Kitab Suci yang Sesungguhnya


Belakangan ini, kata ‘pencerahan’ dan ‘kecerahan’ telah sedemikian terkontaminasinya, sudah jauh bergeser dari yang dimaksudkan. Seringkali kedua kata itu hanya digunakan sebagai pengganti —atau secara serampangan dipersamakan begitu saja dengan— istilah ‘penjelasan’ atau ‘keterangan’ deskriptif yang —baik dipaparkan maupun diterima— hanya memalui intelek semata.

Alhasil, kedua kata itu kini lebih bersifat atributif, lebih merupakan asesoris ketimbang kata yang bermakna dalam. Dalam kasus seperti inilah sebetulnya dalil: “Kata bukanlah halnya”, berlaku dengan tepat. Kendati kata memang bukan barangnya, bukan hal yang dikatakan, kata tetap membawa maknanya sendiri, mewakili maksud atau substansi —bahkan esensi— dari yang hendak disampaikan oleh yang mengatakannya. Seseorang —kecuali ia telah gila, sedang mabuk berat atau sedang ngelindur— akan selalu punya maksud yang hendak disampaikannya lewat yang dikatakannya. Perkara apakah kita bisa menangkap maksudnya atau tidak, itu urusan kita; bukan urusan yang mengatakan atau si pembicara bukan?

Memahami fakta-fakta terkait, pencerahan yang diberikan oleh siapapun, bahkan oleh Buddha sekalipun, belum tentu menghadirkan kecerahan bagi seseorang. Jangankan sekedar melalui membaca kitab-kitab —yang notabene hanyalah benda-mati, betapa disakralkanpun mereka oleh seberapa banyak orangpun— menerima pemaparan langsung dari Sang Buddha sekalipun belum tentu menghadirkan kecerahan. Hanya bila Anda mampu membaca ‘kitab hati’ Anda —yang tanpa huruf dan tanpa kata juga tanpa suara itu— Anda mungkin tercerahi. ‘Kitab hati’ Anda itulah kitab suci Anda yang sesungguhnya, yang berpotensi mencerahi Anda. Temukan dan bacalah dia !!!