Lapar Spiritual


Lapar spiritual adalah kerinduan untuk akhirnya pulang ke rumah; ia suatu kondisi dimana tubuh-mental ini merindukan kedamaian. Kita semua mengenal frasa “kedamaian batin.” Lapar spiritual adalah kerinduan akan kedamaian batin. Ia sebentuk kerinduan yang terkadang terasa sedemikian intensnya, dimana, seperti kelaparan fisikal, ia benar-benar menyakitkan. Lapar spiritualpun butuh pemeliharaan dan dukungan.

Sementara makanan memuaskan lapar fisikal, lapar spiritual hanya bisa dipuaskan dengan terbenam di dalam momen, berikut segenap persepsi-persepsinya, reaksi-reaksi mentalnya, pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaannya, emosi-emosi, warna-warna, suara-suara, bau-bau, rasa-rasa, dan seterusnya. Makanan spiritual adalah kerja menambal yang mengagumkan apa yang kita sebut dengan momen, apa yang kita sebut dengan dunia. Inilah konteks dari lapar spiritual itu. Ironisnya, mereka yang punya banyak makanan untuk disantap adalah mereka yang paling sering kelaparan secara spiritual. Dalai Lama mencatat ini tatkala beliau membicarakan perjalananya ke beberapa negara industri makmur, dimana orang-orang dikelilingi oleh kemewahan dan kenyamanan, sementara pada saat yang bersamaan, dikepung oleh bentuk-bentuk kegelisahan dan depresi, yang tidak ditemukan dalam masyarakat yang kurang-berkembang.

Dalam “Song of Zazen”-nya Hakuin mengisahkan bayangan seseorang yang sedang berdiri di tengah genangan air tapi menangis kehausan, yang mengetengahkan pedihnya kondisi ini. Dikelilingi oleh makanan duniawi, kita masih tetap saja lapar. Kita adalah “para pengembara tanpa suara yang memimpikan bunga-bunga.” Kita mengira kalau kelaparan spiritual tak ada hubungannya dengan kelaparan fisikal yang dialami oleh seorang tuna-wisma, yang memakan makanan yang berhasil dikaisnya dari tumpukan sampah. Kita membayangkan makanan spiritual sebagai sesuatu yang spesial, terlepas dari kehidupan kita yang biasa, sebagai makanan ajaib dari surga, sebentuk manifestasi luarbiasa, yang melampaui dunia ruang, waktu, dan gerak ini. Kita menyangka ia akan menghancurkan semua yang pernah kita ketahui; kebanyakan dari kita menyangka ia mengijinkan kita menyelam ke dalam sebentuk dunia yang samasekali berbeda dari yang kita hidupi ini. Kita percaya kalau hanya yang sedemikian berpengalaman sajalah yang akan bisa memuaskan kelaparan spiritual kita.

Sebetulnya, alasan kenapa kita masih saja lapar adalah, karena kita menolak untuk makan. Barangkali lebih baik tidak menyebutnya sebagai penolakan, melainkan ketidak-tahuan. Kita tidak tahu kalau makanan spiritual kita ada disini, dalam momen-momen sehari-hari dari kehidupan sehari-hari kita. Mengapa kita tidak mengetahuinya? Tanggapan terbaik terhadapnya adalah mengambil nafas panjang sekali lagi, dan sekali lagi, lalu sekali lagi. Beginilah pertanyaan itu menjawabnya sendiri. Kita tidak mengetahui kalau makanan spiritual kita ada persis disini, karena kita tidak tinggal di dalam momen-momen kita sehari-hari, dan karena kita memegang realitas konseptual, yang hanya merupakan gambaran satu sisi dari gambaran seluruhnya. Kita lupa, kita tak menyadari, kalau setiap konsep, gagasan, dan pemikiran, melarut ke dalam nafas kita.

Memanfaatkan Rasa Iba dan Kebaikan Hati Orang Lain

Merasa bosan hidup bertani di kampungnya, serta mendengar penuturan serta melihat teman-teman sekampungnya yang kelihatan berhasil hidup, Sukijo mencoba mengadu untung ke Metropolitan.

Dengan keterampilan seadanya iapun memulai kariernya sebagai penggali tanah di sebuah proyek pembangunan perumahan. Pekerjaan itu ia tekuni tak kurang dari setahun, sebelum cidera otot pinggang memaksanya untuk beralih profesi. Melihat ketekunannya dalam bekerja, mandornya menyayanginya. Dan karena ia tak bisa lagi menggali tanah, ia ditugaskan sebagai perekrut tenaga penggali tanah di kampungnya. Sejak itulah ia pulang-pergi Jakarta –kampungnya, dan tampak seperti teman-teman pendahulunya yang kelihatan berhasil di mata orang-orang sekampungnya.


Salah seorang teman sekampung yang direkrutnya adalah Karyo. Setelah sekian lama menjadi penggali tanah, ia mulai bosan dengan pekerjaan berat itu. Berlatar belakang keterampilan bertani, iapun mulai mencari lahan kosong yang tak dimanfaatkan di tepian sungai. Ternyata lahan-lahan itu subur di tanami sayur-sayuran. Tak lebih dari enam bulan, ia sudah berkali-kali menjual hasil kebunnya dan mengirimkan jutaan rupiah kepada keluarganya di kampung.


Mengetahui semua itu, Poniran teman sekampungnya yang lain menyusul. Cuma, Poniran ini bukanlah seorang petani yang setekun Sukijo dan Karyo. Di kampungnya ia malah dikenal sebagai pemuda pemalas, bahkan tak jarang kedapatan mabuk-mabukan. Di Jakarta ia sempat menjadi penggali tanah, sebelum ia merasa kewalahan dan memilih membantu Karyo berkebun sayuran. Rupanya, membantu berkebun sayurpun bukanlah pekerjaan mudah baginya. Berkali-kali melihat para pengemis cacat yang berhasil mengumpulkan tak sedikit uang dengan mudah, terpikir olehnya untuk memanfaatkan rasa iba dan kebaikan-hati orang-orang. Iapun berpura-pura cacat, berpakaian kumal, duduk di jembatan-jembatan penyeberangan menengadahkan tangannya.



***


Niat mengeksploitasi rasa iba dan kebaikan-hati orang-orang bisa diwujudkan melalui berbagai cara. Bentuk kelicikan ini berpangkal pada kuatnya rasa iba-diri —yang membuat kita menyayangi diri sendiri melebihi siapapun atau apapun sehingga merasa tak pantas untuk menderita, apalagi untuk berkorban bagi yang lainnya.

Toko dalam Toko Kelontong


Dalam forum Maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar,sering saya bertanya kepada forum:

"Apakah anda punya tetangga?".

Dijawab serentak "Tentu punya"

"Punya istri enggak tetangga Anda?" "Ya, punya doooong"

"Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?" "Secara khusus, tak pernah melihat "

"Jari-jari kakinya lima atau tujuh? " "Tidak pernah memperhatikan"

"Body-nya sexy enggak?" Hadirin tertawa lepas.

Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka: "Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".

Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran. Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.

Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga Berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.

Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati.

Itulah Maiyah.

Wasallam.


(Emha Ainun Nadjib)

 

Selamat Tinggal Kemurnian dan Kesederhanaan!


Hidup sesungguhnya sederhana, bahkan sangat sederhana. Ia apa adanya. Kitalah, pikiran kitalah, ketakutan kita, kekhawatiran kita, kecemasan kita, khayalan kita, angan-angan kita, ingatan kita, kenangan kita, beraneka keinginan dan kemelekatan kitalah yang menjadikannya rumit, bahkan cenderung menyusahkan. Hidup tak perlu disederhanakan lagi; ia sudah sederhana dalam kemurniannya.

Anak-anak yang belum mulai tanggal gigi-susunya, adalah makhluk-makhluk sederhana yang merupakan contoh-contoh yang sangat mudah dilihat dimanapun kita berada, yang mempertontonkan kepada kita tentang kesederhanaan dan kemurnian hidup ini. Cobalah luangkan sedikit waktu untuk bermain dan berbincang-bincang dengan mereka, Anda akan dapat merasakan vibrasi lain, vibrasi yang terpancar dari kesederhanaan dan kemurnian hidup.

Bersamaan dengan bertambahnya usia, pengalaman, pengetahuan, kontak-kontak indriawi, kehidupan seseorangpun jadi kian tak murni. Pikiran yang tadinya bersih, mulai terisi oleh pemikiran-pemikiran yang sarat dengan motif egoistis, pementingan diri sendiri dan hasrat pemenuhan tuntutan-tuntutan keinginan akan berbagai kenikmatan indriawi. Dan kini .... bagi kita, kehidupan sudah tidak murni lagi, tidak sesederhana dulu lagi. Ia telah jadi rumit, menyulitkan dan menyusahkan.

Hidup sederhana, murni, polos, lugu kini hanya tinggal kenangan buat kita. Bahkan, kita tak lagi mampu mengingat seperti apa itu adanya. Pikiran dan kecerdasan serta ingatan kita terlanjur kita jejali dengan berbagai persoalan, sehingga tak menyisakan lagi ruang bagi kehadiran rasa itu.

Nah...inilah potret kebanyakan dari kita, inilah kita yang mengatakan diri sebagai manusia dewasa, manusia moderen, manusia terdidik, yang notabene manusia yang tak murni lagi. Selamat tinggal Kemurnian dan Kesederhanaan!


Mengapa Meminta Maaf ?



Suatu ketika terjadi ketersinggungan di antara dua orang saudara saya. Yang lebih muda berniat mengingatkan yang lebih tua, dengan ‘caranya’ sendiri, yang membuat yang lebih tua tersinggung. Ketersinggungan saudara tua ini, bukan lantaran ia tidak mau diingatkan oleh seorang saudara yang lebih muda, namun lebih lantaran ‘cara’ dari saudara muda itu.

Belakangan, si saudara muda memang meminta maaf secara verbal, dan secara verbal pula si saudara tua memaafkannya. Akan tetapi tampaknya mereka masih menaruh kekesalan satu-sama-lain. Bahkan, si saudara muda —lagi-lagi dengan ‘caranya’ sendiri— mengekspresikan kekesalannya juga kepada saya, karena ia menganggap saya tidak ‘membela’ niatnya yang ia yakini sebagai baik itu.

Disini tampak jelas kalau betapa baikpun sebuah niat, bila tidak diekspresikan lewat ‘cara-cara’ yang setara baiknya, malah bisa jadi lain, bahkan malah bisa jadi berbalikan dengan apa yang diniatkan itu. Disinilah kesabaran dan kearifan memegang peranan penting. Tidak cukup sekedar niat baik pun sekedar rasionalitas. Di dalam setiap hubungan, peran emosi senantiasa meminta porsinya sendiri, untuk diberi perhatian yang memadai.

Permintaan maaf merupakan ekspresi dari ‘rasa penyesalan’ kita atas akibat buruk yang terjadi atau menimpa seseorang atau sekelompok orang ataupun makhluk hidup lain, yang disebabkan karena kesalahan, kekeliruan, keteledoran yang kita perbuat. Bagi si pelaku, timbulnya ‘rasa penyesalan’ ini merupakan motivator terpentingnya. Tanpa hadirnya ‘rasa penyesalan’, permintaan maaf hanya basa-basi di bibir saja, hanya sebentuk ritual etika saja, tanpa disertai moralitas. Ini tak akan pernah mentransformasikan si peminta maaf, karena bersifat semu.

Pada sisi yang dimintai maaf, permintaan maaf yang tidak tulus, yang tidak benar-benar disertai dengan ‘rasa penyesalan’, akan dirasa ‘lain’. Sehingga, walaupun ia kelihatannya memaafkan, kekesalan tetap saja menghuni hatinya, yang suatu ketika —disengaja atau tidak— akan terekspresi di dalam sikap dan ucapannya.

Jadi, alih-alih menuntaskan persoalan yang ada, permintaan maaf ‘semu’ yang mengundang pemaafan ‘semu’ pula, tetap saja menyisakan kekesalan, bahkan dendam. Makanya, jangankan permintaan maaf yang tidak tulus, yang tidak benar-benar disertai ‘rasa penyesalan’ yang mendalam, permintaan maaf yang tulus sekalipun belum tentu mengundang pemaafan yang tulus pula, kalau si pemberi maaf kurang kadar pemaaf-nya ...apalagi bila ia seorang pendendam. Makanya, sangat mengena kalau ada yang mengatakan bahwa ‘Transformasi batiniah bisa kita lihat melalui cermin hubungan’, dan ‘Jangan katakan atau lakukan sesuatu yang sesudahnya mengharuskan engkau meminta maaf!’.



Selamat Idul Fitri untuk teman-teman yang merayakannya ...

" Tidak ada ketabahan yang lebih tangguh dari kesabaran, sebagaimana, tiada derita yang lebih buruk dari kebencian."

~~ Dalai Lama XIV ~~

Memilih Kedunguan dan menendang keras Kearifan


Semakin jauh kemajuan evolusi spiritual umat manusia,

semakin pasti bagi saya bahwa:

jalan menuju relijiusitas sejati tak semata-mata terletak pada ketakutan pada

kehidupan, ketakutan terhadap kematian, keyakinan yang membuta;

namun suatu perjuangan mengikuti kaidah-kaidah pengetahuan rasional.

~ Albert Einstein ~


Tubuh ini milik alam, milik dan merupakan bagian dari semesta alam material. Oleh karenanya ia mesti tunduk pada hukum dan kaidah-kaidah semesta material. Itulah salahsatu sifat-dasarnya yang paling alamiah. Menginginkannya lain dari itu, mengharapkannya melakukan penyimpangan sih boleh-boleh saja ... Asal seseorang siap menanggung konsekuensinya; setidak-tidaknya berupa kekecewaan. Cuma, tidaklah arif untuk sengaja mengundang kekecewaan bukan?

Kita tahu kalau, walau secara garis-besar sama, sangat mirip satu dengan yang lainnya, tubuh setiap orang punya karakteristik spesifiknya sendiri, punya keunikannya sendiri. Jadi tak bisa digeneralisasi atau dipukul-rata. Kita tahu itu. Itu sangat realistis bagi kita. Kalau hanya lantaran sesama milik alam lantas saya berharap alam akan memperlakukan tubuh saya ini bisa awet-muda, penuh vitalitas serti tubuh Anda misalnya, itu berarti saya sengaja mengundang kekecewaan bukan?

Tapi begitulah kebanyakan dari kita. Suka “neko-neko”, tanpa sepenuhnya disadari sengaja mengundang kekecewaan, kekhawatiran, kecemasan, ketakutan yang sebetulnya tidak perlu. Kita tahu kalau ‘sesuatu’ seperti ini, tapi kita malah mengharapkannya seperti itu. Tapi kenapa? Kenapa kita bisa sedungu itu?

Inilah ulah si keinginan. Mungkin muncul kilah di benak kita: tidak bolehkah kita menginginkan yang baik, yang ideal?

Seperti dikatakan tadi, ‘itu sih boleh-boleh saja...’ asal kita siap menanggung konsekuensinya. “Konsekuensinya” inilah yang umumnya tidak kita perhitungkan ketika menginginkan sesuatu. Kita sudah sedemikian terbiusnya oleh keinginan itu sehingga kita tak segan-segan lagi menyingkirkan jauh-jauh akal-sehat. Dan bila memang yang seperti itu kita lakukan —yang kita sebut sebagai ‘pilihan kita’— maka tak ubahnya kita memilih kedunguan dan menendang keras kearifan.


Itu Fitnah !!!


Kurang-lebih tiga-belas abad setelah seorang Nabi mangkat dan naik ke sorga, beliau dipanggil oleh Tuhan.

“Aku menerima berita kalau kamu telah menulis kitab suci yang berisikan ayat-ayat ajaran, seperti apa yang Ku ajarkan kepadamu itu. Benarkah itu?”

“Ampun Tuhanku .... Semua itu fitnah belaka.”

“Fitnah? Mereka malah mengatakan kalau kamulah yang menyebarkan ajaran dan mendirikan agama baru yang kini banyak sekali pengikutnya di dunia; bahkan banyak pengikutmu itu jadi pengacau dunia. Yang lebih tak bisa diterima lagi adalah,” sambung-Nya, “ketika mereka melakukan aksi terornya, mereka terus meneriakkan Kebesaran Nama-Ku. Bagaimana ini?”

“Ini pasti ulah para sahabat hamba dan murid-muridnya Paduka. Bukankah Paduka sendiri tahu kalau hamba buta huruf?”

Kitab Suci yang Sesungguhnya


Belakangan ini, kata ‘pencerahan’ dan ‘kecerahan’ telah sedemikian terkontaminasinya, sudah jauh bergeser dari yang dimaksudkan. Seringkali kedua kata itu hanya digunakan sebagai pengganti —atau secara serampangan dipersamakan begitu saja dengan— istilah ‘penjelasan’ atau ‘keterangan’ deskriptif yang —baik dipaparkan maupun diterima— hanya memalui intelek semata.

Alhasil, kedua kata itu kini lebih bersifat atributif, lebih merupakan asesoris ketimbang kata yang bermakna dalam. Dalam kasus seperti inilah sebetulnya dalil: “Kata bukanlah halnya”, berlaku dengan tepat. Kendati kata memang bukan barangnya, bukan hal yang dikatakan, kata tetap membawa maknanya sendiri, mewakili maksud atau substansi —bahkan esensi— dari yang hendak disampaikan oleh yang mengatakannya. Seseorang —kecuali ia telah gila, sedang mabuk berat atau sedang ngelindur— akan selalu punya maksud yang hendak disampaikannya lewat yang dikatakannya. Perkara apakah kita bisa menangkap maksudnya atau tidak, itu urusan kita; bukan urusan yang mengatakan atau si pembicara bukan?

Memahami fakta-fakta terkait, pencerahan yang diberikan oleh siapapun, bahkan oleh Buddha sekalipun, belum tentu menghadirkan kecerahan bagi seseorang. Jangankan sekedar melalui membaca kitab-kitab —yang notabene hanyalah benda-mati, betapa disakralkanpun mereka oleh seberapa banyak orangpun— menerima pemaparan langsung dari Sang Buddha sekalipun belum tentu menghadirkan kecerahan. Hanya bila Anda mampu membaca ‘kitab hati’ Anda —yang tanpa huruf dan tanpa kata juga tanpa suara itu— Anda mungkin tercerahi. ‘Kitab hati’ Anda itulah kitab suci Anda yang sesungguhnya, yang berpotensi mencerahi Anda. Temukan dan bacalah dia !!!

Sekilas Proses Realisasi-Diri


Penegasan-diri mutlak perlu didasari dengan pemahaman-diri. Penegasan-diri tanpa didasari oleh pemahaman-diri yang memadai hanyalah khayalan; bukan cita-cita. Pemahaman-diri inilah yang akan memberikan identifikasi-diri yang lebih mendekati kesujatian, untuk ditegaskan kembali. Walaupun pemahaman-diri masih bersifat intelektual, identifikasi-diri mendekatkannya pada rasa. Melalui identifikasi-diri, sesuatu yang masih ada di tataran intelek ditransformasikan sedemikian rupa ke dalam rasa. Penegasan-diri memberi kekuatan tambahan yang halus kepadanya untuk benar-benar menjadikannya rasa. Rasa mana kita sebut dengan rasa-jati, yang merupakan esensi dan tujuan dari proses Realisasi-Diri-Jati.

Secara skhematis proses ini dapat kita gambarkan:

Pemahaman-diri ——Identifikasi-diri —— Penegasan-diri —— Realisasi-Diri.

Semua tahapan proses ini berlangsung di dalam. Untuk memahami diri sendiri, kita boleh saja memperoleh bantuan buku-buku atau petunjuk-petunjuk dari luar, namun semua itu barulah bahan mentah yang masih harus dicari ‘yang mana’ yang dimaksudkannya di dalam diri, bagaimana bekerjanya, bagaimana hierarkinya dan bagaimana hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Semua ini harus jelas dulu secara intelektual. Hanya bila ia telah jelas secara intelek sajalah kita bisa melanjutkannya ke tahap identifikasi-diri. Idealnya, sekali identifikasi-diri ditetapkan, tidak boleh lagi ada perubahan terhadapnya. Sebab bila ia masih berubah-ubah, secara praktis, penegasan-diri belum bisa dilaksanakan.

Secara sederhana, hanya ada dua kemungkinan ekstrim di dalam identifikasi-diri ini. Yang pertama adalah, mengidentifikasikan-diri pada ‘raga’ ini, yang menimbulkan penegasan bahwasanya kita ini tiada lain dari “raga yang berjiwa”. Yang kedua adalah identifikasi-diri pada ‘jiwa’ ini, yang diikuti dengan penegasan bahwasanya kita ini tiada lain dari “jiwa yang berraga”. Sudah barang tentu, sebelum penegasan ini dilakukan, secara intelek, kita sudah paham benar akan apa yang disebut dengan ‘jiwa’ dan apa itu ‘raga’. Sebelum pemahaman yang jelas tentang ini diperoleh, identifikasi bentuk apapun belum bisa dilakukan; apalagi penegasan.

Di dalam identifikasi-diri, pemahaman yang diperoleh sudah tidak sekedar pemahaman intelektual saja. Kita sudah mulai bisa merasakan kalau kita sesungguhnya adalah “jiwa yang berraga” misalnya. Rasa inilah yang kian dikuatkan di dalam penegasan-diri, melalui praktek spiritual. Ia bisa dikatakan sebagai auto-sugesti secara spiritual. Praktek spiritual sederhana yang terbukti mengantarkan banyak penekun pada keberhasilan adalah japa. Di dalam ber-japa atau merafalkan mantra pendek inilah kita menegaskan-diri sebagai ‘ini’ atau ‘itu’.

Disini kita perlu sangat berhati-hati. Salah memilih japa dan terburu-buru menegaskan-diri sebagai ‘ini’ atau ‘itu’, bisa berarti fatal. Oleh karenanya, japa umumnya diberikan oleh Guru—beliau yang telah Merealisasikan-Diri. Sebetulnya, sejak tahap mencari pemahaman-diri, peran seorang Guru sudah sangat menentukan. Terjadinya kesalahan pada fase awal ini, akibat tak hadirnya seorang Guru yang berkompeten, tentu saja berakibat salahnya fase-fase selanjutnya. Dan kesalahan pada fase ini berarti kesesatan.

Ada sebuah kisah alegoris di dalam Chandogya Upanishad yang sangat mengena. Kisahnya begini:

Tersebutlah Hyang Prajapati —Bapa dari segenap makhluk hidup—sedang ditemui oleh dua orang siswa spiritual. Masing-masing merupakan wakil dari kelompok yang dipimpinnya. Indra—yang adalah pemimpin para dewa—mewakili para dewa; dan Vairochana—pemimpin para asura atau raksasa—mewakili para asura.

Setelah ditanyai apa tujuan mereka menghadap, mereka sama-sama mengemukakan: “Kami datang menghadap untuk memperoleh pengetahuan tentang Atman, Sang Diri-Jati, dari-Mu, oh....Guru Maha Agung...”.

Mendengar permintaan kedua orang siswa ini Hyang Prajapati meminta mereka tinggal bersama-Nya selama 32 tahun, mempraktekkan disiplin keras sebagai Brahmacarin.

Setelah masa itu berlalu, Hyang Prajapati memanggil keduanya dan bersabda: “Pribadi yang kelihatan oleh pelupuk mata kalian adalah Atman atau Diri-Jati. Ia bersifat abadi dan pemberani; Ia tidak pernah takut. Ia jualah Brahman. Beliaulah yang teramati ketika kalian bercermin. Nah....sekarang pulanglah. Bercermin dan amatilah. Beritahu Aku apa yang teramati dan apa yang belum kalian mengerti setelah itu”.

Menerima titah Sang Guru, mereka bergegas pulang dan melaksanakan apa yang dititahkan. Keesokan harinya, mereka sudah datang lagi untuk menceritrakan apa yang mereka lihat kepada Guru mereka.

Apa yang telah termati?”, tanya Sang Guru.

Kami melihat dengan jelas sekujur tubuh kami disana Guru”, jawab mereka dengan meyakinkan.

Baiklah,” kata sang Guru, “Selanjutnya, cukurlah jenggot kalian bersih-bersih, kenakan busana dan perhiasan indah-indah, dan bercerminlah. Besok, laporkan hasil amatan kalian kepada-Ku”.

Keesokan harinya mereka berdua telah datang lagi, dan keduanya melaporkan: “Kami menyaksikan diri kami bersih, gagah, dengan busana gemerlapan Guru”, dengan singkat.

Mendengarkan itu, Hyang Prajapati hanya mengangguk dan tersenyum. Merekapun merasa puas dengan itu dan pulang ke rumah masing-masing.

Sambil menatap kepulangan kedua siswanya yang merasa puas itu, Hyang Prajapati berkata dalam hati: “Hanya puas dengan refleksi kasat-indria seperti itu saja, dan tanpa memiliki Pengetahuan Sejati, Pengetahuan tentang sang Diri-Jati, mau-tak-mau mereka akan hancur”.

Merasa puas Vairochana pulang menemui rekan-rekanya dan mengajarkan pengetahuannya kepada mereka. Baginya, itulah yang terakhir, itulah Pengetahuan Sejati. Kepada para asura, ia mengatakan: “Tubuh inilah yang harus dihias dan dilayani. Dengan menghiasnya, kita akan mencapai kedua dunia; dunia ini maupun yang akan datang”.

Oleh karenanya, sampai kini para asura tak memiliki pengetahuan yang benar akan Sang Atman. Mereka selalu terburu nafsu di dalam mempelajari pun untuk menikmati hasilnya. Mereka yakin kalau raga inilah Atman, Sang Diri-Jati. Mereka selalu menghiasi tubuh mereka, bahkan setelah kematian.

Berbeda dengan Indra. Di dalam perjalanan pulang ke Indra Loka, ia merasakan sesuatu yang masih mengganjal. Ia merasa ada kekeliruan dengan apa yang ia simpulkan, dan merasa perlu kembali kepada Gurunya untuk memohon penjelasan. Makanya iapun kembali.

Melihat Indra kembali, Hyang Prajapati bertanya: “Mengapa engkau kembali Indra? Bukankah engkau telah pulang bersama Vairochana?”.

Setelah menyembah Sang Guru selayaknya, iapun mengungkapkan keraguannya dan memohon penjelasan Sang Guru selengkapnya.

Mendengar permohonan siswa yang satu ini, Hyang Prajapati merasa senang, dan bersabda: “Tinggallah disini selama 32 tahun lagi. Setelah itu Aku akan menjelaskannya kepadamu”.

Sampai disini saya akhiri kisah ini. Sampai disini kita bisa melihat perbedaan prilaku berguru antara dewa atau sura dengan asura. Berbeda dengan asura Vairochana, Indra tidak serta-merta merasa puas dan langsung pulang. Dengan sabar dan penuh ketekunan, ia tinggal bersama Sang Guru lebih dari seabad lamanya. Diakhir masa pembelajaran-dirinya, Hyang Prajapati memaparkan: “Oh Indra, engkau telah berhasil meraih pengetahuan tertinggi melalui usahamu yang cerdas, pantang mundur, teguh pada tujuan....”. Sesudah itulah Bapa dari segenap makhluk hidup memaparkan kesujatian kepadanya. Dewa Indra berhasil Merealisasikan Sang Diri-Jati dibawah bimbingan Hyang Prajapati.

Kesungguhan, ketekunan, keteguhan hati, sikap kritis dan tidak terburu nafsu, mengantar siapapun pada tujuan-akhirnya. Realisasi-Diri adalah upaya bertahap. Dan ini berlaku, bahkan bagi para dewa sekalipun.




Jiwaku adalah cita-cita tertinggi yang dapat ‘ku miliki.

Mewujudkan sifat sejatiku sendiri adalah satu-satunya tujuan hidupku.

~ Sri Swami Vivekananda ~

Terorisme, Masjid, dan Budaya Jawa


Mata Densus 88 rupanya sangat tajam dalam memantau gerak-gerik terorisme dan para pelakunya di Indonesia. Dalam satu bulan terakhir saja, Densus 88 menangkap puluhan teroris dan menembak mati beberapa di antara mereka. Dari berbagai peristiwa penangkapan teroris dan tembak-menembak pasukan Densus 88 dengan para teroris, kita tersadar bahwa terorisme di Indonesia ternyata terus tumbuh dan berkembang.

Kematian tiga gembong teroris --Azahari, Noor Din Mohd. Top, dan Dulmatin-- ternyata belum melumpuhkan gerak dan aktivitas mereka. Mereka tampaknya terus melakukan konsolidasi sambil merekrut anggota baru dan memikirkan pola-pola serangan alternatif agar tidak mudah diendus aparat keamanan. Tapi aparat keamanan pun tidak kalah sigap, sehingga Densus 88 mampu mengendus para teroris di mana pun mereka berada.

Dalam penangkapan para teroris di Jakarta dan Krawang, Mei ini --sebelumnya di Temanggung, Malang, dan Solo-- ternyata masjid dan langgar masih menjadi ''tempat aktivitas dan persembunyian'' mereka. Mereka mengadakan pengajian di masjid dan berusaha menarik minat masyarakat agar bergabung dengan para teroris. Tapi, untunglah, masyarakat jarang yang tertarik pada pengajian ''keras'' yang disampaikan guru-guru teroris itu.

Salah seorang yang sering diidentifikasi polisi sebagai guru para teroris adalah Abu Bakar Ba'asyir, seorang mubalig dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Fenomena Ba'asyir ini secara sosiologis menarik, karena dia hidup di lingkungan pusat kebudayaan Jawa yang halus, penuh unggah-ungguh dan tepo seliro.

Lingkungan budaya Jawa yang selalu mengalah, menghindari konflik, justru dipilih Ba'asyir untuk mengembangkan kegiatan-kegiatannya. Meski Ba'asyir dalam berbagai kesempatan menolak tuduhan bahwa dirinya ideolog para teroris, sang ustad sering mengatakan bahwa pihaknya sangat hormat kepada para mujahid yang memilih ''senjata'' untuk menegakkan Islam. Dengan berlindung pada penafsiran ayat-ayat Quran secara sepihak, Ba'asyir juga sering mengemukakan pendapat yang senada dengan wacana terorisme, misalnya dalam hal demokrasi.

Menurut Ba'asyir, tidak ada demokrasi dalam Islam. Karenanya, jika ingin menegakkan syariat Islam, jangan memakai demokrasi. Pendapat ini jelas debatable karena dalam Quran ada istilah ''syura'' (musyawarah), yang oleh sebagian besar ulama Islam dianggap sebagai dasar-dasar demokrasi.

Meski kemudian ada ulama yang menolak pendapat itu, melihat kecenderungan dunia modern yang pro-demokrasi, penolakan Islam terhadapnya hanya menimbulkan marjinalisasi Islam di tengah arus utama dunia. Ini jelas tidak menguntungkan untuk citra Islam, yang ujungnya kurang baik terhadap dakwah Islam.

Masjid di Jawa

Dalam sistem pemerintahan Jawa, masjid, pasar, dan keraton merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Hal ini tercermin pada bangunan Keraton Yogyakarta yang berdampingan dengan Masjid Kauman dan Pasar Beringharjo. Di Keraton Solo, hal seperti itu juga terjadi.

Sejarawan Kuntowijoyo (almarhum) mengemukaan bahwa kesatuan keraton, masjid, dan pasar merupakan simbol menyatunya kerajaan (kekuasaan), agama (spiritualitas), dan pasar (ekonomi). Karena itu, dalam tradisi Jawa, baik di pusat kerajaan maupun di tingkat desa, bangunan masjid mesti menyatu dengan balai desa dan pasar.

Fenomena ini menarik karena ''masjid'' disimbolkan sebagai bagian dari sebuah sistem dalam pemerintahan Jawa. Sayangnya, harmoni keraton, masjid, dan pasar itu ''rusak'' setelah ada pemberontakan PKI pada 1965 (Johns, 198).

Robert R. Jay dalam bukunya, Religion and Politics in Rural Central Java, menunjukkan bukti-bukti menguatnya ortodoksi Islam setelah munculnya pemberontakan PKI. Asumsi Jay ini muncul setelah ia melihat dua masjid di Kelurahan Kebonsari, Jawa Timur. Keberadaan dua masjid ini, tulis Jay, merupakan indikasi cukup jelas mengenai kekuatan ortodoksi dan komunitas.

Di Desa Tegalroso, Magelang, sebelum tahun 1965, hanya ada satu masjid dan tiga langgar. Masjid itu berada di Dusun Playon, sedangkan tiga langgar ada di Dusun Calonan, Petung, dan Gambas. Menurut Mbah Parto, sesepuh Desa Tegalroso, sekitar satu setengah bulan setelah PKI dituduh terlibat dalam pemberontakan September 1965, sebanyak 13 aktivis PKI di Tegalroso digelandang tentara. Karena takut dituduh sebagai simpatisan PKI, mereka yang tak pernah menunaikan salat kemudian rajin melaksanakan salat di masjid dan langgar.

Orang-orang desa pun mulai belajar membaca Quran. Orang-orang yang dianggap paham agama dan fasih bacaan Qurannya diminta menjadi guru mengaji. Warga desa tidak hanya diajari salat, melainkan juga diminta ikut pengajian Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo. Dampaknya, bangunan masjid dan langgar pun bertambah, karena orang yang menunaikan salat dan mengaji juga bertambah.

Di Dusun Calonan, yang sebagian warganya adalah orang NU, setelah peristiwa pemberontakan PKI, warga ramai-ramai membangun madrasah ibtidaiyah. Seorang warga desa, Pak Parjan, menginfakkan tanahnya untuk membangun madrasah itu. Menurut Pak Parjan, mengutip pendapat seorang kiai, ''Sebuah masjid bisa diumpamakan gudang beras, sedangkan madrasah digambarkan sebagai sawah. Gudang beras tidak akan berfungsi jika tidak ada beras yang akan disimpan di sana.

Di madrasah, para murid dididik menjadi muslim yang baik. Jika banyak muslim yang baik, banyak pula orang yang mendatangi masjid. Jika satu masjid tidak mencukupi, mereka berusaha membangun masjid atau langgar yang lain.

Apa yang dikatakan Pak Parjan itu ternyata benar. Madrasah dan masjid makin lama makin berkembang. Ketakutan warga desa dicap sebagai pengikut PKI menjadikan mereka mengirimkan anaknya ke madrasah, dan mereka pun rajin menunaikan salat di masjid. Semua ini meningkatkan pengaruh budaya santri.

Salah satu keberhasilan pemberantasan PKI di desa-desa di Jawa adalah berkat kampanye rezim Orde Baru, yang menyatakan bahwa orang-orang PKI tidak bertuhan dan karenanya tidak boleh hidup di negara Pancasila. Atmosfer seperti inilah yang terjadi pasca-pemberontakan PKI, sehingga agama menjadi hal penting bagi setiap penduduk.

Gelombang anti-komunis itu, tulis Clifford Geertz, akhirnya menimbulkan pengertian bahwa barang siapa yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui secara resmi oleh negara akan dicap sebagai ateis (Creating Islamic Tradition, 1991). Inilah yang menimbulkan dilema. Soalnya agama yang diakui resmi oleh rezim Orde Baru hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Agama Konghucu dan Yahudi, misalnya, tidak diakui. Dampaknya: orang-orang yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui resmi oleh rezim itu setiap saat hidupnya terancam karena bisa dicap sebagai PKI.

Dalam perkembangannya, karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, jumlah masjid pun bertambah sangat cepat. Organisasi Islam juga makin banyak. Apalagi, setelah rezim Orde Baru jatuh, perkembangan organisasi Islam seperti cendawan di musim hujan.

Jika sebelumnya di desa-desa di Jawa orang hanya mengenal NU dan Muhammadiyah yang ''adem-ayem'' dan ''harmoni'' dengan lingkungan masyarakat kampung, kini muncul berbagai organisasi Islam yang ''panas'' dan demonstratif. Antara lain Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Jamaah Islamiyah, dan terakhir Ansharut Tauhid. Kondisi ini ternyata menimbulkan berbagai friksi di desa dan disharmoni di kalangan masyarakat Jawa.

Gus Yusuf Chudlori, putra Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo, pernah mengeluh. Pada saat ini, menurut Gus Yus, muncul benih-benih perpecahan di kalangan umat Islam di desa-desa di Jawa akibat masuknya ideologi-ideologi Islam dari Timur Tengah (Kompas 17/09/09). Mereka mendanai pembangunan masjid. Tapi, setelah jadi, masjid itu tidak boleh difungsikan sesuai dengan tradisi Jawa, seperti untuk marhabanan, mauludan, haul, dan peringatan-peringatan tradisonal Islam lainnya.

Mereka mengajarkan Islam yang ''lain'' --bukan Islam yang biasa dipelajari masyarakat tradisional Jawa. Bahkan, lebih jauh lagi, ungkap Gus Yus, organisasi itu tak hanya mempersoalkan akidah Islam tradisional, melainkan juga mempersoalkan kekuasaan dan negara kesatuan Republik Indonesia.

Keberadaan ''masjid lain'' dan ceramah-ceramah ''keras'' itulah yang, boleh jadi, akan menimbulkan persoalan baru di kalangan Islam Jawa. Jika dulu orang Tegalroso membangun masjid secara gotong royong dan menyumbang rupiah demi rupiah, dan setelah berdiri menjadi milik warga desa, pada masa kini masjid tertentu yang "didanai orang-orang lain benar-benar menjadi milik orang lain dan menjalankan agama dengan cara lain''.

Itulah sebabnya, banyak orang kampung kaget tapi tidak heran ketika polisi kemudian menggerebek jamaah masjid seperti itu. Fungsi masjid yang adem dan harmoni, setelah dimasuki ''anasir'' lain, menjadi panas dan disharmoni. Inikah masjid yang menumbuhkan terorisme? Wallahu a'lam bishawab.



Oleh :
M. Bambang Pranowo
Guru besar sosiologi agama UIN, Jakarta

Mengapa harus takut kepada Tuhan?


Di Bali ada pribahasa yang berbunyi “Buka negakin gedebong, merasa teken jitne belusa” Seperti menduduki gedebog pisang, merasa bahwa pantatnya basah. Bagi pelangggar hukum, hukum dan para penegaknya merupakan sosok yang menakutkan. Demikian juga bagi para pendosa, Tuhan malah jadi sosok yang menakutkan. Bila tidak, ungkapan seperti “Saya hanya takut kepada Tuhan” jadi kehilangan relevansinya.

Kita tentu mengerti kalau ungkapan itu juga dimaksudkan bahwa yang bersangkutan tidak takut kepada siapapun, tentunya termasuk hukum dan para penegak hukum dunia. Makanya, mereka tak akan berpikir panjang lagi untuk melanggar hukum yang diberlakukan di dunia, dimana di dalamnya termasuk melakukan teror dan pembantaian massal. Mereka “hanya takut” kepada Tuhan-nya. Bagi mereka satu-satunya hukum yang layak untuk diindahkan hanyalah apa yang mereka nobatkan sebagai “hukum Tuhan”-nya. Bagi mereka, “hukum Tuhan” hanyalah hukum yang sesuai dengan “yang tersurat” di dalam kitab-suci mereka saja. Di luar itu tak perlu diindahkan. Bagi mereka, kitab-sucinyalah yang paling suci dan paling terpercaya. Di benak mereka tak ada kitab-suci dan Tuhan lain “ kalau mereka masih mengakui bahwa Tuhan bukanlah untuk mereka monopoli “ selain Tuhan mereka, yang juga berarti, kecuali apa yang disebutkan di dalanya, semuanya bisa dilanggar.

Terlepas dari semua itu, mengapa mesti takut kepada Tuhan, atau “hokum” Tuhan? Kalau Tuhan adalah Kebenaran Sejati, dimana hukum-Nya pasti sangat adil, mengapa mesti takut? Tidakkah jauh lebih baik dan lebih masuk-akal takut berbuat dosa, takut melanggar hukum-Nya? “ Hukum” tidak sama dengan hukuman atau ganjaran, sanksi, atau sejenisnya, walaupun penegakan hukum umumnya memang disertai oleh yang seperti sebagai konsekuensinya bukan?

Tidak memburu Rasa Bangga dan mengharap Pahala


Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki,

dan itu mungkin tidak akan pernah cukup.

Tetapi, tetaplah berikan yang terbaik.

~ Mother Teresa ~


Mengapa kita kurang menghargai sesuatu yang diperoleh dengan mudah walaupun sebetulnya ia bernilai tinggi, dan sebaliknya sangat menghargai yang diperoleh dengan bersusah-payah, dengan bersimbah keringat dan air-mata, walaupun ia sebetulnya tak begitu bernilai? Adakah karena yang sebetulnya kita hargai bukanlah sesuatu itu, hasil dari usaha kita itu, melainkan usaha kita sendiri di dalam memperolehnya? Lantaran kita menghargai jerih-payah kita sedemikian tingginya, melebihi nilai nominal dari jeri-payah itu sendiri?
Tapi, kenapa demikian? Adakah lantaran romantisme yang menggurat sedemikian dalamnya di hati kita, ketika berupaya-keras memperolehnya, dimana ketika kita merasa berhasil, ia menjadi kebanggaan ego ini?

Kalau memang demikian adanya, dan Andapun dengan jelas melihatnya demikian, maka Anda melihat bagaimana ego selama ini menggerakkan Anda untuk berbuat, bekerja, berusaha. Anda bisa saja tampak mengorbankan banyak hal dalam mencapainya; Anda bisa saja bahkan mengorbankan-diri Anda, namun, semua itu masih ada di wilayah egotisme. Semua itu sama-sekali bukan tindakan altuistis.

Altruisme tidak memburu rasa bangga. Ia bebas dari rasa bangga-diri. Kalaupun terbit rasa bangga daripadanya ... baik, patut disyukuri; kalaupun tidak, tidak apa-apa; toh bukan itu yang dicari. Seikhlas Anda membuang hajat di WC, dimana tanpanya Anda malah merasa tidak-nyaman, merasa mulas, seikhlas itu pulalah Anda melangsungkan setiap tindakan altruistis. Inilah kurban-suci.
Nah ... sekarang coba periksa lagi apa yang selama ini kita anggap sebagai ‘kurban’ itu. Adakah itu kita lakukan demi pahala yang kita harap akan kita petik di alam baka nanti, walaupun di bibir kita terus berkata: ‘Saya ikhlas ... saya ikhlas kok!’?

Mengembalikan Manusia kepada Kemanusiawiannya


Sesuatu yang terjadi atau teralami begitu saja, tanpa diupayakan dengan sengaja agar mengalaminya, betapa terasa remeh-temehpun itu adanya, umumnya mengandung makna atau pesan tertentu buat kita. Saya rasa, setiap orang pernah mengalaminya. Bedanya cuma, ada yang memperhatikannya, ada yang tidak dan mengabaikannya begitu saja.

Kita umumnya hanya terpaku pada hal-hal yang disengaja, dimana di dalam kesengajaan itu ada tujuan, maksud, sebentuk target pencapaian hasil. Oleh karenanya pula, di dalam kesengajaan ini ada sejenis ketegangan mental, rasa was-was, kecemasan, kekhawatiran kalau-kalau yang diharapkan tidak dicapai. Bagi mental, kesengajaan tak-ubahnya suatu beban yang harus dipikulnya.

Mengerjakan sesuatu dengan sadar, tidaklah harus berarti mengerjakan sesuatu dengan sengaja. Inilah yang tampak seringkali dikacaukan orang-orang. Mereka menyangka kalau mengerjakan sesuatu dengan sadar haruslah disengaja; akibatnya, alih-alih merasakan ketenteraman dan rasa ringan, mereka malah merasa tegang dan terbebani, kendati yang mereka kerjakan itu adalah meditasi. Mereka melangsungkannya dengan kesengajaan, dengan motif-motif egoistis tertentu berikut target-target tertentunya. Inilah yang menyebabkan mengapa banyak orang yang sengaja bermeditasi —merancang ini dan itu, menetapkan jadwal, merencanakan dan menata tempat, dan sebagainya ... dan sebagainya— malah tak pernah memasuki batin meditatif, untuk kemudian mengeluh dan frustrasi.

Untuk bisa memasuki batin meditatif memang butuh pengkondisi-awal —baik secara fisikal maupun mental. Tapi pengkondisi-awal ini tidak harus merupakan sesuatu yang sepenuhnya disengaja, yang malah mengundang ketegangan mental saja. Ia justru sebaliknya, baik tataran fisikal maupun mental ini mesti benar-benar santai, tanpa beban, tanpa target pencapaian, tanpa menginginkan hasil atau tiba di suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dengan begitu, semuanya akan mengalir secara alami. Batin meditatif sangat alami, sangat manusiawi. Yang alami tidak bisa —karena memang tidak perlu— didekati secara tidak alami. Makanya, meditasi juga sesuatu yang memanusiakan manusia kembali, mengembalikan manusia kepada kemanusiawiannya.

Apa yang menentukan Kualitas Batin Anda?


Ketika kita mumet, pusing, bingung, kita juga merasa ‘keruh’ bukan? Memang, ketika itu batin kita dalam kondisi keruh. Dan kita tahu sendiri kalau memutuskan sesuatu dalam kondisi seperti itu, bisa mengundang bencana. Kitapun tahu kalau kita ada dalam kondisi yang “fit” untuk mengambil keputusan saat pikiran ini ruwet.
Pernahkah Anda mempertanyakan, ‘apakah yang menentukan kualitas batin Anda?’ Atau dengan kata lain, ‘apakah yang mengkondisikan batin Anda?’ Pernahkah Anda mempertanyakannya? Bila belum, ada baiknya Anda mempertanyakannya.
Kita tahu kualitas dari sesuatu mencerminkan kondisinya, hal-hal atau parameter-parameter yang mengkondisikannya. Sesuatu yang berkondisi prima, kita sebut juga sebagai berkualitas prima bukan?
Nah ... sekarang kembali lagi kepada pertanyaan kita: apakah yang mengkondisikan batin Anda?
Bila kita amati dengan seksama —ke dalam— apa yang terjadi di benak kita, apa yang sedang berlangsung di benak ini, akan kita temukan betapa menentukannya peran dari ulah duet pikiran-perasaan. Artinya, kita akan melihat dengan jelas kalau jenis dari bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan yang paling kerap muncul di benak, menentukan kualitas batin. Bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan itulah yang mengkondisikan batin.
Nah ... mengetahui dan menyadari fakta ini, akankah Anda dengan sengaja akan mengeruhkannya dengan mempertontonkan bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan yang tidak kondusif bagi kejernihannya? Sementara Anda sendiri mendambakan kejernihan, tidakkah Anda melihat kedunguan dari kesengajaan itu?

Jangan Menghujat Tuhan


Di kalangan umat Hindu dan Buddha, Hukum Karma Phala dipahami sebagai Hukum Kausalitas Universal, Hukum Sebab-Akibat Universal. Siapapun menciptakan sebab dan kapanpun sebab itu diciptakan, pada saatnya yang tepat pasti berakibat sesuai dengan sebab yang diciptakannya itu. Demikianlah umumnya Hukum Karma Phala itu dipahami.

Daripadanya, tampak jelas kalau tiada sebab yang tidak berakibat, dan tiada akibat yang tanpa didahului oleh sebab. Lebih jauh lagi, daripadanya juga diperoleh pemahaman bahwasanya, “di dalam sebab sebetulnya sudah terkandung akibat”. Mereka tak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Sayangnya, umumnya kita tidak bisa melihatnya demikian. Akibatnya, walaupun kita mencemaskan akibat —karena seringkali ditimpa kemalangan misalnya, namun kita tetap saja terus-menerus menciptakan sebab demi sebab yang berakibat serupa. Kemalangan demi kemalangan silih-berganti menimpa, namun kita terus-menerus juga menciptakan sebab demi sebab. Tanpa disadari sepenuhnya, kita menciptakan berbagai sebab baru bagi berbagai kemalangan dan penderitaan di kemudian hari.

Yang teramat sangat konyol adalah, tak sedikit di antara kita yang menolak akibat —utamanya yang tidak disukainya— karena tidak merasa kalau pernah berbuat (menciptakan sebab) yang berakibat demikian. “Saya tak pernah melakukan sesuatu yang buruk, saya tidak pernah berbuat dosa, tapi mengapa saya mesti ditimpa kemalangan seperti ini?”; demikianlah umumnya klaim dan gugatan mereka. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang tidak berhenti hanya sampai disitu. Dengan lancangnya, mereka malah mendakwa Tuhan-nya sebagai tidak adil, menjatuhkan azab dan sengsara secara semena-mena. Merasa diri tak punya kemampuan untuk menolaknya, terpojokkan pada situasi dan kondisi harus menerimanya, mereka menyebut Tuhan-nya sebagai “Mahakuasa” dalam artian “Mahasemena-mena” dan suka main “kuasa-kuasaan”, yang menciutkan nyalinya, sehingga muncul ungkapan bernada berani seperti: “Saya hanya takut kepada Tuhan!”. Alih-alih memposisikan-Nya sebagai sosok Maha-adil, Mahapengasih-penyayang atau sejenisnya, tanpa sepenuhnya mereka sadari, kini mereka malah memposisikan Tuhan-nya sebagai sosok yang “amat sangat menakutkan”, sebagai sosok yang “Mahamenakutkan”.

Kekonyolan hingga penghujatan seperti ini sudah barang tentu tidak akan kita temui pada mereka yang benar-benar mengimani Hukum Karma Phala dan Samsara bukan?

Melihat Akibat di dalam Sebab

Satu hal penting yang juga diajarkan oleh Hukum Karma Phala dan Samsara adalah untuk mampu “melihat akibat di dalam sebab”. Yang bisa “melihat akibat di dalam sebab” dengan jelas, tak lagi merisaukan akibat baik ataupun buruk sementara selalu berusaha menciptakan sebab-sebab yang baik. Mereka yakin kalau Kemaha-adilan-Nya merupakan program-utama dari Hukum Karma Phala.

Di dalam kehidupan sehari-hari tak jarang kita rasakan kalau Kebenaran dan Keadilan itu tidak mengenakkan, atau bahkan menyakitkan. Namun, justru itulah yang semestinya disikapi dengan berhati-hati di dalam berpikir, berucap dan bertindak, di dalam menciptakan sebab. Naluri mencintai dan menyayangi diri sendiri dan yang dianggap berkaitan dengan dirinya sendiri, akan melarang seseorang untuk bertindak gegabah yang berakibat mencelakakan dirinya sendiri. Di dalam kehati-hatian itu, seseorang tentunya tidak akan menciptakan sebab dimana akibatnya hanya akan menyengsarakan dirinya sendiri.

Secara sederhana saja, setiap manusia dewasa—tak peduli agama apapun yang dianutnya—sadar kalau setiap tindakan punya kosekwensi. Iapun sadar kalau ia harus bertangung-jawab terhadap konsekwensi dari setiap tindakannya. Ia tak selamanya bisa lari dari tanggung-jawab itu atau selalu mencari kambing-hitam. Seseorang tidak harus mengimani Hukum Karma Phala hanya untuk memahami kenyataan ini, karena ia universal sifatnya.

Melihat Sebab di dalam Akibat

Bisa “melihat akibat di dalam sebab” sudah merupakan sesuatu yang baik; sesuatu yang membuat kita berhati-hati di dalam bertindak. Namun itu belum mencukupi. Ajaran tentang Hukum Karma Phala dan Samsara sebetulnya juga mengajari kita untuk bisa “melihat sebab di dalam akibat”, melihat bahwasanya setiap akibat berpotensi menjadi tak terhitung banyaknya sebab-sebab baru, yang pada gilirannya akan berakibat lagi dan lagi. Sebab menjadi akibat, dan akibat menjadi sebab baru lagi; demikian seterusnya.

Kalau “melihat akibat di dalam sebab” membuat kita berhati-hati di dalam bertindak, maka “melihat sebab di dalam akibat” melengkapinya dengan tidak menciptakan ‘sebab baru’ yang serupa lagi dari akibat yang telah dirasakan. Dari penglihatan seperti inilah para orang-orang tua kita menasehatkan: “Bila kamu dilempari dengan tahi, maka lemparilah dia dengan bunga”. Bila kita bisa bertindak demikian, bukan saja kita telah memotong mata-rantai sebab-akibat buruk, namun kita telah langsung menggantinya dengan dengan yang baik, langsung menabung kebajikan dari tindak kejahatan yang dikenakan kepada kita.

Seseorang tidaklah harus terlebih dahulu bisa melihat sebab secara rinci di dalam akibat. Kemampuan ini mungkin tidak dimiliki oleh semua orang dengan mudah. Namun, melihat kalau suatu akibat bisa merupakan sebab baru yang mungkin akan berakibat lebih buruk lagi, kalau tak disikapi dengan baik, tidaklah butuh ‘kemampuan khusus’. Kita telah terbekali akal-budi untuk itu. Apa yang dibutuhkan hanyalah kesediaan meluangkan waktu sejenak untuk melihat.

Waspadai Letupan Emosi sesaat

Bagi kebanyakan dari kita mungkin bukan disana lagi letak persoalannya. Ketergesa-gesaan di dalam memutuskan untuk bertindak, hanya lantaran dipicu oleh letupan emosi atau lintasan pemikiran sesaat, menjadi persoalan tak sedikit orang. Ketika suatu aksi luar diterima lewat gerbang-gerbang indria, perasaan dan pikiran secara otomatis ber-reaksi terhadapnya. Sampai disini, di permukaan, sebetulnya belum terjadi apa-apa. Anda bisa saja menjadi marah atau sekedar merasa tidak enak; namun bila Anda tidak langsung bertindak atas letupan itu dan memilih diam, tidak akan terjadi apa-apa. Namun, bila Anda segera bertindak berdasarkan letupan emosi itu, maka kejadiannya akan lain. Bisa sangat jauh berbeda.

Sebagai Hukum Kausalitas Universal, Hukum Karma Phala juga adalah Hukum Aksi-Reaksi. Setiap aksi tentu mengundang reaksi yang setara. Namun bila suatu aksi bisa disikapi dengan baik, ia bisa seakan-akan tak menimbulkan reaksi, dimana aksi tadi malah ditransformasikan sedemikian rupa menjadi sejenis ‘kekuatan di dalam’ yang halus dan berlipat-ganda kekuatannya. Yang pasti, dengan tidak meresponsnya secara reaktif, aksi hanya akan terhenti sebagai aksi saja. Mata-rantai aksi-reaksi terputus, hanya sampai disitu saja.

Makanya, hanya dengan mengelola emosi dengan baik, dengan mewaspadai letupan emosi sesaat dan tidak melakukan tindakan apapun atas dasar itu, seseorang telah berbuat banyak terhadap karma-nya. Mungkin tak terhitung banyaknya mata-rantai karma-phala ikutan ditiadakan; menjadi terputus hanya sampai disitu. Memang benar kalau dikatakan bahwa persoalan mengelola emosi tergantung karakter dan bakat seseorang; namun ini tidaklah berarti kalau itu tidak bisa dipelajari, dilatih. Banyak orang yang tadinya cenderung emosional dan tempramental membuktikan keampuhan laku vegetarian misalnya. Yang pasti itu bisa dipelajari dan dilatih, dan ada caranya untuk itu.

Sadar akan semua itu, berhasrat kuat untuk senantiasa menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, berhasrat kuat untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada, memperkuat sisi-sisi lemah kita, bukanlah sesuatu yang sama sekali asing bagi manusia. Terlalu banyak alasan untuk disebutkan kenapa kita patut mensyukuri kelahiran berjasad manusia ini.

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita. Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu setiap insan.

Perlukah semua umat manusia jadi orang suci ...?


“Memperbaiki dunia mesti diawali dengan memperbaiki diri sendiri”; ungkapan bijak ini mungkin sudah sering kita dengar. Kalau kita menerimanya sebagai sebentuk kebenaran, maka bagi kebanyakan dari kita, persoalannya justru tertumpu pada ‘memperbaiki diri sendiri’ ini. Apa yang mengawali perbaikan diri sendiri ini? Dan bagaimana saya mesti memperbaiki diri saya ini, kalau saya sendiri tidak tahu betul akan apa atau siapa adanya diri saya ini, kalau saya sendiri tidak jelas akan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya, akan cacat-cela dan keburukan-keburukannya?


Yang akan menemui jalan-buntu, didalam mengawalinya adalah, mereka yang justru telah merasa sangat mengenal dirinya dimana tak ada yang perlu diperbaiki lagi dan berkata: “Beginilah saya adanya. Dan ini sudah sangat baik untuk saya dan keluarga saya. Buktinya saya nyaman-nyaman saja kok ... Saya dan keluarga hidup sejahtera, serba berkecukupan; tidak hanya itu, kami sering berderma serta membantu berbagai kegiatan amal kemanusiaan serta lingkungan hidup. Mesti diperbaiki seperti apa lagi?”


Yang seperti itu tentu tak merasa perlu mengenal dirinya sendiri lebih jauh dan lebih dalam lagi, dan cenderung akan langsung berbuat ini dan itu untuk memperbaiki dunia. Akibatnya ... seperti yang kita nikmati sekarang inilah. Bisa dirasakan sendiri. Kita tahu, entah sudah berapa banyak Nabi, para Maharshi dan Rshi, para orang-orang suci, para santa atau santo atau yang sejenisnya, yang hidup di dunia; entah sudah berapa banyak politis atau negarawan yang berkaliber dunia, entah sudah berapa banyak para jenius dan ilmuwan dunia, tapi tampaknya dunia tak kian membaik, bahkan kian parah. Kenapa? Adakah mereka itu tak ada pengaruh positifnya sama-sekali terhadap perbaikan dunia? Bagaimana ini? Dimana letak persoalannya? Memang tidak mampukah agama-agama besar dunia —yang kini sudah terpecah-belah dalam banyak serpihan-serpihan kecil sekte-sekte, cults, sampradaya atau yang sejenisnya— itu memperbaiki dunia? Haruskah semua umat manusia jadi orang suci yang arif dan bijak bestari agar dunia bisa benar-benar membaik? Tapi mungkinkah itu?


Merasa sudah baik dan terus-menerus menghimpun kebajikan duniawi —yang memang dilakukan oleh tak sedikit orang— terbukti belum cukup. Atau, jangan-jangan malah justru memperunyam. Lebih dari satu millennium yang silam seorang Jagatguru dimintai nasehat oleh seorang mentri sebuah kerajaan tentang bagaimana agar negri mereka aman, makmur, sejahtera, damai dan sentosa, sang Guru berkata singkat: “Taruhlah kepala di kepala, dada di dada, tangan di tangan dan kaki di kaki.” —“Tempatkan orang-orang yang tepat di posisi yang tepat”.


Tapi, sadarkah kita kalau posisi kita sekarang ini sangat boleh jadi sebetulnya bukan posisi yang tepat —baik bagi kita sendiri maupun bagi dunia— sehingga tanpa kita sadari kita sudah berkontribusi terhadap carut-marutnya dunia? Sadarkah kita?