Membuat Duplikat dan Merumahkan Tuhan


Suatu ketika sekelompok orang melihat Tuhan sedang sibuk dengan pekerjaan-Nya. Salah seorang diantaranya bertanya kepada Tuhan, “Apa yang sedang Engkau lakukan?”

“Aku sedang membuat duplikat diriKu, seorang manusia,” jawab Tuhan, yang kemudian balik bertanya, “Apa yang sedang kalian lakukan disini?”

Orang itu menjawab, “Ooo... kami sedang membentuk Tuhan ke dalam rupa kami.”

***

Itulah tragedi sepanjang masa. Kita begitu mudah menjadi ‘tidak serupa Allah’ dan mulai mendekonstruksi Tuhan ke dalam rupa manusia. Milyaran uang dipakai untuk mengkonstruksi bangunan-bangunan megah untuk merumahkan Tuhan, yang dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang tak beriman. Tempat-tempat ibadah kita telah menjadi pusat-pusat pelestarian perilaku yang mana kefanatikan dan idolatry (mengagungkan seseorang atau kitab tertentu sebagai satu-satunya sumber dan jalan kebenaran), kecanduan, dan nafsu (amarah, curiga, iri, benci, menghakimi, dll.)

Dan ironisnya hal-hal itu diterima atau dianggap wajar. Kita lupa bahwa Tuhan ada dimana-mana (omnipresent). Dia berada di dalam kita semua dan tempat yang paling disukai adalah hati yang baik-hati, tulus dan welas-asih.

Manusia berevolusi oleh alam sebagai spesies yang memiliki pikiran sendiri untuk memilih jalan-hidupnya, untuk menjadi serupa atau tidak serupa dengan Allah. Namun kita telah mengerdilkan Tuhan.

Kekuatan mental yang seyogyanya adalah anugerah, terbukti menjadi kutukan terbesar yang menggerogoti Tuhan sendiri. Tuhan menginginkan kita untuk menjalani kehidupan yang lepas dari ikatan-ikatan. Namun kita justru telah melepaskan diri kita dari Tuhan. Melakukan kebaikan adalah menjadi seperti Tuhan. Tetapi kita telah menjadi tidak serupa Tuhan dengan begitu banyaknya pilihan-pilihan keliru yang telah kita perbuat.

Kita harus berhenti dan merenung: Sedang kemana kita berjalan?
Kita menjarah bumi bagi kebutuhan-kebutuhan kita yang tak pernah dapat terpuaskan dan menghancurkan jiwa kita demi ego, harga-diri dan kebanggaan.

Untuk mencapai Tuhan, kita harus berprilaku seperti Tuhan. Kita harus selalu mencoba berbuat baik dan melakukannya terus-menerus tanpa membuang waktu sedikitpun.

Agama, Pilihan ataukah Warisan?



Agama harus menyusupi setiap tindakan kita.
‘Agama’ yang dimaksud disini tidak berarti sektarianisme.
Ini berarti kepercayaan terhadap bekerjanya sebentuk
pemerintahan moral universal
yang daya-aturnya melingkupi seluruh semesta.
Hal ini tidak jadi kurang nyata,
hanya karena ia tak terlihat.
Agama ini melampaui Hindu, Islam, Kristen, dll.
Dan ini juga tidak menggantikan mereka;
namun menyelaraskan dan memberi mereka realitas.

~ Mahatma Gandhi.

Setelah untuk pertama kalinya mendengar atau mengenal sesuatu, setelah menilai atau mempertimbangkannya sesuai dengan selera dan kemampuan kita saat itu, ada dua kemungkinan: langsung menerimanya, atau langsung menolaknya. Itulah yang umumnya kita lakukan.

Padahal, kitapun tahu kalau kemampuan kita di dalam menilai dan mempertimbangkan tidaklah tetap seumur-hidup. Artinya, sesuatu yang tadinya kita terima, bisa saja kita tolak pada suatu waktu tertentu; atau sebaliknya, yang tadinya kita tolak, malah baru belakangan kita lihat kebaikan dan kecocokannya dengan diri kita, sehingga kita rasa layak untuk diterima.

Kalau sesuatu tadi berupa barang, suatu metode, atau bahkan seorang calon pasangan-hidup yang tadinya ditolak, sepanjang ia masih tersedia (available), kita masih mungkin menerimanya kembali. Namun bila itu adalah sebuah ajaran, atau katakanlah, sebuah agama, kendati ia sendiri masih selalu tersedia buat kita, boleh jadi kitalah yang justru tidak siap untuk menyebrang, untuk berganti anutan. Setidak-tidaknya, kita akan menerima reaksi keras dari komunitas sosial-relijius asal kita yang tak rela melepaskan dan membiarkan kita menyebrang begitu saja. Komunitas yang baru itupun belum tentu menerima kita secara benar-benar terbuka, karena masih menyangsikan kesetiaan kita. “Siapa yang menjamin kalau ia tidak akan menyebrang lagi ke yang lainnya dan mengkhianati kita?”, mungkin saja mereka berpikir demikian. Kita mau-tak-mau menjadi terlibat di dalam kepelikan dilema sosial-psikologis yang tidak perlu, sejauh dasar keterlibatan kita dalam komunitas itu adalah ajaran, adalah agama, dan bukan masalah sosial-organisatorisnya.

Makanya, di kalangan masyarakat relijius seperti Indonesia ini, tidaklah sedemikian mudahnya seorang berganti-ganti agama atau keyakinan, layaknya orang berganti-ganti pakaian atau mobil. Mungkin masih jauh lebih mudah berganti-ganti pasangan-hidup, yang memang diijinkan oleh sementara institusi agama.

Tetapi persoalannya adalah, umat beragama di Indonesia memeluk dan menganut agama tertentu lantaran terlahir dari orangtua yang memeluk dan menganut agama itu. Jadi itu sejenis warisan. Berbeda dengan masyarakat di negara-negara sekuler, seperti Amerika Serikat misalnya. Agama yang sebagian besar dari kita anut sekarang ini adalah ‘barang’ warisan dari orangtua kita, atau bahkan leluhur kita. Sebagai akibatnya, bagi kebanyakan kita, masalah beragama bukanlah masalah memilih dan menetapkan suatu pilihan, melainkan lebih pada menerima sesuatu untuk diwarisi, terlepas dari apakah yang diwarisi itu diterima atau ditolak oleh pewarisnya. Sehingga, bagi kebanyakan dari kita, secara konkrit, tidak ada persoalan menerima atau menolak suatu ajaran atau agama tertentu.

Memeluk dan menganut suatu agama tertentu sebagai warisan dengan sebagai pilihan, tentu berbeda di dalam penyikapannya. Ketertarikan untuk lebih mendalami ajaran agama yang diwarisi umumnya lebih kecil, walaupun seseorang begitu kuat keyakinannya terhadapnya. Artinya, agama disini lebih terposisikan sebagai budaya-hidup, atau bahkan adat-kebiasaan yang tak perlu dikritisi lagi.

Akibatnya sudah dapat dipastikan, pemahaman dari para pemeluk atau penganut ‘agama warisan’ terhadapnya menjadi sangat terbatas. Buruknya lagi adalah, selain sangat terbatas dalam cakupannya, itupun hanya sebatas kulit-luarnya saja, hanya sebatas permukaan yang kasat-indria saja. Kerangka-dasar ajaran —apalagi dasar-dasar filosofisnya— menjadi sesuatu yang ada di luar jangkauan. Tak jarang kalau mereka bahkan tak-faham betul akan apa yang selama ini mereka lakukan, yang hanya mereka ‘sangka’ sebagai kegiatan relijius hanya lantaran banyak orang yang melakukannya. Sangat boleh jadi kalau yang selama ini mereka sangka sebagai kegiatan relijius sesungguhnya hanyalah adat-kebiasaan saja.

Bila demikian kejadiannya, persoalan faktual mereka sesungguhnya adalah: bagaimana menjadikan apa yang diwarisi juga sebagai pilihannya. Dan, seperti yang telah kita singgung di awal tulisan ini, masalah memilih bukan saja masalah kemampuan menilai dan mempertimbangkan—yang bisa saja diperoleh dari pembelajaran secara sekuler dan pengalaman-pengalaman terkait dengan itu, namun ia juga masalah selera. Apa artinya ini?

Ini berarti, bagi yang berkepentingan, hanya memberikan pengajaran-pengajaran dengan maksud untuk memperdalam pemahaman sehingga keyakinan yang sudah ada menjadi lebih kokoh, belumlah mencukupi. Masih diperlukan pengemasan-pengemasan baru —sedemikian rupa— disana-sini, agar bisa seluas-luasnya menyentuh selera mereka. Ini, tentu bukan merupakan suatu tugas sederhana yang mudah. Para pengemasnya dituntut punya kepekaan yang cukup terhadap trend selera yang sedang berkembang, disamping punya kreativitas serta seporsi keluwesan dan kepiawaian di dalam menseleksi dan memodifikasi model-model kemasan baru secara inovatif. Ini benar-benar butuh sejenis think-tank team yang juga bertindak selaku task-force. Team ini, nantinya bukan saja akan meningkatkan sraddha dan bhakti dari para penganut yang telah ada, tapi juga bertindak sebagai sejenis missionaris guna menyebarluaskan ajaran dan merekrut para peminat dan penganut baru. Ia akan berfungsi ganda—melakukan preservasi dan juga invasi.

Semoga ini ada manfaatnya.
Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.
Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu setiap insan.