Sekilas Proses Realisasi-Diri


Penegasan-diri mutlak perlu didasari dengan pemahaman-diri. Penegasan-diri tanpa didasari oleh pemahaman-diri yang memadai hanyalah khayalan; bukan cita-cita. Pemahaman-diri inilah yang akan memberikan identifikasi-diri yang lebih mendekati kesujatian, untuk ditegaskan kembali. Walaupun pemahaman-diri masih bersifat intelektual, identifikasi-diri mendekatkannya pada rasa. Melalui identifikasi-diri, sesuatu yang masih ada di tataran intelek ditransformasikan sedemikian rupa ke dalam rasa. Penegasan-diri memberi kekuatan tambahan yang halus kepadanya untuk benar-benar menjadikannya rasa. Rasa mana kita sebut dengan rasa-jati, yang merupakan esensi dan tujuan dari proses Realisasi-Diri-Jati.

Secara skhematis proses ini dapat kita gambarkan:

Pemahaman-diri ——Identifikasi-diri —— Penegasan-diri —— Realisasi-Diri.

Semua tahapan proses ini berlangsung di dalam. Untuk memahami diri sendiri, kita boleh saja memperoleh bantuan buku-buku atau petunjuk-petunjuk dari luar, namun semua itu barulah bahan mentah yang masih harus dicari ‘yang mana’ yang dimaksudkannya di dalam diri, bagaimana bekerjanya, bagaimana hierarkinya dan bagaimana hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Semua ini harus jelas dulu secara intelektual. Hanya bila ia telah jelas secara intelek sajalah kita bisa melanjutkannya ke tahap identifikasi-diri. Idealnya, sekali identifikasi-diri ditetapkan, tidak boleh lagi ada perubahan terhadapnya. Sebab bila ia masih berubah-ubah, secara praktis, penegasan-diri belum bisa dilaksanakan.

Secara sederhana, hanya ada dua kemungkinan ekstrim di dalam identifikasi-diri ini. Yang pertama adalah, mengidentifikasikan-diri pada ‘raga’ ini, yang menimbulkan penegasan bahwasanya kita ini tiada lain dari “raga yang berjiwa”. Yang kedua adalah identifikasi-diri pada ‘jiwa’ ini, yang diikuti dengan penegasan bahwasanya kita ini tiada lain dari “jiwa yang berraga”. Sudah barang tentu, sebelum penegasan ini dilakukan, secara intelek, kita sudah paham benar akan apa yang disebut dengan ‘jiwa’ dan apa itu ‘raga’. Sebelum pemahaman yang jelas tentang ini diperoleh, identifikasi bentuk apapun belum bisa dilakukan; apalagi penegasan.

Di dalam identifikasi-diri, pemahaman yang diperoleh sudah tidak sekedar pemahaman intelektual saja. Kita sudah mulai bisa merasakan kalau kita sesungguhnya adalah “jiwa yang berraga” misalnya. Rasa inilah yang kian dikuatkan di dalam penegasan-diri, melalui praktek spiritual. Ia bisa dikatakan sebagai auto-sugesti secara spiritual. Praktek spiritual sederhana yang terbukti mengantarkan banyak penekun pada keberhasilan adalah japa. Di dalam ber-japa atau merafalkan mantra pendek inilah kita menegaskan-diri sebagai ‘ini’ atau ‘itu’.

Disini kita perlu sangat berhati-hati. Salah memilih japa dan terburu-buru menegaskan-diri sebagai ‘ini’ atau ‘itu’, bisa berarti fatal. Oleh karenanya, japa umumnya diberikan oleh Guru—beliau yang telah Merealisasikan-Diri. Sebetulnya, sejak tahap mencari pemahaman-diri, peran seorang Guru sudah sangat menentukan. Terjadinya kesalahan pada fase awal ini, akibat tak hadirnya seorang Guru yang berkompeten, tentu saja berakibat salahnya fase-fase selanjutnya. Dan kesalahan pada fase ini berarti kesesatan.

Ada sebuah kisah alegoris di dalam Chandogya Upanishad yang sangat mengena. Kisahnya begini:

Tersebutlah Hyang Prajapati —Bapa dari segenap makhluk hidup—sedang ditemui oleh dua orang siswa spiritual. Masing-masing merupakan wakil dari kelompok yang dipimpinnya. Indra—yang adalah pemimpin para dewa—mewakili para dewa; dan Vairochana—pemimpin para asura atau raksasa—mewakili para asura.

Setelah ditanyai apa tujuan mereka menghadap, mereka sama-sama mengemukakan: “Kami datang menghadap untuk memperoleh pengetahuan tentang Atman, Sang Diri-Jati, dari-Mu, oh....Guru Maha Agung...”.

Mendengar permintaan kedua orang siswa ini Hyang Prajapati meminta mereka tinggal bersama-Nya selama 32 tahun, mempraktekkan disiplin keras sebagai Brahmacarin.

Setelah masa itu berlalu, Hyang Prajapati memanggil keduanya dan bersabda: “Pribadi yang kelihatan oleh pelupuk mata kalian adalah Atman atau Diri-Jati. Ia bersifat abadi dan pemberani; Ia tidak pernah takut. Ia jualah Brahman. Beliaulah yang teramati ketika kalian bercermin. Nah....sekarang pulanglah. Bercermin dan amatilah. Beritahu Aku apa yang teramati dan apa yang belum kalian mengerti setelah itu”.

Menerima titah Sang Guru, mereka bergegas pulang dan melaksanakan apa yang dititahkan. Keesokan harinya, mereka sudah datang lagi untuk menceritrakan apa yang mereka lihat kepada Guru mereka.

Apa yang telah termati?”, tanya Sang Guru.

Kami melihat dengan jelas sekujur tubuh kami disana Guru”, jawab mereka dengan meyakinkan.

Baiklah,” kata sang Guru, “Selanjutnya, cukurlah jenggot kalian bersih-bersih, kenakan busana dan perhiasan indah-indah, dan bercerminlah. Besok, laporkan hasil amatan kalian kepada-Ku”.

Keesokan harinya mereka berdua telah datang lagi, dan keduanya melaporkan: “Kami menyaksikan diri kami bersih, gagah, dengan busana gemerlapan Guru”, dengan singkat.

Mendengarkan itu, Hyang Prajapati hanya mengangguk dan tersenyum. Merekapun merasa puas dengan itu dan pulang ke rumah masing-masing.

Sambil menatap kepulangan kedua siswanya yang merasa puas itu, Hyang Prajapati berkata dalam hati: “Hanya puas dengan refleksi kasat-indria seperti itu saja, dan tanpa memiliki Pengetahuan Sejati, Pengetahuan tentang sang Diri-Jati, mau-tak-mau mereka akan hancur”.

Merasa puas Vairochana pulang menemui rekan-rekanya dan mengajarkan pengetahuannya kepada mereka. Baginya, itulah yang terakhir, itulah Pengetahuan Sejati. Kepada para asura, ia mengatakan: “Tubuh inilah yang harus dihias dan dilayani. Dengan menghiasnya, kita akan mencapai kedua dunia; dunia ini maupun yang akan datang”.

Oleh karenanya, sampai kini para asura tak memiliki pengetahuan yang benar akan Sang Atman. Mereka selalu terburu nafsu di dalam mempelajari pun untuk menikmati hasilnya. Mereka yakin kalau raga inilah Atman, Sang Diri-Jati. Mereka selalu menghiasi tubuh mereka, bahkan setelah kematian.

Berbeda dengan Indra. Di dalam perjalanan pulang ke Indra Loka, ia merasakan sesuatu yang masih mengganjal. Ia merasa ada kekeliruan dengan apa yang ia simpulkan, dan merasa perlu kembali kepada Gurunya untuk memohon penjelasan. Makanya iapun kembali.

Melihat Indra kembali, Hyang Prajapati bertanya: “Mengapa engkau kembali Indra? Bukankah engkau telah pulang bersama Vairochana?”.

Setelah menyembah Sang Guru selayaknya, iapun mengungkapkan keraguannya dan memohon penjelasan Sang Guru selengkapnya.

Mendengar permohonan siswa yang satu ini, Hyang Prajapati merasa senang, dan bersabda: “Tinggallah disini selama 32 tahun lagi. Setelah itu Aku akan menjelaskannya kepadamu”.

Sampai disini saya akhiri kisah ini. Sampai disini kita bisa melihat perbedaan prilaku berguru antara dewa atau sura dengan asura. Berbeda dengan asura Vairochana, Indra tidak serta-merta merasa puas dan langsung pulang. Dengan sabar dan penuh ketekunan, ia tinggal bersama Sang Guru lebih dari seabad lamanya. Diakhir masa pembelajaran-dirinya, Hyang Prajapati memaparkan: “Oh Indra, engkau telah berhasil meraih pengetahuan tertinggi melalui usahamu yang cerdas, pantang mundur, teguh pada tujuan....”. Sesudah itulah Bapa dari segenap makhluk hidup memaparkan kesujatian kepadanya. Dewa Indra berhasil Merealisasikan Sang Diri-Jati dibawah bimbingan Hyang Prajapati.

Kesungguhan, ketekunan, keteguhan hati, sikap kritis dan tidak terburu nafsu, mengantar siapapun pada tujuan-akhirnya. Realisasi-Diri adalah upaya bertahap. Dan ini berlaku, bahkan bagi para dewa sekalipun.




Jiwaku adalah cita-cita tertinggi yang dapat ‘ku miliki.

Mewujudkan sifat sejatiku sendiri adalah satu-satunya tujuan hidupku.

~ Sri Swami Vivekananda ~