Mengapa harus takut kepada Tuhan?


Di Bali ada pribahasa yang berbunyi “Buka negakin gedebong, merasa teken jitne belusa” Seperti menduduki gedebog pisang, merasa bahwa pantatnya basah. Bagi pelangggar hukum, hukum dan para penegaknya merupakan sosok yang menakutkan. Demikian juga bagi para pendosa, Tuhan malah jadi sosok yang menakutkan. Bila tidak, ungkapan seperti “Saya hanya takut kepada Tuhan” jadi kehilangan relevansinya.

Kita tentu mengerti kalau ungkapan itu juga dimaksudkan bahwa yang bersangkutan tidak takut kepada siapapun, tentunya termasuk hukum dan para penegak hukum dunia. Makanya, mereka tak akan berpikir panjang lagi untuk melanggar hukum yang diberlakukan di dunia, dimana di dalamnya termasuk melakukan teror dan pembantaian massal. Mereka “hanya takut” kepada Tuhan-nya. Bagi mereka satu-satunya hukum yang layak untuk diindahkan hanyalah apa yang mereka nobatkan sebagai “hukum Tuhan”-nya. Bagi mereka, “hukum Tuhan” hanyalah hukum yang sesuai dengan “yang tersurat” di dalam kitab-suci mereka saja. Di luar itu tak perlu diindahkan. Bagi mereka, kitab-sucinyalah yang paling suci dan paling terpercaya. Di benak mereka tak ada kitab-suci dan Tuhan lain “ kalau mereka masih mengakui bahwa Tuhan bukanlah untuk mereka monopoli “ selain Tuhan mereka, yang juga berarti, kecuali apa yang disebutkan di dalanya, semuanya bisa dilanggar.

Terlepas dari semua itu, mengapa mesti takut kepada Tuhan, atau “hokum” Tuhan? Kalau Tuhan adalah Kebenaran Sejati, dimana hukum-Nya pasti sangat adil, mengapa mesti takut? Tidakkah jauh lebih baik dan lebih masuk-akal takut berbuat dosa, takut melanggar hukum-Nya? “ Hukum” tidak sama dengan hukuman atau ganjaran, sanksi, atau sejenisnya, walaupun penegakan hukum umumnya memang disertai oleh yang seperti sebagai konsekuensinya bukan?

Tidak memburu Rasa Bangga dan mengharap Pahala


Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki,

dan itu mungkin tidak akan pernah cukup.

Tetapi, tetaplah berikan yang terbaik.

~ Mother Teresa ~


Mengapa kita kurang menghargai sesuatu yang diperoleh dengan mudah walaupun sebetulnya ia bernilai tinggi, dan sebaliknya sangat menghargai yang diperoleh dengan bersusah-payah, dengan bersimbah keringat dan air-mata, walaupun ia sebetulnya tak begitu bernilai? Adakah karena yang sebetulnya kita hargai bukanlah sesuatu itu, hasil dari usaha kita itu, melainkan usaha kita sendiri di dalam memperolehnya? Lantaran kita menghargai jerih-payah kita sedemikian tingginya, melebihi nilai nominal dari jeri-payah itu sendiri?
Tapi, kenapa demikian? Adakah lantaran romantisme yang menggurat sedemikian dalamnya di hati kita, ketika berupaya-keras memperolehnya, dimana ketika kita merasa berhasil, ia menjadi kebanggaan ego ini?

Kalau memang demikian adanya, dan Andapun dengan jelas melihatnya demikian, maka Anda melihat bagaimana ego selama ini menggerakkan Anda untuk berbuat, bekerja, berusaha. Anda bisa saja tampak mengorbankan banyak hal dalam mencapainya; Anda bisa saja bahkan mengorbankan-diri Anda, namun, semua itu masih ada di wilayah egotisme. Semua itu sama-sekali bukan tindakan altuistis.

Altruisme tidak memburu rasa bangga. Ia bebas dari rasa bangga-diri. Kalaupun terbit rasa bangga daripadanya ... baik, patut disyukuri; kalaupun tidak, tidak apa-apa; toh bukan itu yang dicari. Seikhlas Anda membuang hajat di WC, dimana tanpanya Anda malah merasa tidak-nyaman, merasa mulas, seikhlas itu pulalah Anda melangsungkan setiap tindakan altruistis. Inilah kurban-suci.
Nah ... sekarang coba periksa lagi apa yang selama ini kita anggap sebagai ‘kurban’ itu. Adakah itu kita lakukan demi pahala yang kita harap akan kita petik di alam baka nanti, walaupun di bibir kita terus berkata: ‘Saya ikhlas ... saya ikhlas kok!’?