‘Agama’ harus menyusupi setiap tindakan kita.
‘Agama’ yang dimaksud disini tidak berarti
sektarianisme.
Ini berarti kepercayaan terhadap bekerjanya sebentuk
pemerintahan moral universal
yang daya-aturnya melingkupi seluruh semesta.
Hal ini tidak jadi kurang
nyata,
hanya karena
ia tak
terlihat.
‘Agama’
ini melampaui
Hindu, Islam, Kristen, dll.
Dan ini
juga tidak
menggantikan mereka;
namun menyelaraskan dan memberi mereka realitas.
~ Mahatma
Gandhi.
Setelah
untuk pertama kalinya mendengar atau mengenal sesuatu, setelah menilai atau
mempertimbangkannya sesuai dengan selera
dan kemampuan kita saat itu, ada dua
kemungkinan: langsung menerimanya, atau langsung menolaknya. Itulah yang
umumnya kita lakukan.
Padahal,
kitapun tahu kalau kemampuan kita di dalam menilai dan mempertimbangkan
tidaklah tetap seumur-hidup. Artinya, sesuatu yang tadinya kita terima, bisa
saja kita tolak pada suatu waktu tertentu; atau sebaliknya, yang tadinya kita
tolak, malah baru belakangan kita lihat kebaikan dan kecocokannya dengan diri
kita, sehingga kita rasa layak untuk diterima.
Kalau
sesuatu tadi berupa barang, suatu metode, atau bahkan seorang calon
pasangan-hidup yang tadinya ditolak, sepanjang ia masih tersedia (available), kita masih mungkin
menerimanya kembali. Namun bila itu adalah sebuah ajaran, atau katakanlah,
sebuah agama, kendati ia sendiri masih selalu tersedia buat kita, boleh jadi
kitalah yang justru tidak siap untuk menyebrang, untuk berganti anutan.
Setidak-tidaknya, kita akan menerima reaksi keras dari komunitas sosial-relijius
asal kita yang tak rela melepaskan dan membiarkan kita menyebrang begitu saja.
Komunitas yang baru itupun belum tentu menerima kita secara benar-benar
terbuka, karena masih menyangsikan kesetiaan kita. “Siapa yang menjamin kalau
ia tidak akan menyebrang lagi ke yang lainnya dan mengkhianati kita?”, mungkin saja
mereka berpikir demikian. Kita mau-tak-mau menjadi terlibat di dalam kepelikan
dilema sosial-psikologis yang tidak perlu, sejauh dasar keterlibatan kita dalam
komunitas itu adalah ajaran, adalah agama, dan bukan masalah
sosial-organisatorisnya.
Makanya,
di kalangan masyarakat relijius seperti Indonesia ini, tidaklah sedemikian
mudahnya seorang berganti-ganti agama atau keyakinan, layaknya orang
berganti-ganti pakaian atau mobil. Mungkin masih jauh lebih mudah
berganti-ganti pasangan-hidup, yang memang diijinkan oleh sementara institusi
agama.
Tetapi
persoalannya adalah, umat beragama di Indonesia memeluk dan menganut agama
tertentu lantaran terlahir dari orangtua yang memeluk dan menganut agama itu.
Jadi itu sejenis warisan. Berbeda
dengan masyarakat di negara-negara sekuler, seperti Amerika Serikat misalnya.
Agama yang sebagian besar dari kita anut sekarang ini adalah ‘barang’ warisan
dari orangtua kita, atau bahkan leluhur kita. Sebagai akibatnya, bagi kebanyakan
kita, masalah beragama bukanlah masalah memilih dan menetapkan suatu pilihan,
melainkan lebih pada menerima sesuatu untuk diwarisi, terlepas dari apakah yang
diwarisi itu diterima atau ditolak oleh pewarisnya. Sehingga, bagi kebanyakan
dari kita, secara konkrit, tidak ada persoalan menerima atau menolak suatu
ajaran atau agama tertentu.
Memeluk
dan menganut suatu agama tertentu sebagai warisan dengan sebagai pilihan, tentu berbeda di dalam
penyikapannya. Ketertarikan untuk lebih mendalami
ajaran agama yang diwarisi umumnya lebih kecil, walaupun seseorang begitu
kuat keyakinannya terhadapnya. Artinya, agama disini lebih terposisikan sebagai
budaya-hidup, atau bahkan
adat-kebiasaan yang tak perlu dikritisi lagi.
Akibatnya
sudah dapat dipastikan, pemahaman dari para pemeluk atau penganut ‘agama warisan’
terhadapnya menjadi sangat terbatas. Buruknya lagi adalah, selain sangat
terbatas dalam cakupannya, itupun hanya sebatas kulit-luarnya saja, hanya
sebatas permukaan yang kasat-indria saja. Kerangka-dasar ajaran —apalagi
dasar-dasar filosofisnya— menjadi sesuatu yang ada di luar jangkauan. Tak
jarang kalau mereka bahkan tak-faham betul akan apa yang selama ini mereka
lakukan, yang hanya mereka ‘sangka’ sebagai kegiatan relijius hanya lantaran
banyak orang yang melakukannya. Sangat boleh jadi kalau yang selama ini mereka
sangka sebagai kegiatan relijius sesungguhnya hanyalah adat-kebiasaan saja.
Bila
demikian kejadiannya, persoalan faktual mereka sesungguhnya adalah: bagaimana menjadikan apa yang diwarisi juga
sebagai pilihannya. Dan, seperti yang telah kita singgung di awal tulisan
ini, masalah memilih bukan saja masalah kemampuan
menilai dan mempertimbangkan—yang bisa saja diperoleh dari pembelajaran
secara sekuler dan pengalaman-pengalaman terkait dengan itu, namun ia juga
masalah selera. Apa artinya ini?
Ini
berarti, bagi yang berkepentingan, hanya memberikan pengajaran-pengajaran
dengan maksud untuk memperdalam pemahaman sehingga keyakinan yang sudah ada
menjadi lebih kokoh, belumlah mencukupi. Masih diperlukan pengemasan-pengemasan
baru —sedemikian rupa— disana-sini, agar bisa seluas-luasnya menyentuh selera mereka. Ini, tentu bukan
merupakan suatu tugas sederhana yang mudah. Para pengemasnya dituntut punya
kepekaan yang cukup terhadap trend selera yang sedang berkembang, disamping
punya kreativitas serta seporsi keluwesan dan kepiawaian di dalam menseleksi
dan memodifikasi model-model kemasan baru secara inovatif. Ini benar-benar
butuh sejenis think-tank team yang
juga bertindak selaku task-force.
Team ini, nantinya bukan saja akan meningkatkan sraddha dan bhakti dari
para penganut yang telah ada, tapi juga bertindak sebagai sejenis missionaris
guna menyebarluaskan ajaran dan merekrut para peminat dan penganut baru. Ia
akan berfungsi ganda—melakukan preservasi dan juga invasi.
Semoga ini ada manfaatnya.
Semoga Cahaya Agung-Nya
senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.
Semoga kedamaian dan
kebahagiaan menghuni kalbu setiap insan.