Mengkondisikan ‘suasana hati’?



Cahaya ini bukan untuk dinyalakan oleh orang lain ...
Tak seorangpun di dunia dan di sorga
yang bisa menyalakan itu,
selain Anda sendiri,
dalam pemahaman dan meditasi Anda sendiri.  ( J. Krishnamurti )

Bisa dirasakan langsung kalau kontak-kontak indriawi dengan lingkungan, dengan objek-objek indriawi itu sendiri, berpengaruh lasung terhadap emosi perasaan, terhadap bentuk-bentuk perasaan yang mendominasi isi benak ini, terhadap suasana-mental secara keseluruhan bukan? Secara naluriah, kita menyukai suasana lingkungan yang memanjakan fisik maupun mental kita. Naluri atau insting ini erat sekali kaitannya suasana-mental, terutama emosi. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa ‘emosi adalah reaksi dari jasad fisikal ini kepada tataran mental ini’.

Namun tidak demikian halnya dengan rasio. Rasio memang bisa bereaksi terhadap apa yang dialami oleh tataran fisikal ini, namun tidak selalu demikian; ia juga bisa sekedar merespons tanpa bereaksi sehingga tidak menghasilkan penyikapan atau tindakan instingtif. Kalau emosi punya pola tindakannya sendiri, rasiopun demikian. Rasio bisa berkata, ‘Tak perlu hiraukan gonggongan anjing itu, ia tak akan menggigit.’, walaupun emosi cenderung menggerakkan kaki ini untuk lari saja.

Yang cenderung emosional, cenderung memenangkan impuls-impuls emosinya dan bertindak instingtif. Dan ini, juga biasanya otomatis saja. Tanpa sepenuhnya disadarinya. Di tataran mental yang dominasi gelora emosi, pertimbangan, nalar atau akal-sehat tak mendapat kesempatan untuk ikut berkiprah, sehingga ia seakan-akan tak ada sama-sekali. Dan konyolnya adalah, tak sedikit orang yang menyangka kalau bertindak dalam dan digerakkan oleh kondisi mental serupa itu sebagai —apa yang mereka sebut sebagai— ‘mengikuti suara hati’.

Impuls-impuls emosi dan rasa sentimental atau bentuk-bentuk perasaan memang seringkali dikelirukan oleh banyak orang sebagai ‘suara hati’ atau ‘kata hati’. “Mood” misalnya, yang adalah ‘suasana mental’ —yang dipengaruhi secara kuat oleh kerja emosi atau perasaan— bahkan oleh sebuah kamus Inggris – Indonesia yang banyak digunakan orang diterjemahkan sebagai ‘suasana hati’.

Memang benar, bisa dirasakan langsung, kalau memang ada ‘suasana mental’ yang kondusif bagi kejernihan, yang memungkinkan —bukan saja nalar, tapi bahkan— intuisi bekerja. Namun ‘suasana mental’ seperti ini tidak semata-mata terbentuk oleh pengkondisi-pengkondisi eksternal —seperti suasana lingkungan sekitar, kontak-kontak indriawi maupun yang lainnya, namun kondisi internalnya sendirilah yang justru besar kontribusinya. Oleh karenanya, mengkondisikan ‘suasana hati’ —kalaupun ia memang bisa dikondisikan— lebih merupakan tindakan diam, mengkondisikan suasana internal. Dan, inilah sebentuk laku meditasi.