Kepada siapa sebetulnya kita Mengabdi?




Through accustoming your mind
to this sense of universal altruism,
you develop a feeling of responsibility for others:
the wish to help them actively overcome their problems.   ~  Dalai Lama.



Ketika seseorang telah memutuskan untuk menjadi seorang abdi, maka ia telah menanggalkan semua urusan pribadinya dimana segenap urusan yang dikerjakannya adalah urusan ‘junjungan’-nya. Bagi seorang abdi, ia sendiri tidak ada; ia telah menyerahkan dirinya seutuhnya kepada ‘junjungan’-nya itu. Baginya, yang ada hanyalah ‘junjungan’-nya. Tak ada yang lain. Itulah sesungguhnya makna abdi dan pengabdian itu sendiri. 

Jadi, masalah mengabdi sesunggguhnya adalah masalah panggilan-hidup, sejenis sumpah-batin. Bukan sekedar pilihan profesi, seperti memilih untuk menjadi pegawai negri misalnya, walaupun para pengabdi itu bisa saja orang-orang yang sangat profesional di bidangnya masing-masing dan dengan sepenuh-hati mendedikasikan seluruh hidupnya di bidang itu.
Seorang ilmuwan sejati misalnya, apakah ia tergabung di dalam suatu institusi akademis atau tidak, adalah seorang abdi ilmu pengetahuan. Ia akan dengan mengabdikan seluruh hidupnya kepada dunia ilmu pengetahuan. Kalaupun pengabdiannya itu kemudian menghasilkan sesuatu yang prestisius, sehingga mendapatkan sejenis penghargaan tertentu di bidangnya, itu bukanlah tujuan dari pengabdiannya. Ia mengabdi karena kecintaannya kepada ilmu pengetahuan.

Tampak jelas adanya kecintaan dan dedikasi dalam pengabdian, juga ada rasa keterpanggilan mendalam yang tak bisa ditolak, dan malah akan menimbulkan rasa bersalah kalau panggilan itu tidak dipenuhi; di dalamnya juga ada penyerahan diri seutuhnya —yang tentu disertai dengan ketulusan, ketanpa-pamerihan, altruisme. Singkatnya, rasa pengabdian adalah rasa yang luhur dan mulia. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, setiap orang mengabdi pada ‘sesuatu’, setiap orang punya ‘junjungan’-nya masing-masing. 

Nah ... sekarang mari kita tanyai diri kita masing-masing. Apakah kita berkualitas sebagai seorang pengabdi atau tidak? Apakah kita punya kualitas-kualitas luhur itu atau tidak? Kalau punya, kepada siapa atau apa kita sesungguhnya mengabdikan diri selama ini? Siapa atau apa yang kita jadikan sebagai junjungan? Apakah harta-benda, atau ambisi, kesenangan ataukah kemasyuran —yang berarti pada diri sendiri; ataukah kita mengabdi pada profesi atau keluarga, anak-cucu atau keturunan, atau pada masyarakat, pada bangsa dan negara, pada dunia, pada umat manusia, pada agama atau dharma yang dianut, ataukah kepada para leluhur, kepada para Dewa-dewi, ataukah malah langsung hanya kepada Tuhan? Kepada apa atau siapa kita mengabdi? 

Kita perlu mempertanyakan ini, karena kepada ‘junjungan’ itulah semua pengabdian ini dipersembahkan, juga dipertanggung-jawabkan.