Lapar Spiritual


Lapar spiritual adalah kerinduan untuk akhirnya pulang ke rumah; ia suatu kondisi dimana tubuh-mental ini merindukan kedamaian. Kita semua mengenal frasa “kedamaian batin.” Lapar spiritual adalah kerinduan akan kedamaian batin. Ia sebentuk kerinduan yang terkadang terasa sedemikian intensnya, dimana, seperti kelaparan fisikal, ia benar-benar menyakitkan. Lapar spiritualpun butuh pemeliharaan dan dukungan.

Sementara makanan memuaskan lapar fisikal, lapar spiritual hanya bisa dipuaskan dengan terbenam di dalam momen, berikut segenap persepsi-persepsinya, reaksi-reaksi mentalnya, pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaannya, emosi-emosi, warna-warna, suara-suara, bau-bau, rasa-rasa, dan seterusnya. Makanan spiritual adalah kerja menambal yang mengagumkan apa yang kita sebut dengan momen, apa yang kita sebut dengan dunia. Inilah konteks dari lapar spiritual itu. Ironisnya, mereka yang punya banyak makanan untuk disantap adalah mereka yang paling sering kelaparan secara spiritual. Dalai Lama mencatat ini tatkala beliau membicarakan perjalananya ke beberapa negara industri makmur, dimana orang-orang dikelilingi oleh kemewahan dan kenyamanan, sementara pada saat yang bersamaan, dikepung oleh bentuk-bentuk kegelisahan dan depresi, yang tidak ditemukan dalam masyarakat yang kurang-berkembang.

Dalam “Song of Zazen”-nya Hakuin mengisahkan bayangan seseorang yang sedang berdiri di tengah genangan air tapi menangis kehausan, yang mengetengahkan pedihnya kondisi ini. Dikelilingi oleh makanan duniawi, kita masih tetap saja lapar. Kita adalah “para pengembara tanpa suara yang memimpikan bunga-bunga.” Kita mengira kalau kelaparan spiritual tak ada hubungannya dengan kelaparan fisikal yang dialami oleh seorang tuna-wisma, yang memakan makanan yang berhasil dikaisnya dari tumpukan sampah. Kita membayangkan makanan spiritual sebagai sesuatu yang spesial, terlepas dari kehidupan kita yang biasa, sebagai makanan ajaib dari surga, sebentuk manifestasi luarbiasa, yang melampaui dunia ruang, waktu, dan gerak ini. Kita menyangka ia akan menghancurkan semua yang pernah kita ketahui; kebanyakan dari kita menyangka ia mengijinkan kita menyelam ke dalam sebentuk dunia yang samasekali berbeda dari yang kita hidupi ini. Kita percaya kalau hanya yang sedemikian berpengalaman sajalah yang akan bisa memuaskan kelaparan spiritual kita.

Sebetulnya, alasan kenapa kita masih saja lapar adalah, karena kita menolak untuk makan. Barangkali lebih baik tidak menyebutnya sebagai penolakan, melainkan ketidak-tahuan. Kita tidak tahu kalau makanan spiritual kita ada disini, dalam momen-momen sehari-hari dari kehidupan sehari-hari kita. Mengapa kita tidak mengetahuinya? Tanggapan terbaik terhadapnya adalah mengambil nafas panjang sekali lagi, dan sekali lagi, lalu sekali lagi. Beginilah pertanyaan itu menjawabnya sendiri. Kita tidak mengetahui kalau makanan spiritual kita ada persis disini, karena kita tidak tinggal di dalam momen-momen kita sehari-hari, dan karena kita memegang realitas konseptual, yang hanya merupakan gambaran satu sisi dari gambaran seluruhnya. Kita lupa, kita tak menyadari, kalau setiap konsep, gagasan, dan pemikiran, melarut ke dalam nafas kita.