Itu Fitnah !!!


Kurang-lebih tiga-belas abad setelah seorang Nabi mangkat dan naik ke sorga, beliau dipanggil oleh Tuhan.

"Aku menerima kabar kalau kamu telah menulis kitab suci yang berisikan ayat-ayat ajaran, seperti apa yang Ku ajarkan kepadamu itu. Benarkah itu?"

"Ampun Tuhanku .... Semua itu fitnah belaka."

"Fitnah? Mereka malah mengatakan kalau kamulah yang menyebarkan ajaran dan mendirikan agama baru, yang kini banyak pengikutnya di dunia; bahkan banyak pengikutmu itu jadi pengacau dunia. Yang lebih tak bisa diterima lagi adalah," sambung-Nya, "ketika mereka melakukan aksi terornya, mereka terus meneriakkan Kebesaran Nama-Ku. Bagaimana ini?"

"Ini pasti ulah murid-murid dari para sahabat hamba beserta murid-muridnya Paduka. Bukankah Paduka sendiri tahu kalau hamba buta huruf?"

Pandai-pandailah menghargai yang ada !


“Rubahlah pemikiran-pemikiran Anda, bila Anda hendak merubah keadaan-keadaan Anda. Sejauh hanya Andalah yang bertanggung-jawab atas bentuk-bentuk pemikiran Anda sendiri, maka hanya Andalah yang bisa merubahnya. Hasrat Anda untuk merubahnya muncul manakala Anda menyadari bahwa setiap pemikiran mencipta sesuai sifatnya sendiri. Ingat bahwa hukum ini bekerja setiap waktu, dan bahwa Anda selalu berdemontrasi menurut jenis pemikiran-pemikiran yang Anda pertontonkan sebagai kebiasaan. Oleh karenanya, sejak saat ini biasakanlah hanya memikirkan pemikiran-pemikiran yang akan membawakan Anda kesehatan dan kebahagiaan.” ( Sri Paramahansa Yogananda )

Kita umumnya kurang pandai dalam menghargai yang ada, sebaliknya cenderung sibuk mengidam-idamkan yang belum ada. Kekurang-pandaian kita inilah seringkali terekspresikan dalam sikap uring-uringan. Ungkapan seperti “rumput tetangga selalu tampak lebih hijau”, juga merujuk langsung pada fenomena mental ini.

Kendati kecenderungan mengidam-idamkan yang belum ada ini telah menjadikan manusia giat untuk berkreasi, berinovasi, yang sudah barang tentu bermanfaat; tetapi, ia juga telah membuat banyak orang merasa susah, sedih, merasa sengsara, secara tidak proporsional. Ia menghadirkan sejenis kekosongan dalam hati yang merajuk dan mendesak untuk diisi. Dan, dalam suasana batin serupa ini, kenteraman tak akan pernah hadir.

Uring-uringan tidaklah tipikal dan hanya para remaja saja; gejala ini juga diidap oleh banyak orang-dewasa, dalam format dan intensitas berbeda-beda. Padahal, sesungguhnya alam telah menyediakan segala kebutuhan-hidup kita semua secukupnya. Hanya karena keserakahanlah, karena sedemikian banyaknya keinginanlah, kita selalu merasa kekurangan, dan jadi uring-uringan.

Suatu ketika seorang ayah yang hidup sederhana berkata kepada putra-putrinya: “Tak ada lagi yang ayah inginkan di dunia ini, kecuali kebahagiaan kalian” Beliau memang tampak tenteram dan bahagia ketika itu. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu, perubahan demi perubahanpun terjadi. Menurut ‘standar’ kebahagiaan yang beliau tetapkan sendiri itu, ternyata salah seorang anaknya tidak bahagia. Beliau jadi murung dan uring-uringan lagi.

Seringkali kedapatan kalau kita semena-mena dalam menetapkan ‘standar’ kebahagiaan. Bahkan, kitapun cenderung terus-menerus meningkatkan ‘standar’ itu. Kenapa? Apa yang sebetulnya terjadi pada diri ini?

Kita sebetulnya tidak mengetahui, tidak memahami apa sebenarnya kebahagiaan itu. Kita umumnya mengukur derajat kebahagiaan orang lain dan juga diri sendiri, hanya dari tampakan luar saja, dari sesuatu yang kasat-indria saja. Yang lebih konyol lagi, kita cenderung mengukurnya dari jumlah harta-benda yang berhasil ditimbun. Sungguh menyedihkan.

Kurang pandai menghargai yang ada, juga telah menjadikan kita tidak pernah merasa puas dan berkecukupan sehingga kurang pandai bersyukur. Bahkan, yang adapun belum benar-benar dinikmati, tapi sudah uring-uringan menginginkan yang lainnya lagi. Padahal, kepandaian ini berperan amat penting didalam menghadirkan ketenteraman dan kedamaian-hati. Hanya dalam hati yang damailah bisa terbit kebahagiaan.

Bilamana Anda tidak bisa berdamai dengan diri Anda sendiri, dengan siapa Anda akan mungkin berdamai? Kedamaian diawali pada batin kita sendiri. Dan kitalah yang sepenuhnya bertanggung-jawab atasnya. Hanya setelah itulah ia terpancarkan keluar, dan akan dirasakan juga oleh orang-orang di sekeliling Anda.

Mereka yang pandai menghargai dan memanfaatkan yang ada, yang bisa merasa puas dan berkecukupan dengan apa adanya, berhati damai dan bahagia. Yoga Vashistha, kitab yogashastra yang tertua di muka bumi ini, menyebut-nyebut shanti dan santosha sebagai penjaga dua pintu-gerbang Kemokshaan, Kemahardikaan. Dimana, bilamana seseorang mengenal dan berteman baik dengan salahsatu saja daripadanya, maka ia akan diperkenalkan juga pada yang lainnya, yang memungkinkan kita akrab dengan semua penjaga gerbang.

Bilamana kita bisa berbahagia sekarang dan di sini, bisa merasa bebas sekarang dan di sini, mengapa mesti menanti untuk menikmatinya nanti dan disana? Mari jauhi sikap uring-uringan itu, dan belajar menghargai dan menikmati yang ada...sekarang...di sini.

Semoga Kebahagiaan menyertai Anda selalu!

18


Dalam dharma-sadhana, terdapat 18 tuntunan yang sangat bermanfaat jika kita resapi dan dipegang sebagai pedoman menjalani kehidupan yang lebih baik. Semua yang saya paparkan disini ditujukan untuk menghindari pandangan dan perilaku keliru yang hanya mempertebal sikap mengasihi diri sendiri —akar semua masalah. Karena itu kita harus waspada dan terus berupaya melenyapkannya.

1. Pertama adalah berlatih untuk tidak melanggar tekad yang telah ditetapkan dan tidak menyimpang dari garis latihan.

Jika misalnya, dalam latihan mengasihi semua makhluk hidup kita dengan enteng membunuh seekor semut dan menganggap hal itu sebagai hal sepele, maka itu telah menyalahi aturan latihan. Disiplin bermanfaat bagi semua dan, seperti aturan-pakai yang tertera di label botol obat, berfungsi menunjukkan apa yang menunjang dan apa yang mengurangi beban latihan. Kita harus mengenalnya dengan baik, menjaganya dengan teguh dan menerapkan dengan tegas.

2. Aturan umum yang kedua adalah, untuk tidak pernah menggunakan transformasi batin, sebagai alat untuk menyombongkan diri.

Ajaran secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menjadi ‘kekuatan adi duniawi’; yang maksudnya begini:

Seringkali di pohon-pohon atau di dekat sungai berdiam makhluk-makhluk halus, yang berbahaya kalau diganggu. Orang yang tahu akan hal ini akan bertindak hati-hati, dan berusaha untuk tidak merusak tanaman ataupun menggali tanah atau hal sejenisnya di tempat-tempat seperti itu. Tapi jangan kita menganggap hal itu hanya tahyul yang tidak berlaku bagi siswa spiritual, lalu bertindak sembarangan merusak tanaman, mengotori air, mendatangi tempat-tempat serupa itu dan bertingkah seenaknya disana.

Semua sikap takabur itu muncul dari keangkuhan, yang berlawanan dengan hakekat dari latihan kita. Orang yang takabur tidak didorong oleh rasa welas-asih ketika ia mau mendekati orang yang berpenyakit menular, misalnya. Hal itu semata-mata untuk menyombongkan diri dan menunjukkan bahwa ia kebal karena punya kekuatan batin.

3. Aturan umum ketiga, berkenaan dengan bahaya terjebak ke pandangan sempit.

Dalam berlatih, hendaknya kita tidak lagi bersikap diskriminatif; misalnya membeda-bedakan reaksi terhadap manusia dengan terhadap anjing, kendati keduanya sama-sama bersikap buruk terhadap kita. Jika terhadap manusia kita bersikap sabar, maka begitu pula hendaknya terhadap seekor anjing. Sikap membeda-bedakan ini terlebih-lebih jangan dilakukan terhadap sesama manusia —antara yang kaya dengan yang miskin, yang terpandang dengan tidak terpandang, atau sejenisnya.

Pendek kata, belajarlah bersikap setara terhadap semua makhluk hidup.

4. Ubahlah sikapmu, tapi berlakulah wajar.

Mengembangkan batin secara spiritual, artinya secara terus-menerus mengoreksi prilaku yang buruk, dan mengembangkan kualitas mental yang baik.

Meski demikian, tatkala kita mencapai kemajuan, bukan berarti sikap kita terhadap orang lain harus berubah secara drastis. Kita tidak perlu “menunjukkan” perubahan di dalam itu, apalagi dengan sikap dan dandanan yang dibuat-buat agar kelihatan layaknya orang suci.

5. Jangan membicarakan kesalahan orang lain.

Jangan pernah menuduh, mengkritik, atau mencari-cari, apalagi membesar-besarkan kesalahan siapapun, kecuali diri kita sendiri. Tentu saja kita boleh menasehati atau memberi saran agar orang lain dapat mengoreksi kesalahan atau kekeliruan mereka, apalagi bila mereka kita anggap sebagai sahabat kita. Tapi, bila ucapan kita dilatari oleh maksud untuk membanggakan diri dan mengecilkan orang lain, itu bertentangan dengan hakekat latihan kita. Karena aturan seperti ini mudah sekali terlupakan, kita harus menerapkannya dalam praktek sekarang juga!

6. Jangan menunjuk-nunjuk kesalahan orang lain.

Buanglah kegemaran menunggu dan memperhatikan sampai orang lain berbuat salah, sebaliknya kita harus selalu eling dan waspada terhadap perbuatan sendiri.

Ketika berjalan di tebing yang curam dan berbahaya, kita tidak usah memperhatian apa yang terjadi di kiri-kanan, selain setiap langkah kita. Dalam latihan, lebih bermanfaat jika kita memusatkan perhatian ke dalam diri —mawas-diri; bahkan bila kebetulan mengetahui kesalahan orang lain, segeralah berkata pada diri sendiri bahwa mungkin kita telah salah menduga yang bukan-bukan.

7. Bersihkanlah belenggu yang paling kuat.

Semua makhluk yang berada dalam lingkaran kelahiran dan kematian ini, sedikit banyak pasti punya belenggu emosi. Hanya kadarnyalah yang berbeda satu dengan lainnya. Belenggu-belenggu utama biasanya adalah nafsu-keinginan atau keserakahan, amarah, keangkuhan, iri-hati dan kebodohan. Kita harus bermawas-diri untuk mengetahui, berusaha lebih dulu menghancurkan belenggu yang paling kuat.

Jika keserakahan atau nafsu-keinginan merupakan emosi yang paling kuat, maka kita dapat mengatasinya dengan bermeditasi atas kesementaraan dan kekotoran jasmani ini. Bila yang dominan adalah kebencian dan amarah, kita mengembangkan meditasi welas-asih. Untuk kebodohan, latihlah meditasi dengan objek kekosongan. Untuk keangkuhan dan kesombongan, latihlah meditasi dengan objek kesementaraan, kandungan derita dalam hidup ini, kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, dan alam-alam yang menyedihkan. Jika kecemburuan atau iri-hati yang merajai, kita harus berlatih meditasi dengan objek rasa simpati, turut bergembira atas kebahagiaan orang lain.

Belenggu-belenggu tidak terhitung banyaknya, dan selama kita belum membersihkannya, ia akan merusak batin.

8. Jangan mengharapkan pujian.

Bila kita berlatih mengembangkan pencerahan dan kebijaksanaan, segenap usaha kita harus diabdikan untuk semua makhluk hidup. Latihan menjadi sesuatu yang tidak tulus dan murni jika ditujukan untuk mendapat pujian atau pahala. Harapan seperti itu bukan saja egois, tapi juga tak berguna, bahkan merugikan.

Manfaat bagi kita akan datang dengan sendirinya sebagai hasil dari latihan.

9. Hindari makanan beracun.

Jangan pernah secara sengaja menyantap makanan yang dapat merugikan kesehatan batin. Kita mesti tahu bahwa ada dua racun yang harus dihindari dalam latihan kita: kebodohan —pandangan salah ataupun keliru tentang ‘diri’— dan sikap mengasihi diri sendiri.

Bila racun yang pertama bereaksi, kita harus segera memuntahkannya dengan bermeditasi atas kekosongan. Bila racun yang kedua menggejala, bangkitkanlah welas-asih universal dan sifat altruistis dalam pikiran kita.

10. Jangan bersikap lembek.

Ini bukan berarti kita selalu memasang wajah angker dan bersikap keras terhadap orang dan makhluk hidup lainnya. Yang benar ialah, kita tidak boleh lembek terhadap belenggu-belenggu emosi sendiri. Dan memang karena toleransi yang keliru terhadap keserakahan, kebencian dan kebodohan, sehingga kita semakin erat terjerat jaring penderitaan.

Mulai sekarang, kita harus berhenti bersikap lembek terhadap “musuh di balik kulit” ini; sebaliknya, terus berusaha bersikap lemah-lembut terhadap sesama makhluk hidup.

11. Jangan membalas lelucon yang menyakitkan.

Bila ada orang mengejek atau menjadikan kita bahan tertawaan, janganlah membalas atau menjadi sakit-hati karenanya. Sadarilah bahwa, ketika Anda membalasnya, Anda telah memposisikan diri Anda lebih buruk dari sebelumnya, disamping menjadi tidak lebih baik dari mereka itu.

Gunakanlah itu sebagai latihan kesabaran!

12. Jangan ‘bersembunyi di balik semak-semak’.

Bilamana sisa-sisa pasukan tidak dapat mengalahkan musuh dalam suatu pertempuran terbuka, biasanya mereka menanti di balik semak-semak, menggunakan taktik gerilya untuk menyerang secara mendadak atau membokong.

Menunggu kesempatan baik untuk melancarkan balasan terhadap sikap orang lain yang menyakiti kita, sungguh bertentangan dengan tujuan latihan.

13. Jangan sengaja menusuk hati mereka.

Kita bisa menyakiti orang lain hanya dengan kata-kata tajam yang menyinggung masalah peka, dan langsung menusuk ke dalam hatinya. Kita sepantasnya juga bisa berhenti mengucapkan “mantra-mantra jahat” itu, sebelum menyakiti siapapun.

14. Jangan membebani seekor lembu dengan beban seekor ‘dzo’.

Dengan kata lain, jangan membagi beban kita kepada orang yang tidak bakalan sanggup memikulnya. ‘Dzo’ adalah nama khewan pembawa beban di Tibet, yang biasa digunakan untuk mengangkut barang dalam menempuh jarak yang jauh. Jika seekor lembu dipaksa mengangkut beban yang biasa diangkut seekor dzo, maka akibatnya akan merugikan.

Begitu pula, jika kita memberikan tugas kepada orang bodoh yang bahkan tidak menyadari kemampuannya sendiri. Tindakan ini hanya akan membebaskan kita untuk sementara waktu dari masalah, untuk kemudian menanggung masalah yang lebih berat di belakang hari.

Hukum Kausalitas tak akan pernah bisa dikelabui!

15. Jangan mengakui jasa orang lain.

Kita tidak boleh bersikap sepertinya bekerja sama dengan orang lain, tetapi ketika pekerjaan itu berhasil, lalu mengakuinya sebagai hasil karya sendiri. Seperti dua orang tentara yang bahu-membahu berjuang di medan pertempuran, tapi seorang di antaranya mengaku sebagai pahlawan yang berhak atas seluruh medali dan kenaikan pangkat.

16. Jangan pura-pura.

Dalam suatu pertandingan, janganlah bertindak pura-pura sehingga lawan Anda lengah, agar akhirnya dapat memenangkan pertandingan itu. Dalam setiap pertandingan, sportivitas hendaklah dijunjung setinggi-tingginya.

17. Jangan mengubah Dewa menjadi Setan.

Jika, bukannya berlatih membangkitkan kecerahan, kita malahan menguatkan belenggu emosi, maka ini dikatakan “mengubah Dewa menjadi Setan”.

Hal itu tidak akan terjadi apabila kita berlatih dengan sungguh-sungguh. Latihan kita, malah seharusnya diarahkan guna “mengubah Setan menjadi Dewa.”

18. Tak pernah ada kebahagiaan di atas penderitaan makhluk lain.

Menyebabkan makhluk lain menderita untuk memuaskan nafsu kita akan kesenangan dan kebahagiaan, jelas sekali bertentangan dengan tujuan latihan.

Melihat kehidupan dengan cara lain


"Your joy is your sorrow unmasked. "
~ Kahlil Gibran ~

Saya tidak tahu apakah Anda menyadari atau tidak kalau kita punya anggapan atau idealisasi masing-masing akan apa itu kebahagiaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan memang demikian adanya?
Si Abu punya idealisasi kalau ia akan berbahagia kalau ia menjadi pemimpin sejumlah besar umat beragama yang melingkupi Asia Tenggara misalnya, sementara Suweta membayangkan betapa bahagianya kalau ia berhasil menyekolahkan keempat putra-putrinya ke jenjang perguruan tinggi; lain lagi dengan Siok Gie yang membayangkan kalau ia akan benar-benar berbahagia kalau perusahaannya punya cabang di setiap kota-kota besar di Indonesia. Kita punya bayangan masing-masing akan apa itu kebahagiaan.

Dan di atas rel idealisasi itulah kita berjalan, mendaki, dari hari ke hari, seumur-hidup kita. Namun, ada —bahkan tak sedikit— diantara kita yang telah mencapai apa yang tadinya disangkanya menghadirkan kebahagiaan itu, namun ternyata tidak. Siok Gie melihat kalau apa yang telah dicapainya, belum membahagiakannya; dan sekarang ia sedang berusaha keras untuk mengembangkan sayap perusahaan sampai ke negri tetangga. Bayangannya akan kebahagiaan sudah bergerak menjauh; yang juga berarti ia belum juga merasa mereguk madu kebahagiaan. Lain lagi halnya dengan si Abu, si Suweta, atau yang lainnya.

Demikianlah kita-kita ini; kita punya bayangan masing-masing akan apa itu kebahagiaan, punya idealisasi masing-masing akan apa itu kebahagiaan. Namun kita temukan kalau ternyata bayangan atau idealisasi kita itu meleset, ternyata ia bergerak, bergeak dan terus bergerak. Namun, sampai sejauh ini, kita belum juga terusik untuk bertanya: apa sesungguhnya kebahagiaan itu?

Kalaupun pertanyaan itu terlintas di benak kita, kita tidak tahu apa jawabnya; dan kitapun tidak tahu kepada siapa mesti bertanya. Sementara, kita tak pernah menanyai diri sendiri: mengapa kita mendambakan kebahagiaan yang lain dari apa adanya kita kini? Padahal, bila saja kita menanyakan ini kepada diri sendiri, sangat boleh jadi kita akan melihat kehidupan —yang sedang kita langsungkan ini— secara lain, jauh berbeda dibanding sebelumnya; sehingga, daripadanya, kitapun akan menyikapinya, menjalaninya dengan cara lain.

Tingkat Pencapaian Spiritual


Ketika kita masuk ke spiritualisme mungkin akan lebih bermanfaat kalau kita bisa memilah tingkatan spiritualime, hal ini untuk lebih memudahkan kita dalam instrospeksi diri kita sendiri dan berikutnya menentukan arah perkembangan pengembangan spiritualisme kita. Untuk hal tersebut saya lebih suka membagitingkatan perkembangan spiritual dalam level/tingkat, dan level dalam kepemimpinan situasional cocok untuk diterapkan dalam spiritualisme dimana guru spiritual (baik fisik/non fisik maupun pribadi) menyesuaikan dengan 'kematangan spiritual' penekunnya.

Level I: Untuk manusia yang tidak tahu ilmu spiritual dan tidak mau menekuni spiritualisme diterapkan metode 'telling/directing/perintah' yang berbentuk ganjaran dan hukuman. kebanyakan orang awam berada disini, yang harus diancam neraka dan diiming-imingi surga untuk beribadah.

Level II: Untuk manusia yang tidak tahu ilmu spiritual tetapi mau belajar atau menekuni spiritualisme diterapkan metode 'selling/coaching' untuk membantu mereka untuk memahami spiritualisme.

Level III: Untuk manusia yang tahu ilmu spiritual tetapi tidak mau menerapkan atau menekuni spiritualisme karena alasan tertentu diterapkan metode 'supporting/ participating' yang membimbing dan memotivasi mereka untuk menerapkan spiritualisme.

Level IV: Untuk manusia yang tahu ilmu spiritual dan menekuni spiritualisme diterapkan metode 'delegasi' yang membebaskan mereka menerapkan spiritualisme. Disini spiritualis biasanya sudah memahami karma dan takdir, dan ego pribadinya sudah menjadi ego kosmik/universal atau selebihnya hingga perilakunya dalam kerangka kosmik/universal.

Yang perlu diketahui ialah bahwa manusia tidak statis dilevel tersebut ada kemungkinan dia mulai berkembang pindah level. Kalau saya perhatikan maka level transisi adalah sebagai berikut:

Level I - Level II: Seseorang yang sudah tidak termotivasi dengan surga neraka tetapi tidak menemukan guru spiritual yang sesuai maka mungkin akan terjebak kepada kondisi agnostik atau atheis. Jadi kondisi atheis atau agnostik sebenarnya tanda bahwa seseorang sudah waktunya untuk naik kelas, Cuma yang bersangkutan belum menemukan kelas lebih tinggi yang mengajarkan spiritualisme dari sebelumnya religiusisme tersebut.
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan kemauan untuk berbagi, maka sebenarnya banyak sekali pengetahuan spiritual yang ada diberbagai media. Hal ini sebenarnya bisa menjadi acuan/guru pertama dan sebelum menemukan 'guru' yang sebenarnya untuk kelas yang lebih tinggi tersebut.

Level II - Level III: Seseorang yang sudah mengetahui spiritualisme dalam taraf tertentu tetapi kemudian merasa perkembangannya tidak berkembang sesuai yang diharapkan maka mungkin akan terjebak kepada kondisi macet/frustasi/mentok karena tidak menemukan guru yang mengajarkan pengetahuan yang lebih tinggi yang diharapkannya atau tidak menemukan pengetahuan spiritual yang lebih tinggi.
Disini yang bersangkutan harus sadar bahwa belajar spiritualisme adalah kewajiban pribadi dimana harus dikembangkan kemauan dan pengembangan kompetensi secara mandiri.

Level III - Level IV: Pada level ini seseorang sudah cukup mapan baik kemauan maupun kemampuan spiritualismenya, tetapi yang bersangkutan mungkin terjebak kepada kecenderungan jenis spiritual yang salah yaitu kecenderungan kepada kekuatan (spiritual power).
Ada dua jenis basis spiritualisme yaitu yang berbasiskan kesaktian (spiritual power) dan berbasiskan kemurnian (spiritual level). Pada spiritualisme berbasis spiritual power maka sang penekun tertarik kepada hal ajaib seperti kekuatan-kekuatan gaib sehingga semakin tinggi spiritualismenya akan semakin tinggi kesaktiannya (power) dan juga egonya. Pada spiritualisme yang berbasis kemurnian (spiritual level) semakin tinggi levelnya maka semakin murni dalam rangka penyatuan dengan Illahi dan semakin rendah ego pribadinya.
Disini manusia harus sadar bahwa spiritualisme sebenarnya tidak hanya menyangkut duniawi tetapi juga karma sesudah kehidupan, bahwa 'no free lunch' (ganjaran timbal balik) untuk kekuatan spiritual yang pernah digunakan. Dan disini manusia harus mulai menemukan karma dan takdirnya pada kehidupan ini.

Merubah-diri ataukah Merubah Citra-diri?

Kendati Andalah yang membentuk citra-diri Anda sendiri, namun tidaklah mudah bagi Anda untuk merubah citra-diri Anda —yang terlanjur terbentuk— di mata siapapun. Seperti juga Anda, orang membentuk citranya sendiri tentang seseorang di matanya. Disamping kesan pertama sangat berpengaruh terhadap anggapannya tentang Anda selanjutnya, kesan pertama juga ternyata tidak mudah untuk dirubah. Bahkan sekali kesan itu terbentuk, maka hanya itulah yang dipegangnya, kendati Anda atau yang lainnya telah berkali-kali mengalami perubahan.

Ungkapan seorang teman seperti: “Aduh saya sampai pangling......sudah lebih dari 15 tahun kita tak bertemu.”, menyatakan bahwa Anda yang selama ini tersimpan di benaknya adalah Anda yang 15 tahun lalu. Dan manakala ia bertemu Anda lagi kini, maka ia sesungguhnya tidak siap melepas kesan usangnya itu, serta masih saja cenderung untuk menganggap atau menyangka atau bahkan berharap Anda masih seperti dulu.

Nah.....itu baru Anda kini secara fisikal, namun sudah sedemikian membuat pangling; apalagi Anda kini secara mental. Tapi demikianlah kita. Kita sebetulnya sulit dan tidak sepenuhnya siap menerima perubahan terjadi pada diri seseorang, tidak siap menerima apa adanya ia kini, dan sebaliknya lebih suka tetap memandangnya sama seperti dulu. Ini menyiratkan apa sebetulnya?

Ini sebetulnya menyiratkan keengganan kita untuk berubah, apalagi menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Mungkin selama ini Anda menyangka kalau Anda siap merubah diri, memperbaiki diri, akan tetapi ada sebentuk “dorongan sebaliknya” di dalam diri Anda sendiri yang tidak sepenuhnya siap dan bersedia menerima perubahan itu.

Akan tetapi apa peduli Anda terhadap citra yang dibentuk orang lain tentang diri Anda, sejauh Anda sendiri memang telah berubah? Kalau yang Anda inginkan adalah perubahan pada diri Anda sendiri, maka Anda seharusnya hanya memfokuskan segenap perhatian Anda pada upaya-upaya terkait dan bukannya malah merepotkan citra yang yang dibentuk orang Bukan?

Anda adalah Anda, betapapun sangkaan atau kata orang tentang Anda. Ada perbedaan yang teramat jelas disini antara merubah-diri dengan merubah citra-diri di mata orang. Yang manakah yang sesungguhnya Anda inginkan?

Merubah sebentuk kebiasaan yang terlanjur dibiasakan belasan, bahkan puluhan tahun lamanya, sungguh tidak mudah. Jelas bukan pekerjaan yang bisa Anda selesaikan hanya dengan dua atau tiga hari bermeditasi. Jadi, kalau Anda memang benar-benar berhasrat kuat untuk berubah, yang pertama kali harus Anda bongkar adalah “dorongan sebaliknya” ini, yang terlanjur terpendam di bawah-sadar Anda itu. Anda diharuskan menyelam cukup dalam guna menemukannya.

“ Ketidak-dewasaan hanya terletak dalam ketidak-pahaman total akan si aku. Mengerti diri Anda sendiri adalah awal dari kebijaksanaan.” ( J. Krishnamurti )