Memanfaatkan Rasa Iba dan Kebaikan Hati Orang Lain

Merasa bosan hidup bertani di kampungnya, serta mendengar penuturan serta melihat teman-teman sekampungnya yang kelihatan berhasil hidup, Sukijo mencoba mengadu untung ke Metropolitan.

Dengan keterampilan seadanya iapun memulai kariernya sebagai penggali tanah di sebuah proyek pembangunan perumahan. Pekerjaan itu ia tekuni tak kurang dari setahun, sebelum cidera otot pinggang memaksanya untuk beralih profesi. Melihat ketekunannya dalam bekerja, mandornya menyayanginya. Dan karena ia tak bisa lagi menggali tanah, ia ditugaskan sebagai perekrut tenaga penggali tanah di kampungnya. Sejak itulah ia pulang-pergi Jakarta –kampungnya, dan tampak seperti teman-teman pendahulunya yang kelihatan berhasil di mata orang-orang sekampungnya.


Salah seorang teman sekampung yang direkrutnya adalah Karyo. Setelah sekian lama menjadi penggali tanah, ia mulai bosan dengan pekerjaan berat itu. Berlatar belakang keterampilan bertani, iapun mulai mencari lahan kosong yang tak dimanfaatkan di tepian sungai. Ternyata lahan-lahan itu subur di tanami sayur-sayuran. Tak lebih dari enam bulan, ia sudah berkali-kali menjual hasil kebunnya dan mengirimkan jutaan rupiah kepada keluarganya di kampung.


Mengetahui semua itu, Poniran teman sekampungnya yang lain menyusul. Cuma, Poniran ini bukanlah seorang petani yang setekun Sukijo dan Karyo. Di kampungnya ia malah dikenal sebagai pemuda pemalas, bahkan tak jarang kedapatan mabuk-mabukan. Di Jakarta ia sempat menjadi penggali tanah, sebelum ia merasa kewalahan dan memilih membantu Karyo berkebun sayuran. Rupanya, membantu berkebun sayurpun bukanlah pekerjaan mudah baginya. Berkali-kali melihat para pengemis cacat yang berhasil mengumpulkan tak sedikit uang dengan mudah, terpikir olehnya untuk memanfaatkan rasa iba dan kebaikan-hati orang-orang. Iapun berpura-pura cacat, berpakaian kumal, duduk di jembatan-jembatan penyeberangan menengadahkan tangannya.



***


Niat mengeksploitasi rasa iba dan kebaikan-hati orang-orang bisa diwujudkan melalui berbagai cara. Bentuk kelicikan ini berpangkal pada kuatnya rasa iba-diri —yang membuat kita menyayangi diri sendiri melebihi siapapun atau apapun sehingga merasa tak pantas untuk menderita, apalagi untuk berkorban bagi yang lainnya.