Apa yang selama ini kita sebut dengan ‘arif’?



Kita boleh jadi mengharapkan terjadi perubahan, dari yang kita anggap buruk menjadi baik, dari yang kita anggap jelek menjadi bagus, atau yang sejenisnya; dimana kita seringkali tidak bisa menerima begitu saja semua bentuk perubahan yang sebaliknya. Kita memang menginginkan perubahan, tapi kita hanya menginginkan perubahan yang mengarah pada perbaikan atupun penyempurnaan. Dan, kitapun tidak akan segan-segan menggelar usaha serius ke arah itu. Bila perlu, kita mengerahkan segenap waktu yang tersedia, sumber-daya dan sumber-dana yang ada demi tejadinya  perubahan itu.

Begitulah umumnya kita menyikapi perubahan. Kita tidak selalu menerima atau mengharap terjadi perubahan, pun sebaliknya, tidak selalu menolak atau menghindarinya. Menyikapi perubahan dengan cara seperti ini, mungkin kita anggap ‘cerdik’, atau bahkan ‘arif’. Tapi, mari kita cermati sekarang apa sebetulnya yang selama ini kita anggap sebagai ‘cerdik’ dan ‘arif’ itu.

Yang kita sebut ‘cerdik’ itu ternyata menganut pola untung-rugi, pola mujur-malang, pola kalah-menang, demi kepentingan egoistis kita. Dan menerapkan pola ini, terbukti sangat mudah membuat kita terperosok ke dalam tindakan ‘licik’. Itulah kecerdikan buat kita selama ini.
Lalu, apakah ‘licik’ bisa disebut ‘arif’? 

Licik’ jelas bukan suatu tindakan ‘bijak’. Kebijaksanaan tidak mengandung motif egoistis. Makanya, dalam kebijaksanaan sajalah mungkin temukan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Kearifanseperti anggapan kita selama ini, yang dekat dengan ‘kelicikan’ itu bukanlah kebijaksanaan. Arif belum tentu bijak; walau pada seseorang yang bijak, selalu kita temukan bentuk-bentuk tindakan arif.

Orang Dungu

 
Orang dungu yang menyadari kebodohannya,
sesungguhnya adalah orang yang bijaksana.
Si dungu yang menganggap dirinya bijaksana,
sesungguhnya orang yang benar-benar dungu.

~Dhammapada: V.63.

Hidup tanpa cita-cita?


Umumnya kita mengidam-idamkan profesi atau pekerjaan yang kita sukai, atau yang kita nyana memberi kesenangan, bahkan bisa mendatangkan kebahagiaan. Itulah yang kemudian kita tetapkan sebagai cita-cita kita. Demi pencapaiannya, kitapun tak segan-segan mengerahkan segenap daya dan dana yang ada, memanfaatkan setiap waktu dan kesempatan yang ada, demi mencapainya.

Pada saat yang sama, apa yang sebetulnya juga terjadi?
Disadari atau tidak, kita sedang membangun ‘dunia kita sendiri’ —sebuah dunia yang kita nyana penuh kebahagiaan. Dan karena kita sibuk terus membangun atau terus memproyeksikan cita-cita kita itu di ‘dunia nyata’, kita malah tak sempat menikmati setiap momen dari proses pembangunannya, dan merasa kalau cita-cita kita belum tercapai. Padahal, didalamnya sudah terkandung ‘serpihan-serpihannya’, yang merupakan segmen-segmen pembentuk ‘dunia kita’.

Ketika, suatu saat —karena kita sudah semakin tua, sudah semakin lelah, semangat kita semakin mengendor— kita merasa perlu beristirahat, kita masih dihadapkan fakta kalau ‘dunia kita’ itu belum terwujud —seperti apa yang dicita-citakan. Dan ... kitapun kecewa. Padahal daya yang kini tersisa sudah sedemikian menyusutnya, dimana sudah tak mungkin lagi menyelesaikan pembangunannya. Sejauh apa yang kita bangun adalah ‘dunia pribadi’, walau kita punya banyak anak-cucu —yang sebetulnya bisa meneruskan pembangunannya, apa yang kemudian mereka bangun, tetap saja bukan ‘dunia kita’ itu. Terlebih lagi mengingat fakta bahwa, anak-anak dan cucu-cucu kitapun punya ‘dunia cita-citanya’ masing-masing. ‘Dunia kita’ bukanlah ‘dunia mereka’. Alih-alih melanjutkan pembangunan ‘dunia kita’, mereka semua sibuk membangun ‘dunia mereka’ masing-masing.

Nah .... demikianlah sebuah skenario yang gagal, dari sedemikian banyak kemungkinan skenario gagal dan sukses lainnya. Menampilkannya demikian, bisa melahirkan rasa pesimistis; setidak-tidaknya bisa mengundang pemikiran: “Kalau apapun yang kita perbuat untuk itu belum tentu berhasil, lalu kenapa susah-susah?”; atau mengundang pemikiran: “Kalau memang begitu, mengapa mesti bercita-cita begini atau begitu. Nikmati saja ‘yang ada’ setiap saat” ... atau pemikiran-pemikiran sejenis lainnya.

Pemikiran yang disampaikan belakangan sebetulnya bukan pemikiran pesimistis pun optimistis. Ia lebih merupakan pemikiran realistis. Ia tidak terorientasi ke masa-depan, melainkan pada ‘yang ada’ dari saat-ke-saat, dari momen-ke-momen. Namun sayangnya, tak banyak ‘yang berani’ seperti itu; budaya lingkungan sosial kita —seolah-olah— mengharuskan kita untuk punya cita-cita, punya suatu angan-angan yang diharapkan akan tercapai di masa-depan. Kita merasa tanpa semangat-juang bila tak memperjuangkan cita-cita kita.
Kita tidak terbiasa hidup tanpa cita-cita; padahal ini merupakan sebentuk kehidupan yang penuh keindahan dan kebahagiaan, setiap saat. Bagusnya ... ia adalah sebuah alternatif yang selalu ditawarkan oleh kehidupan ini.