bahagia?

Di mana letak kebahagiaan Sungging sesungguhnya? Apakah pada moleknya tubuh? ...Jelitanya rupa? ...Tumpukan harta?....atau barangkali punya mobil mewah & tingginya jabatan?

Jika itu semua sudah Sungging dapatkan, apakah Sungging bisamemastikan bahwa Sungging *akan* bahagia?

Hari ini saya akan mengajak Sungging untuk melihat, kalau limpahan harta tidak selalu mengantarkan pada kebahagiaan

Dan ini kisah nyata...

Ada delapan orang miliuner yang memiliki nasib kurang menyenangkan di akhir hidupnya. Tahun 1923, para miliuner berkumpul di Hotel Edge Water Beach di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mereka adalah kumpulan orang-orang yang sangat sukses di zamannya.

Namun, tengoklah nasib tragis mereka 25 tahun sesudahnya! Saya akan menyebutnya satu persatu :

=> Charles Schwab, CEO Bethlehem Steel, perusahaan besi baja ternama waktu itu. Dia mengalami kebangkrutan total,hingga harus berhutang untuk membiayai 5 tahun hidupnya sebelum meninggal.

=> Richard Whitney, President New York Stock Exchange.Pria ini hrs menghabiskan sisa hidupnya dipenjara Sing Sing.

=> Jesse Livermore (raja saham "The Great Bear" di Wall Street), Ivar Krueger (CEO perusahaan hak cipta), Leon Fraser (Chairman of Bank of International Settlement), ketiganya memilih mati bunuh diri.

=> Howard Hupson, CEO perusahaan gas terbesar di Amerika Utara. Hupson sakit jiwa dan meninggal di rumah sakit jiwa.

=> Arthur Cutton, pemilik pabrik tepung terbesar di dunia, meninggal di negeri orang lain.

=> Albert Fall, anggota kabinet presiden Amerika Serikat, meninggal di rumahnya ketika baru saja keluar dari penjara.

Kisah di atas merupakan bukti, bahwa kekayaan yang melimpah bukan jaminan akhir kehidupan yang bahagia!

Kebahagiaan memang menjadi faktor yang begitu didambakan bagi semua orang. Hampir segala tujuan muaranya ada pada kebahagiaan. Kebanyakan orang baru bisa merasakan *hidup* jika sudah menemukan kebahagiaan.

Pertanyaannya... di mana kita bisa mencari kebahagiaan? Apakah di pusat pertokoan? Salon kecantikan yang mahal? Restoran mewah? Di Hawaii? di Paris? atau di mana?

Sesungguhnya, kebahagiaan itu tdk perlu dicari kemana-mana... karena ia ada di hati setiap manusia.

Carilah kebahagiaan dalam hatimu! Telusuri 'rasa' itu dalam kalbumu!
Percayalah, ia tak akan lari kemana-mana...


Hari ini saya akan berbagi tips bagaimana kita sesungguhnya bisa mendapatkan kebahagiaan *setiap hari*. Berikut adalah tips yang bisa Sungging lakukan:

1. Mulailah Berbagi!

Ciptakan suasana bahagia dengan cara berbagi dengan orang lain. Dengan cara berbagi akan menjadikan hidup kita terasa lebih berarti.

2. Bebaskan hati dari rasa benci, bebaskan pikiran dari segala kekhawatiran.

Menyimpan rasa benci, marah atau dengki hanya akan membuat hati merasa tidak nyaman dan tersiksa.

3. Murahlah dalam memaafkan!

Jika ada orang yang menyakiti, jangan balik memaki-maki. Mendingan berteriak "Hey! Kamu sudah saya maafkan!!".

Dengan memiliki sikap demikian, hati kita akan menjadi lebih tenang, dan amarah kita bisa hilang. Tidak percaya? Coba saja! Saya sering melakukannya. :-)

4. Lakukan sesuatu yang bermakna.

Hidup di dunia ini hanya sementara. Lebih baik Sungging gunakan setiap waktu dan kesempatan yang ada untuk melakukan hal-hal yang bermakna, untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Dengan cara seperti ini maka kebahagiaan Sungging akan bertambah dan terus bertambah.

5. Dan yang terakhir, Sungging jangan terlalu banyak berharap pada orang lain, nanti Sungging akan kecewa!

Ingat, kebahagiaan merupakan tanggung jawab masing-masing, bukan tanggung jawab teman, keluarga, kekasih, atau orang lain.

Lebih baik kita perbanyak harap hanya kepada Yang Maha Kasih dan Kaya. Karena Dia-lah yang menciptakan kita, dan Dia-lah yang menciptakan segala 'rasa', termasuk rasa bahagia yang selalu Sungging inginkan. ^_^


Thanks a lot Anne....

Bercerminlah...

Apakah anda pernah bercermin? Pasti semua sering bercermin selesai mandi atau ketika merapihkan baju, atau bagi wanita ketika bersolek, apa yang kita lihat di cermin, jawabnya adalah bayangan diri kita bukan apa yang terlintas di dalam pikiran anda ketika bercermin dan melihat diri anda di cermin itu pada umumnya yang akan kita lakukan adalah sebagai berikut Mungkin terlintas : aku ini cukup ganteng / cantik juga, rambut sudah tapi belum ya, pakaian sudah cocok belum. Kadang kita melihat bayangan kita :loh ada jerawat, atau muka kelihatan kusam, dan sebagainya. Hasil dari pengamatan bayangan kita di cermin akan terlihat dari tindakan kita selanjutnya. Bila kita merasa bayangan yang kita lihat di cermin sudah “ok”, maka kita akan merasa percaya diri, tapi jika kita melihat “noda jerawat” atau kulit kusam, kita akan kurang percaya diri, mungkin kita akan segera mengambil sabun pembersih wajah dan mulai membersihkan wajah kita agar terlihat lebih bersih.

Sesekali, jika kita bercermin, pandanglah wajah yang terpantul di dalamnya. Wajah siapakah itu? Wajah itukah yang sesungguhnya kita harapkan ada di dalamnya? Wajah kitakah? Atau wajah orang-orang lain yang kita inginkan sama dengan kita? Puaskah kita dengan wajah yang itu? Adakah raut kekesalan dan kekecewaan saat kita memandang wajah itu?

Ya, sesekali jika kita bercermin, cobalah menengok jauh ke dalam tabir yang menutupi wajah itu. Mampukah kita membelah tabir diri yang selalu menutupi segala perbuatan dan kehidupan kita ini? Sebab sesungguhnya, kita selalu hidup dalam dua dunia yang berbeda. Dunia yang kita hidupi. Dan dunia yang dikenali oleh orang-orang lain terhadap kita. Rahasia. Kita semua menyimpan rahasia diri dalam tabir wajah kita. Rahasia, yang sebagai tabir tebal tak mampu dan bahkan tak ingin kita koyakkan. Karena itu akan membuat kita risih dan merasa telanjang. Tetapi seberapa mampukah kita membuka tabir diri kita sendiri dan melepaskan segala beban kepura-puraan yang menutupi hidup kita ini?

Memang, betapa banyaknya beban diri yang kita tanggung hanya karena ketidak-beranian kita untuk membuka hidup kita bagi orang lain. Kita malu dan enggan untuk dikenali secara utuh. Kita ingin sembunyi dalam topengkebahagiaan. Padahal, siapakah yang dapat bahagia selain dari mereka yang mampu hidup tanpa beban untuk menutupi segala kepura-puraannya sendiri? Siapakah yang selalu dapat bertindak leluasa tanpa rasa takut bahwa topengnya akan terbuka? Siapakah itu?

Sesekali, jika kita bercermin, kenalilah wajah yang terpantul di dalamnya. Kenalilah dia seutuhnya. Koyakkanlah tabir yang menutupi seulas senyum yang kita buat telah mengoyakkan segala topeng-topeng tebal yang telah menutupi kehidupan kita. Mari kita sama - sama belajar melihat cermin diri yang benar tentang diri kita, tentang siapa diri kita tentang topeng yang kita pakai, Mulai lah bercermin dan sadari segala kelemahan diri untuk mencapai sebuah kekuatan diri kita yang hakiki.

Menjadi Apa Adanya

Untuk menjadi apa adanya Anda merupakan urusan yang luarbiasa sulit; jika Anda benar-benar bangun, Anda tahu semua hal ini berikut semua dukacitanya. Makanyalah Anda membenamkan diri Anda dalam kerja, dalam kepercayaan Anda, dalam cita-cita fantastis dan meditasi-meditasi Anda. Dengan begitu Anda jadi tua dan siap untuk dikubur, bila Anda belum mati di dalam.

Guna menyisihkan semua ini —berikut kontradiksi-kontradiksinya serta dukacitanya yang terus meningkat itu dan menjadi ‘bukan apa-apa’ [nothing] — merupakan hal yang paling alamiah dan paling cerdas, untuk diperbuat. Tapi sebelum Anda bisa menjadi ‘bukan apa-apa’, Anda harus menggali dan memunculkan mereka semua ke permukaan; Anda harus membongkarnya, dan dengan demikian Anda memahaminya. Guna memahami paksaan-paksaan dan desakan-desakan tersembunyi ini, Anda harus awas tanpa pilih-bulu terhadapnya, sama halnya dengan terhadap kematian; kemudian, di dalam tindakan murni menyaksikan ini, mereka akan meredup dan Andapun akan tanpa dukacita dan dengan demikian jadi ‘bukan apa-apa’.

Jadi ‘bukan apa-apa’ bukanlah suatu keadaan negatif; penyangkalan terhadap apa Anda selama ini sendiri merupakan tindakan paling positif, tapi bukan reaksi positif yang adalah kelembaman [inaction]; kelembaman inilah yang menyebabkan dukacita. Penyangkalan-diri adalah kebebasan. Aksi positif ini memberi enerji, dimana sekedar gagasan-gagasan saja malah menguras enerji. Gagasan adalah waktu; dan hidup di dalam waktu adalah disintegrasi, adalah kesengsaraan.

Kupu-Kupu Gendut

Dunia adalah bejana suci,Ia tidak boleh disalahgunakan,

Barangsiapa menyalahgunakan akan menghancurkannya.

Barangsiapa mendambakan akan kehilangan.


Ada sebuah kisah yang sangat membekas dalam benak saya, yaitu kisah tentang seekor kupu-kupu yang gendut. Begini kisahnya: Terdapatlah seekor ulat muda yang sangat ambisius… setelah membaca dari berbagai buku tahulah ulat muda itu, bahwa tujuan hidupnya adalah menjadi seekor kupu-kupu yang cantik. Dia begitu terkesima dengan rencana alam yang disediakan untuknya. Maka ia pun bertekad untuk menjadi kupu-kupu yang paling besar di antara teman-temannya. Maka mulailah ia menyiksa dirinya: ia tak henti-hentinya makan. Ketika teman-temannya asyik bermain atau istirahat, ulat muda yang ambisius ini makan tak habis-habisnya…. Dengan harapan agar tubuhnya makin gendut… agar dia menjadi yang paling hebat di antara semua temannya. Makan bukan lagi sebuah kesenangan atau keasyikan baginya, tapi sebuah kerja-keras, upaya mati-matian demi mencapai ambisinya. Maka terjadilah seperti apa yang ia bayangkan: tubuhnya makin hari makin bertambah gendut. Dan padasaat tiba musim kepompong, ulat muda inipun menjadi kepompong seperti ulat-ulat yang lain. Namun sunggguh ironis, ketika kepompongnya pecah dan ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu… tubuhnya terlalu gendut sehingga kupu-kupu malang itu tidak bisa terbang.

Kadang kita pun sama bodohnya dengan ulat muda itu. Dalam mengejar tujuan kita, suatu tujuan yang kita anggap serius dan sangat berharga, kita justru kehilangan segalanya. Katakanlah seorang anak muda yang menyiksa dirinya belajar dan bekerja terlalu keras, sehingga melupakan sukacita di masa muda, dengan harapan akan menjadi seorang yang kaya-raya di kemudian hari… dan ketika tiba masa tuanya, dia meraih apa yang ia dambakan: uang yang banyak, harta yang melimpah…. Namun dia tua dan sakit-sakitan dan seluruh kekayaannnya hanya habis untuk berobat ke luar negeri. Ia kehilangan masa mudanya yang berharga.

Orang lain mungkin punya tujuan untuk masuk surga… dan karena tujuan menjadi begitu penting maka berlaku hukum makin cepat sampai kepada tujuan, makin baik. Maka ada beberapa orang yang melakukan aksi bom bunuh diri dengan harapan agar segera tercapai apa yang menjadi tujuan hidupnya: yaitu masuk surga.

Tapi apakah sesungguhnya tujuan yang begitu penting dalam hidup ini? Benarkah ada tujuan semacam itu di dalam penciptaan semesta ini? Apakah sesungguhnya makna hidup ini? Dalam tradisi Hindu dikatakan bahwa Dewata menciptakan dunia karena lila, yang dalam bahasa Sansekerta berarti bermain. Penciptaan adalah sebuah suka cita, sebuah kesenangan dan perayaan besar! Menurut saya itulah maknanya yang hakiki. Jika kita melupakan hal itu, kita kehilangan segalanya. Dan bukankah alam semesta juga menyiratkan hal yang serupa: untuk apakah rumput bergoyang? Untuk apakah ombak berdebur di pantai? Atau burung berkicau? Adakah sesuatu yang ‘sangat serius’ yang akan menjadi tujuan akhirnya? Ombak di pantai selamanya akan tetap berdebur… tak akan ada hasil akhirnya. Namun bukankah seringkali kita begitu merindukan untuk duduk di tepi pantai dan menikmati deburannya? Dalam kesederhanaan yang begitu agung, kita menemukan makna penciptaan yang paling mendalam.

Dan omong-omong, bukankah malaikat dapat terbang karena ia begitu ringan?

Keangkuhan Spiritual = Bahaya !

Yang punya sifat angkuh, walaupun hanya punya, tahu, atau bisa sedikit saja bisa menunjukkan keangkuhannya; apalagi punya banyak, tahu dan bisa melakukan banyak hal. Dan kalau yang angkuh ini menekuni kehidupan spiritual dan berhasil menguasai kemampuan-kemampuan spiritual tertentu, bisa kita bayangkan bagaimana jadinya.

Keangkuhan fisikal —yang berhubungan dengan tubuh yang sehat-kuat, wajah yang cantik atau ganteng, postur tubuh yang proporsional dan seksi, kebugaran, wajah yang berseri-seri, dan sejenisnya— serta keangkuhan material —yang berhubungan dengan kekayaan atau penguasaan harta-benda— maupun keangkuhan intelektual —yang berhubungan dengan intelektualitas seperti: kepinteran, keakhlian, kecerdasan, dan sejenisnya— masih belum seberapa daya rusaknya dibandingkan keangkuhan spiritual ini.

Kekuatan spiritual jauh melampaui kekuatan fisikal atau material, atau bahkan intelektual. Keangkuhan spiritual, bukan saja destruktif bagi yang mengidapnya, namun juga bisa teramat sangat destruktif bagi orang-orang dan makhluk di sekitarnya. Betapa tidak kalau ia bisa saja mencelakai banyak orang dan makhluk-makhluk lain, hanya dengan “diam”, dimana ia seakan-akan tidak berbuat apa-apa.

Menyadari fakta ini, sudah sejak dahulu kala para peletak batu-pertama dan para tetua duania spiritualitas telah menetapkan ajaran etika-moral —sila atau susila— sebagai landasan dari kehidupan spiritual manapun. Seorang Guru spiritual yang baik misalnya, tidak akan gegabah dengan serta-merta melatih para siswanya dengan laku-laku spritual —yang langsung mengakibatkan terbangkitkannya kekuatan-kekuatan spiritual (siddhi-siddhi) tertentu— tanpa memastikan kwalitas etika dan moralitas para siswanya. Hanya untuk membenahi etika dan moralitasnya saja, seorang siswa pembelajar bisa menghabiskan waktu belasan hingga puluhan tahun. Dan itupun tidak berhenti sampai disitu saja; landasan etika-moral ini harus terus dipelihara seumur-hidupnya, harus dijadikan dasar-landasan si siswa spiritual di dalam menjalani seluruh kehidupannya. Makanya, kalau segala sesuatunya memang berjalan betapa mestinya, seorang spiritualis sejati manapun dapat dipastikan beretika-moral tinggi.

Bagi pembelajar spiritual yang kurang-sabaran, apalagi yang motivasi-awalnya memang hanya untuk memperoleh siddhi-siddhi saja, masa-masa penempaan etika-moral —yang bisa menghabiskan sedemikian banyak waktu ini— bisa sangat melelahkan dan membosankan —dimana ia tidak merasakan terjadinya kemajuan spiritual sedikitpun— sehingga membuatnya mengurungkan niat. Padahal, setiap penerapan satu sila dengan baik, sang siswa akan memperoleh satu siddhi halus —yang tentunya belum bisa ia rasakan, sehingga tidak ia sadari. Setidak-tidaknya, dengan menerapkan sila dalam kehidupannya, seorang siswa spiritual telah menyiapkan wadah bersih yang kian membesar, untuk menampung kucuran bukan saja berbagai siddhi tetapi juga kebijaksanaan atau prajña.

Kita tahu, keangkuhan manapun, apalagi keangkuhan spiritual, merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Menyadari ini, siswa spiritual yang baik manapun semestinya tidak merasa dirinya terlalu rendah untuk menerapkan susila atau keluhuran budi ini di dalam kehidupannya.

I'm Not a Slave !


Anda bukan budak. Perbudakan dalam bentuk apapun tidak pernah menjadikan Anda sebagai diri Anda sendiri, betapapun terasa menyenangkannya perbudakan itu. Bebas dari perbudakan adalah menjadi diri sendiri.

Adakah perbudakan yang menyenangkan? Mungkin begitu pertanyaan Anda. Perbudakan oleh hal-hal ‘yang menyenangkan’ —yang bisa diberikan oleh kenikmatan indriawi— justru bentuk perbudakan yang paling halus, yang paling samar, yang paling mengelirukan, dimana Anda segera akan dibuatnya bertekuk-lutut tanpa syarat, untuk kemudian menjadi budak setianya secara sukarela seumur-hidup.

Budak kesenangan duniawi, budak kenikmatan indriawi, budak pemanjaan perasaan boleh jadi merupakan kelompok populasi terbesar di kalangan umat manusia. Besar kemungkinannya kalau Anda dan saya merupakan anggota aktif dari kelompok ini. Tapi sadarkah kita akan kondisi yang menyedihkan ini? Sadar akan perbudakan, adalah awal kebebasan.

Buah adalah Benihnya

Pada sebidang tanah yang sama seorang petani menanam dua benih. Satu benih adalah tebu, dan yang satunya lagi neem, tanaman tropis yang pahit. Dua benih ditanah yang sama, air yang sama, matahari yang sama dan udara yang sama. Alam memberi nutrisi yang sama pada kedua tanaman itu. Kedua tanaman itupun mulai tumbuh. Apa yang terjadi? Tanaman Neem tumbuh dan berkembang dengan rasa pahit di-setiap seratnya. Dan Tebu tumbuh dan berkembang dengan rasa manis di-setiap seratnya. Mengapa Tuhan begitu baik pada yang satu dan begitu kejam pada yang lainnya.

Alam tidak kejam pun tidak baik. Namun Alam bekerja dalam kuhum yang pasti. Alam hanya membantu agar benih-benih itu bertumbuh. Alam memberi nutrisi untuk mengungkap sifat-sifat tanaman itu. Benih Tebu yang memiliki sifat manis, oleh karenanya tanaman itu tak bisa lain kecuali manis. Dan Neem yang memiliki sifat pahit, oleh karenanya tanaman itu tak bisa lain kecuali pahit. Sebagaimana benihnya demikian pula buahnya.

Si Petani karena kepercayaannya, pergi ke pohon Neem, memberi persembahan bunga-bunga, buah-buahan, lilin dan dupa, seraya membungkuk 3X dan mengelilingi pohon Neem itu 108X, sambil berdo’a dan mengucap mantra. “Oh dewa Neem, berilah aku buah mangga yang manis!!! Aku ingin mangga yang manis.” Kasihan dewa Neem yang malang itu, dia tak punya kuasa untuk memberikan buah mangga yang manis.

Apabila seseorang ingin buah mangga yang manis, dia mesti menanam benih mangga yang manis, sehingga dia tak perlu menangis memohon kepada dewa yang manapun.

Kenapa kita sangat sulit melihat realita dalam hidup ini? Hal ini sangat bersahaja bukan? Barangkali karena kebodohan saya, yang selalu sembrono dalam menanam benih. Saya selalu menanam benih Neem dan pada saat berbuah, saya menginginkan buah yang manis, dan itu tak terjadi. Maka itu saya menangis dan memohon kepada langit. Permohonan yang bodoh ini tak’an pernah memberi saya buah yang manis, bukan?

Kenapa Kematian Begitu Menakutkan?


Manakala kita menatap yang tak dikenal dan mengabaikan rasa kedirian, maka yang tak dikenal itu berubah dari menakutkan menjadi sesuatu yang misterius, penuh dengan ketakjuban. Batin dibiarkan dalam keterheranan, bukannya teror. Transmutasi inilah yang membebaskan, ia memerdekakan ...

Kematian menjadi sesuatu yang sedemikian menakutkan bagi kebanyakan dari kita karena, bagi kita, ia ‘serba gelap’. Kita serba tidak tahu tentangnya. Pada saat yang bersamaan, kita juga telah terlanjur mendengar dan mempercayai sedemikian banyak ‘takhyul’ tentang itu. Yang lebih menakutkan lagi adalah, sangkaan kita bahwasanya kematian sama artinya dengan ‘peniadaan eksistensi secara total’. Kita menyangka, dengan mati serta hancur-leburnya jasad ini, musnah juga seluruh eksistensi kita ini. Kita beranggapan demikian karena kita terlanjur mengidentikkan keberadaan kita dengan keberadaan atau keutuhan jasad ini.

Alih-alih memberi rasa yakin di dalam menghadapi kematian, berbagai ‘takhyul’ itu malah menimbulkan keraguan besar, rasa waswas, ketidak-pastian, mengingat mereka jauh dari fakta eksperensial kita tentang keberadaan —sesuatu yang luarbiasa penting bagi kita— itu sendiri. Faktanya, kita ‘merasa ada’. Baik dalam jaga maupun mimpi, kita ‘merasa ada’. Diri ini ada, benar-benar eksis. Dan rasa ini tiada terbantahkan. Argumentasi sehebat apapun diberikan untuk menyanggah rasa itu, tidak akan mau kita terima. Fakta lain terkait dengan keberadaan diri ini seperti penuaan, pengkerutan, dan jenis-jenis degradasi lainnya, tetap tidak menyangkal keberadaannya.

Anggapan bahwasanya kita hanya ada kalau diri ini juga ada, atau segenap keberadaan semata-mata adalah keberadaan dari si diri ini telah sedemikian kuatnya merasuki kalbu ini. Bagi kebanyakan dari kita, secara eksperensial dan emosional, ini merupakan kebenaran satu-satunya yang tidak bisa diganggu gugat lagi.

B a n j i r

Seorang Guru mengabarkan peringatan dari Tuhan tentang banjir yang akan melanda kota. Demikian besar banjir yang akan menimpa kota sehingga seluruh penduduk kota harus diperingatkan agar mereka bersiap-siap menghadapinya. Guru mengatakan, banjir besar itu sesungguhnya adalah hukuman dan pemurnian negeri itu atas dosa-dosa yang dilakukan penduduknya.

Guru menceritakan penilaian Tuhan atas negeri dan kota itu. Para pemimpin negeri telah meminta berkat kepada para jin dan iblis. Para pemimpin agama sibuk dengan urusan kekuasaan dan mengobarkan kebencian. Pemujaan dan bakti hanya terucap di mulut dan tidak lahir dari hati. Segala jenis kejahatan dan kedurjanaan telah dilakukan penduduk negeri.

Maka bertebaranlah para murid mengabarkan penghakiman Tuhan itu. Berpencaranlah mereka menyampaikan kabar kepada saudara, tetangga, dan siapapun yang dikenalnya. Dalam kesibukan kota yang tak pernah mati, sebagian penduduk hanya melihat peringatan itu dengan sinis. Tetapi yang takut sibuk meninggikan rumah dan menyelamatkan hartanya setelah mendengar kabar dari para murid itu.

Dan guru pun meminta para murid untuk membawa keluarganya ke bukit untuk menyelamatkan diri. Dan di puncak bukit itu mereka berkumpul, bermain, dan bekerja sembari menunggu penyelamatan yang dijanjikan-Nya.

Tapi hari itu tak kunjung tiba. Awan gelap, mendung, dan hujan bercucuran,
tetapi banjir yang diperingatkan itu tak kunjung tiba. Dan kegelisahan semakin memuncak. Mereka mulai mempertanyakan kredibilitas janji Tuhan yang tak ditepati-Nya. Mereka mengkhawatirkan kredibilitas nama Tuhan. Dan mereka mencemaskan kredibilitas mereka sendiri di hadapan manusia. Kegelisahan semakin memuncak sampai akhirnya mereka tak mampu lagi menahan diri untuk tidak mencari pertanggung-jawaban atas semua yang terjadi.

Ketika guru mereka tetap diam saja tak memberikan alasan ataupun pembelaan apapun, mengadulah mereka kepada Tuhan. Tapi Tuhan justru bertanya kepada mereka, dan terjadilah dialog ini:

“Mengapa kamu mengabarkan bencana itu kepada penduduk kotamu?”

“Karena kami ingin menyelamatkan mereka dari bencana, Tuhan,” kata seorang
murid.

“Apakah mereka mendengarkan yang kalian peringatkan?”

“Tidak ya Tuhan. Sebagian besar diantara mereka tetap dalam kesibukannya dan
tak mempedulikan peringatan Tuhan yang kami sampaikan.”

“Lalu, mengapa kalian mengungsi ke tempat ini?”

“Karena kami percaya dengan peringatan-Mu, Tuhan. Karena kami mentaatimu dan mengharapkan keselamatan dari-Mu.”

“Apakah kamu sakit hati karena penolakan mereka atas peringatan yang kamu
sampaikan?”

“Tidak ya Tuhan”

“Apakah kamu menginginkan keselamatan penduduk negerimu atau kamu ingin
kebenaranmu terbukti dan dirimu dinyatakan sebagai orang yang benar?”

Suasana hening. Tak seorang pun berani menjawab. Lengang.

“Karena ketaatanmu, Kuberikan kamu berkat: Aku akan mengabulkan doamu. Kamu boleh mendoakan keselamatan penduduk negeri yang mengingkarimu. Jika kamu berdoa seperti itu, maka banjir itu Ku tunda. Tetapi kamu akan ditimpa rasa
malu yang sangat besar dan mereka akan mempertanyakan kebenaranmu.”

“Tetapi kamu dapat berdoa yang lain kepada-Ku. Kamu boleh meminta-Ku agar Aku menepati janji-Ku. Dan jika itu yang kamu lakukan, maka aku akan meluluh-lantakkan negerimu dengan banjir seperti yang telah Ku janjikan karena mereka memang layak menerima hukuman itu atas segala kedurjanaan yang mereka lakukan.”

“Pilihan ada padamu...”