Agama Akal-sehat dan Hati-nurani

Kalau Anda setuju bahwa ‘agama adalah untuk manusia dan bukannya manusia untuk agama’ dan benar-benar menjalani kehidupan beragama Anda atas dasar itu, maka Anda termasuk orang yang beragama secara rasional, menggunakan akal-sehat. Kecil kemungkinannya kalau Anda terjebak dalam dogmatisme, apalagi fanatisme. Andapun tak akan segan-segan menampik apa-apa yang Anda anggap bertentangan dengan akal-sehat dan hati-nurani Anda, kendati itu disebut-sebut sebagai berasal dari kitab-suci dari agama —yang secara formal— Anda anut, dan sebaliknya tak segan-segan menerima dengan terbuka apa-apa yang selaras dengan akal-sehat dan hati-nurani Anda, kendati itu berasal dari ajaran agama lain, agama yang —secara formal— bukan agama yang Anda anut.

Anda tak akan merasa perlu, malah akan malu, untuk membawa-bawa ajaran agama anutan-formal Anda itu dalam kehidupan profan Anda, apalagi menggunakan sementara ayat-ayat kitab-sucinya hanya sebagai pembenar atau dalih atas ketidak-senonohan Anda di dalam menjalani kehidupan multi-dimensional ini. Bagi Anda, ajaran agama tidak bisa disamakan dengan ilmu pengetahuan, melainkan lebih pada ‘wahana’ Anda di dalam meraih tujuan hidup Anda, missi dari kelahiran Anda ini.

Makanya, tidaklah mengada-ada kalau dikatakan bahwa Anda sebetulnya menganut ‘Agama Akal-sehat dan Hati-nurani’, atau dengan nada sinis ada yang menamainya dengan ‘Agama Pribadi’ —karena bagi Anda, anutan Anda memang merupakan anutan Anda yang sangat pribadi sifatnya, dimana di jalan itulah Anda benar-benar hidup, benar-benar menjalani kehidupan Anda dalam segala suka dan dukanya.

Andapun tak merasa perlu untuk —secara frontal— menentang tradisi relijius atau yang sejenisnya yang dipraktekkan oleh lingkungan sosio-kultural dimana Anda hidup. Bukan karena takut dijauhi atau dimusuhi, takut dianggap ekstrimis, melainkan karena maklum kalau setiap orang punya anggapan, tingkat pemahaman, serta cara-caranya sendiri di dalam menerapkan rasa keber-agama-annya masing-masing; karena sadar sesadar-sadarnya kalau setiap orang punya kebebasan untuk melakoni anutannya masing-masing sesuai tingkat pemahaman serta kemampuannya masing-masing. Buat Anda, ‘beragama itu tak harus begini, atau begitu’, asalkan tetap mengindahkan tatanan etika-moral dari masyarakat dimana kita senyatanya hidup.

Kalau Anda mau dan ingin kedengaran bergaya, Andapun bisa mengatakan kalau Anda ‘telah melepas baju agama’. Dengan catatan bahwa, yang Anda maksud dengan ‘baju agama’ adalah ‘organisasi agama’, karena Anda tak bisa lagi dianggap sebagai salah seorang dari anggota ‘organisasi agama besar dunia’ manapun, karena beragama seperti itu tak-ubahnya paradigma ikut-ikutan, yang tidak berdasarkan akal-sehat dan hati-nurani.

Pandangan Keliru terhadap Spiritualisme

" Spiritualitas berarti bangun. Kebanyakan orang, kendati mereka tak menyadarinya, sedang pulas..."

Bila kita masih saja beranggapan kalau kita ini adalah sosok ‘raga yang berjiwa’, kita tak akan pernah memahami —apalagi benar-benar masuk di dalamnya dan menjalani— apa itu spiritualitas, apa itu jalan dan kehidupan spiritual. Makanya, tugas pertama dan terpenting dari spiritualisme —kalau mau dikatakan begitu— adalah mengikis ‘pandangan keliru’ ini.

Pengetahuan-objektif —yang bertumpu kuat pada atau sangat mengandalkan kemampuan indria-indria sensorik serta kemampuan akal-pikir— tentang berbagai objek luaran, termasuk spiritualisme, memang cenderung mengantarkan siapapun pada bentuk-bentuk ‘pandangan keliru’. Padahal, pengetahuan yang paling kita kenal, yang kita biasakan di bangku-bangku sekolah dan perguruan tinggi, yang dinobatkan oleh nyaris semua orang sebagai pengetahuan adalah pengetahuan objektif ini. Inilah salahsatu sebab utama mengapa kekeliruan demi kekeliruan terhadap apa itu spiritualisme dan spiritualitas itu sendiri kian melebar dan meluas.

Padahal, secara intelek, spiritualisme itu sangat sederhana. Ia adalah sebentuk faham yang berpandangan bahwasanya kita ini dan segenap makhluk-hidup berjasad —baik kasar maupun halus— bukanlah sosok ‘raga berjiwa’ melainkan ‘jiwa yang ber-raga’. Sesederhana itu sebetulnya. Secara intelek ia sangat mudah dimengerti bukan? Tapi mengapa tak sedikit orang —bahkan yang merasa menekuni sejenis kehidupan spiritual sekalipun— masih saja keliru, masih saja salah-sangka, dengan mempersamakannya dengan spiritisme, bahkan dengan praktek-praktek klenik dan betuk-bentuk kanuragan? Mengapa?

Disinilah tampak kalau peran naluri atau insting sebetulnya masih sangat dominan pada kebanyakan dari kita. Secara naluriah kita ini bukanlah ‘makhluk intelek’, melainkan lebih merupakan ‘makhluk emosi’, tak peduli seberapa tinggipun jenjang pendidikan formal dan non-formal yang sudah kita rambah. Kita cenderung mengukur, menilai, menanggapi dan menyikapi segala fenomena yang kita alami dalam hidup ini secara naluriah —dalam artian, sesuai dengan impuls-impuls emosi yang terpicu. Sebagai salahsatu contoh, walaupun seseorang berniat baik terhadap kita, namun kalau ia menyampaikan niatnya itu dengan cara-cara yang tidak berkenan di hati, kita akan cenderung menampiknya. Demikian pula sebaliknya; walaupun seseorang menemui kita dengan niat buruk, kalau ia menyampaikannya sedemikian rupa melalui bujuk-rayu yang melenakan atau mengibakan hati, kita dengan cepat mempercayai dan menerimanya dengan tangan terbuka.

Dunia spiritual bebas dari dominasi kecenderungan-kecenderungan naluriah seperti ini. Ia mengangkat martabat manusia dengan mengikis naluri-naluri hewaninya, memanusiakannya kembali, bahkan mentransformasikannya ke tataran keilahian.

Manusia Kreatif yang Hidup Anonim

Pernahkah Anda renungkan? Kita sebetulnya ingin termasyhur, apakah sebagai seorang penulis, penyair, pelukis, politisi, artis, atau apa saja. Kenapa? Karena kita sesungguhnya tidak mencintai apa yang kita kerjakan. Jika Anda cinta menyanyi, atau melukis, atau menulis sajak —jika Anda sungguh-sungguh cinta itu— Anda tidak akan peduli apakah Anda termasyhur atau tidak. Ingin menjadi termasyhur bersifat murahan, remeh, bodoh, tidak punya arti; tetapi, lantaran kita tidak mencintai apa yang kita kerjakan, kita ingin memperkaya diri kita dengan kemasyhuran.

Pendidikan kita yang sekarang ini bobrok, oleh karena ia mengajarkan kita untuk mencintai kesuksesan, dan bukan mencintai apa yang kita kerjakan. Hasil menjadi lebih penting daripada tindakan.

Adalah baik untuk menyembunyikan kecemerlangan Anda di balik karung, untuk anonim, mencintai apa yang Anda lakukan dan tidak memamerkannya. Adalah baik untuk baik-hati tanpa demi sebuah nama. Itu tidak menjadikan Anda termasyhur, itu tidak membuat foto Anda terpampang di koran-koran. Para politisi tidak akan bertandang ke rumah Anda. Anda sekadar manusia kreatif yang hidup anonim, dimana disana ada kekayaan serta keindahan agung.

Kenapa Bertanya ?

Ada banyak motif yang melatar-belakangi kenapa kita bertanya. Kita bertanya bisa digerakkan oleh ‘rasa ingin-tahu’ dimana kita memang benar-benar tidak tahu akan hal yang ditanyakan. Masih dalam kategori ini, kita juga bisa bertanya karena ingin-tahu lebih jauh lagi, lebih dalam lagi tentang sesuatu atau seseorang atau sekelompok orang. Yang seperti ini bisa kita sebut sebagai ‘pertanyaan murni’.

Motif lain adalah ‘menguji’ —apakah itu untuk menguji sampai dimana seseorang memahami hal yang ditanyakan itu, ataukah sekedar untuk menguji apakah apa yang sudah kita ketahui tentangnya bersesuaian atau setara dengan yang diketahui oleh orang yang kita tanyai. Dalam yang disebutkan belakangan ini, terjadi proses membandingkan, menilai maupun mengukur. Yang seperti ini bisa kita kelompokkan kedalam jenis ‘pertanyaan menguji’.

Kita juga bisa bertanya untuk mengklarifikasi sesuatu, karena sesuatu itu belum begitu jelas buat kita. Berbeda dengan yang sebelumnya, kita sudah punya pengetahuan tentang yang dipertanyakan, namun kita merasakannya sebagai kurang lengkap, sehingga kurang jelas buat kita. Yang seperti ini, sebutlah dengan ‘pertanyaan klarifikasi’. Yang sangat mirip dengan ini adalah —apa yang kita sebut saja dengan— ‘pertanyaan mengusut’.

Jadi, berdasarkan motifnya, terlihat kalau sekurang-kurangnya adanya empat jenis pertanyaan, dengan empat motif yang menggerakkan kita untuk bertanya. Atau kalau diciutkan lagi, malah hanya ada dua —‘pertanyaan murni’ dan ‘pertanyaan tidak-murni’— dimana di dalam ‘pertanyaan tak-murni’ termasuk juga pertanyaan yang tak butuh jawaban, yang hanya bersifat ‘peyakinan’.

Nah ... sekarang pertanyaannya adalah: Di dalam kehidupan sehari-hari, pertanyaan yang manakah yang paling sering kita tanyakan? Yang murni ataukah yang tak-murni? Jawaban daripadanya bisa memberi sebagian gambaran tentang siapa kita ini, orang macam apakah kita ini, yang boleh jadi sangat berguna bagi kita, bagi pembelajaran-diri di dalam kelahiran berjasad ini.


" Tiada cara logis untuk mengungkap hukum-hukum elemental. Yang ada hanyalah cara intuitif, yang dibantu oleh suatu ketajaman rasa, terhadap runtutan yang melandasi di balik suatu penampakan. "

- Albert Einstein -

Berani Mati, tapi Takut Hidup

Yang memandang keberadaannya sebagai ‘raga yang berjiwa’ tidak akan pernah bisa melihat semua makhluk-hidup sebagai setara, tidak bisa menerima kalau segenap umat manusia bersaudara, tidak akan bisa menerima bahwa kita semua pada dasarnya sama. Karena raga atau jasmani —yang kasat-indria— inilah yang membedakan kita. Di mata mereka, itulah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, secara fundamental. Yang memandang keberadaannya sebagai ‘raga yang berjiwa’ akan selalu membeda-bedakan; ini cantik—itu jelek, ini keturunan bangsawan—itu keturunan rakyat jelata, ini kaya—itu miskin, ini lelaki dan itu wanita, ini tua dan itu muda, dst...dst....Sebab bagi mereka perbedaan itu sangatlah nyata, kasat-indria.

Pola-pikir kasat-indria (sakala) sangat bersesuaian dengan pola-pandang ini. Padahal, nyaris tak ada manusia duniawi yang tidak menganut pola-pandang ini. Inilah persoalan pelik yang akan dihadapi oleh siapa saja yang punya niat luhur mempersatukan umat manusia. Mereka lebih suka mengurung dirinya di dalam kerangkeng-kerangkeng pemikiran sempit dan sumpek, ketimbang bebas di dalam terbuka dalam segala keleluasaannya. Walaupun mereka berkoar-koar menyuarakan kebebasan; padahal sebetulnya mereka takut bebas; mereka menatap kebebasan dengan rasa ngeri.

Yang menganut pola-pandang ini juga sangat takut pada kematian. Kalangan merekalah yang melontarkan ‘fitnah’ bahwa, “hidup ini hanya sekali saja” —makanya nikmatilah kesenangan duniawi dan kenikmatan ragawi sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya; kalangan mereka jualah yang mensugesti publik dengan kebohongan bahwasanya “kematianlah yang paling menakutkan di muka Bumi ini”. Mereka lupa kalau mereka sendiri lebih takut kepada penderitaan hidup ketimbang kematian itu sendiri. Kalangan mereka ini jualah yang akan lari terbirit-birit dan lebih memilih mati ketimbang hidup sengsara. Walaupun mereka kelihatan menggagah-gagahkan dirinya sebagai ‘pasukan berani mati’, sebetulnya mereka ‘sangat takut hidup’.

Kalau mau dilihat sedikit lebih ke dalam lagi, dengan sedikit lebih seksama lagi, sebetulnya kita juga berbeda dalam kualitas mental. Kepribadian kita masing-masing berbeda. Namun tak berarti kalau perbedaan itu tak bisa dipersatukan, diselaraskan, diharmoniskan. Sesuatu yang secara hakiki tidak berbeda dengan yang lainnya, selalu bisa dipersatukan.

Fakta ini bisa dibuktikan langsung. Adanya bahtera rumah-tangga —darimana kita dihasilkan misalnya— merupakan salah-satu bukti konkrit yang tiada terbantahkan. Kalaupun mau diuraikan secara ilmiah, tubuh inipun sebetulnya terbuat dari unsur-unsur dasar hakiki yang sama. Demikian pula tataran mental ini. Kita semua punya pikiran —yang merupakan sisi aktif dari mental, serta perasaan— yang merupakan sisi pasifnya. Betapa rendahpun kepekaannya, kita sama-sama punya persepsi dan kecerdasan. Kita juga sama-sama punya naluri, yang kalau berhasil dispiritualisasikan bisa menjadi intuisi. Dan yang paling mendasar adalah, kita semua ‘merasa ada’, kita semua sadar, punya kesadaran —betapa rendahpun martabatnya.

Itu saja sudah menunjukkan kalau pada dasarnya kita ini sama. Terlalu banyak kesamaan esensial yang menyulitkan kita untuk membedakan diri. Padahal, kedua tataran ini —fisikal dan mental ini— bukanlah eksistensi hakiki kita. Mereka tak-ubahnya pakaian luar dan pakaian dalam yang kita kenakan. Seberapa seringpun kita berganti pakaian luar dan pakaian dalam, dalan sehari, kita tetap orang yang sama bukan? Kalaupun kita bersikeras hendak membedakan diri masing-masing, maka seharusnya kita bisa mengemukakan perbedaan esensialnya, perbedaan hakikinya. Bukan sekedar perbedaan superfisialnya —yang teramat sangat dangkal—itu. Apa lagi sekedar perbedaan atribut tempelan —seperti: jender, usia, suku, ras atau kebangsaan, agama atau kepercayaan atau ideologi, kedudukan atau jabatan, status sosial-ekonomi atau sosial-politik, dan lain sebagainya itu.

Ajaran luhur mengajarkan bahwa eksistensi hakiki kita semua adalah Jiva, Atman, Sang Diri-Jati. Kita bukanlah wujud ini; raga ini tak-ubahnya pakaian-luar dan batin sebagai pakaian-dalam yang dikenakan oleh Sang Jiva pada kesempatan tertentu, untuk kurun waktu tertentu, dan untuk kepentingan tertentu saja.

Semoga Cahaya Agung-Nya senatiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.

Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu semua insan.



You cannot live without dying. You cannot live if you do not die psychologically every minute...... To live completely, wholly, every day as if it were a new loveliness, there must be dying to everything of yesterday...

Takut Kehilangan Eksistensi

Hanya yang telah menemukan kesejatian sajalah yang mungkin mendatangkan kebaikan dan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat manusia dan dunia...


Kalau bukan yang utama, maka salah satu hal yang membuat orang takut meninggalkan kehidupan duniawi adalah takut kehilangan eksistensi di dalam lingkungan sosialnya. Akibatnya, masa pensiun —yang sebetulnya merupakan masa yang paling sesuai untuk itu— paling-paling hanya dimaknai dan diterapkan sebagai masa dimana tidak lagi melangsungkan kegiatan ekonomis-produktif seperti sebelumnya. Bukan saja banyak yang setelah mencapai usia pensiun masih juga bergiat di bidang ekonomis-produktif, namun banyak juga yang berkilah: “Bagaimana mungkin meninggalkan kehidupan duniawi sementara kita masih hidup di dunia ini?”

Eksistensi merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi kebanyakan orang. Orang bisa mengorbankan banyak hal demi eksistensi ini, karena di dalamnya juga ada penghargaan. Seseorang yang benar-benar eksis di lingkungan sosialnya juga dihargai oleh lingkungannya. Secara emosional, orang hanya merasa berharga bila dihargai, bila ada yang menghargai. Thus, penghargaan merupakan kebutuhan mental manusia. Tanpanya, manusia merasa kosong, merasa tidak berarti. Oleh karenanyalah, kehilangan eksistensi merupakan sesuatu yang lebih menakutkan dari kematian itu sendiri. Fenomena yang disebut dengan “post power syndrome” mengakar disini.

Namun, benarkah ‘meninggalkan kehidupan duniawi’ juga berarti kehilangan eksistensi sosial? Ternyata tidak. Anggapan itu samasekali keliru, tidak benar. Anggapan itu muncul dari anggapan keliru bahwasanya lingkungan sosial hanyalah lingkungan konvensional —yang penuh aktifitas fisikal dan mental, yang penuh gejolak dan gelora emosi— seperti yang kita kenal selama ini. Bahkan lebih sempit lagi, lingkungan sosial menurut sangkaan banyak orang hanyalah sebatas lingkungan sosial-ekonomis, dimana seseorang hanya dihargai bila ia menguasai banyak harta-benda atau dianggap punya nilai ekonomis yang tinggi lantaran profesi, keakhlian atau jabatan bisnisnnya. Kalaupun mereka masih mengenal slogan ‘manusia sebagai makhluk sosial’, maka yang mereka maksudkan hanyalah ‘makhluk sosial-ekonomis’. Makanya, dapatlah dimengerti mengapa sekarang ini orang-orang kaya ‘dirajakan’ dan uang ‘didewakan’.

Kehidupan duniawi memang dicirikan oleh dua tujuan utama: penguasaan harta dan pemuasan hawa-nafsu. Mereka beranggapan, dengan menguasai banyak harta mereka bisa membentengi dirinya dengan bangunan dan berbagai peralatan canggih, bisa menggaji pengawal atau tentara bayaran, mereka tak perlu merisaukan yang berkaitan dengan sandang, pangan, papan, obat-obatan dan kebutuhan fisikal lainnya. Secara keseluruhan, dengan menguasai harta mereka berharap bisa memperoleh rasa aman. Dengan menguasai harta pula mereka berharap bisa menikmati apapun yang mereka inginkan —termasuk di dalamnya: pangkat, jabatan, bahkan pengaruh dan penghormatan di masyarakat, ketenaran, kenikmatan dan pemuasan hawa-nafsu indriyawi, kemewahan dan kelimpahan materi, perlakukan bak seorang raja (eksistensi yang paling utama di dunia ini), dan sejenisnya— sehingga bisa menikmati kenyamanan. Kedua rasa ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Pemburuan terhadap kedua rasa inilah yang menjadi pokok perburuan serta mengisi segenap urusan yang ada di dalam kehidupan duniawi.

Namun, kalau saja kita sempat merasakan hanya secuil saja daripadanya untuk kemudian digunakan bahan perenungan, akan tampak jelas betapa kelirunya sangkaan ini. Apapun yang bisa diberikan dari penguasaan harta hanya bersifat sementara dan bersyarat. Tidaklah ada jaminan kalau harta itu bisa kita kuasai selama-lamanya. Kalaupun ia kita kuasai cukup lama, ia tetap tidak menjamin rasa aman; jangan-jangan malah membangkitkan kekhawatiran dan takut kalau-kalau ia segera habis, hilang, rusak atau sejenisnya. Penguasaan banyak harta ternyata juga bukan syarat satu-satunya dan otomatis guna bisa menikmati kenyamanan yang diidamkan. Kalau Anda sedang gundah atau sakit misalnya, bentuk-bentuk kenikmatan indriawi apapun tidak akan ada artinya buat Anda bukan? Semua itu semu sifatnya. Semua itu hanyalah sangkaan kita saja, karena kita menggandrungi dan mendambakannya.

Eksistensi yang berlandaskan, berkaitan dan bertumpu pada kesemuan —yang membuat kita sangat takut kehilangannya dengan meninggalkan kehidupan duniawi— tentu semu juga adanya. Dan ironisnya, saking takut kehilangan yang semu kebanyakan dari kita malah menghindari yang sejati.

Listen More, Speak Less !!!

Kita tak akan bisa belajar dari setiap orang apabila kita selalu merasa lebih tahu dari mereka. Pembelajaran-diri ini juga ibarat membuat kolam penampung air. Semakin rendah ia dibuat dibandingkan daerah sekitarnya, semakin banyak air akan mengalir ke dalamnya.

Untuk bertanya saja misalnya, ternyata membutuhkan kesiapan mental dan kerendahan-hati secukupnya. Kecuali hanya untuk mengujinya, Anda tak akan pernah mau bertanya kepada orang yang Anda anggap sama pengetahuannya dengan Anda, apalagi bila Anda anggap lebih rendah. Padahal, bisa saja ia mengetahui sesuatu yang samasekali tak pernah Anda ketahui sebelumnya, sejauh setiap orang punya pengalamannya masing-masing.

Kerendahan-hati atau kesediaan untuk merendah dan mendengar di dalam pembelajaran-diri memegang peranan penting. Terlebih lagi bilamana ia berhubungan dengan pengembangan-batin. Sebaliknya, sikap sok tahu dan suka menggurui, sama sekali tidak kondusif bagi pembelajaran-diri ini. Yang seperti ini akan lebih suka memperdengarkan ketimbang mendengar; lebih cenderung menggurui ketimbang berguru dan akan merasa hina untuk bertanya. Ada keangkuhan intelektual disini. Inilah sebabnya mengapa yang seperti ini akan sangat sulit memperluas wawasannya dan mengembangkan batinnya; sebaliknya, ia hanya akan berkubang dari itu ke itu saja.

Oleh karenanyalah harus dikikis dulu dan digantikan dengan kerendahan-hati, sebelum Anda benar-benar bisa belajar dari setiap orang, dari segala sesuatu, dari segala fenomena dan kejadian dalam hidup ini.

Suka menyepelekan merupakan penyakit lain yang paling mengganggu proses pembelajaran-diri. Ia berkerabat dekat dengan kecerobohan-mental. Manakala Anda menyepelekan sesuatu atau seseorang, maka Anda akan mengabaikannya begitu saja. Disana juga hadir sikap mental yang memandang rendah di satu sisi, sementara merasa lebih tinggi dan lebih superior, di sisi lainnya. Inilah yang menyebabkan lepasnya perhatian Anda terhadapnya.

Anda tidak akan memperhatikan sesuatu yang Anda anggap sepele bukan? Batin yang suka menyepelekan adalah batin ceroboh, batin yang tanpa perhatian. Padahal, batin hanya mampu belajar dengan baik bilamana ia penuh perhatian, sangat awas, menyelidik, kritis dan peka terhadap setiap kejadian dan segala sesuatu di sekitarnya. Batin seperti inilah yang akan mudah mengembang dengan pesat hingga batas-batas yang tiada terukur.

Tak Kenal Maka Tak Benci

Menuruti berbagai keinginan —baik yang bersifat fisikal maupun mental— hanya akan mempergemuk dan memperkuat egoisme. Menurutinya tak-ubahnya juga memberinya pupuk. Berbagai hasrat dan keinginan inilah yang membentuk kegandrungan serta mengundang berbagai bentuk pemikiran yang tiada terpisahkan dengan berbagai bentuk perasaan.

Tapi, darimanakah datangnya keinginan ini? Mengapa kita menginginkan sesuatu dan tidak atau menolak yang lainnya? Mengapa sesuatu lebih mengundang selera dan hasrat, sementara yang lainnya tidak? Darimanakah semua ini datangnya? Pernahkah Anda mempertanyakan hal ini? Bila belum, mari kita pertanyakan.

Kita tidak akan pernah menginginkan atau punya hasrat yang kuat untuk menghindari sesuatu yang tak pernah kita kenal, tidak pernah mengadakan kontak dengannya —baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara fisikal-indriawi maupun mental-psikologis— bukan? Kesan-kesan baik, yang menyenangkan atau yang sebaliknya, yang timbul saat terjadinya kontak-kontak pengenalan inilah pemicunya.

Kendati kita tak pernah mengadakan kontak langsung dengan seseorang atau sekelompok orang, dengan bangsa Yahudi misalnya, akan tetapi bila dari berbagai siaran di berbagai stasiun televisi terus-menerus kita dengar kekejian mereka kepada orang-orang Palestina —apalagi bila kita merasa sesama umat Islam— maka kita akan terpicu untuk ikut-ikutan membenci bangsa Yahudi. Dan kalau kita kemudian berkesempatan berkenalan dengan beberapa orang Yahudi yang ternyata baik, anggapan kita sebelumnya bisa jadi berubah drastis.

Kalau kita punya pepatah “Tak kenal, maka tak sayang”, maka kitapun sepantasnya punya pepatah “Tak kenal, maka tak benci”, sejauh kita tak akan pernah bisa membenci yang sama-sekali tidak kita kenal.

Demikianlah, kontak langsung maupun tak-langsung besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan keinginan, hasrat, selera, kegandrungan atau yang sejenisnya. Dan jika membatasi kontak, atau membentuk sejenis filter yang berfungsi menyaring hal-hal yang diperkenankan masuk sedemikian dalamnya dan yang mana tidak, yang secara faktual adalah mungkin, bukankah tidak ada jeleknya bila itu dilakukan?


Kutukan egoisme memicu perbuatan-perbuatan, keinginan-keinginan dan kepedihan. Ia merupakan sumber dari segala bentuk kejahatan. Ia adalah ilusi. Ia mengecoh orang-orang. Ia bersekongkol dengan rasa-kepemilikan. Ia lahir dari atau merupakan kegelapan-batin. Ia muncul dari pandangan keliru.....

Guyon yang Mencerahkan



Kita boleh jadi tidak bisa membicarakan hal-hal yang bersifat spiritual dengan sembarang orang, tapi kita bisa —secara proporsional— berkelakar, guyon nyaris dengan siapa saja bukan? Nah ... kalau memang demikian adanya, bukankah guyonan yang berkandungan spiritual-filosofis bisa sangat membantu dalam pengembangan batin, dalam pencerahan batin?

Memang benar kalau untuk bisa berkelakar seseorang mesti punya bakat banyol, jenaka, atau sekedar rasa humor. Tapi saya percaya setiap orang punya rasa humor —betapa kecilpun itu adanya— yang bisa dikembangkan. Kita tak harus jadi pelawak; cukup sekedar memberi iklim yang sehat bagi tumbuhnya dan rasa humor itu sendiri.

Pada sisi lain, kita sudah tahu kalau tertawa —bukan dalam rangka menertawai yang lain, tertawa mengejek atau sejenisnya— adalah sehat, baik bagi jasmani maupun mental. Tapi ia juga bisa sehat bagi batin, bagi tataran rohani. Ia bisa merupakan santapan mental dan juga spiritual. Makanya, lewat guyonan, kalau Anda mau, Anda bisa berbagi kecerahan nyaris dengan siapa saja.

Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe

Bangsa ini mewarisi semboyan luhur, “Rame ing gawe, sepi ing pamrih” —Giat bekerja tanpa mengharapkan hasil untuk diri sendiri. Semboyan altruistis ini mungkin sedemikian mendarah-dagingnya bagi banyak leluhur manusia Indonesia pada suatu jaman, namun kini sudah tidak lagi. Kalaupun masih ada yang menganutnya, yang tentunya sudah sangat sedikit, mungkin itu hanya sebatas hal-hal yang bersifat material dan sosial saja.

Pamrih adalah keinginan egoistis. Dimana, bila kita cermati ke dalam, boleh jadi ia merupakan motif yang melandasi setiap pemikiran, ucapan dan tindakan kita sehari-hari, betapa haluspun itu adanya. Kita membangun menara kehidupan kita berlandaskan pamrih. Kalaupun saya kelihatannya melakukan sesuatu bagi banyak orang bukan demi suatu imbalan tertentu, bukan saya lakukan atas motif perolehan sejumlah materi tertentu misalnya; namun kalau semua itu saya lakukan demi membentuk citra-diri saya di mata banyak orang, saya lakukan agar saya dianggap sebagai orang yang baik-hati, murah-hati, berhati mulia atau karena saya tahu —dari nasehat-nasehat leluhur dan kitab-kitab suci— kalau perbuatan seperti itu sama artinya dengan menyediakan kapling di sorga, dengan prinsip melakukan hal —yang sebetulnya bagi saya merupakan sesuatu yang ‘kecil’— demi sesuatu yang ‘besar’, menikmati kenikmatan hidup di sorga setelah kematian nanti, disamping meninggalkan nama harum yang akan diwarisi oleh anak-cucu saya misalnya, dimana semua itu hanya saya saja yang tahu, maka secara esensial, apa bedanya ini dengan berdagang, bisnis?

“Sepi ing pamrih” benar-benar sepi dari keinginan egoistis sekecil dan sehalus apapun. “Rame ing gawe” tak perlu diketahui orang, dikenal orang. Itu semata-mata dilakukan sebagai kewajiban yang dipertanggungjawabkan ke dalam, dimana tanpa melakukannya kita merasa ada sesuatu yang ‘kurang’ dengan keberadaan kita, ada ‘kekosongan’ dan menuntut untuk dipenuhi. Kepuasan dan kenikmatan justru sudah dirasakan persis ketika niat untuk melakukannya muncul di benak kita, saat melaksanakan, apalagi sesudahnya. Kalaupun itu tak sepenuhnya berhasil dengan gilang-gemilang, penunaiannya dengan bersungguh-sungguh sudah memberi kepuasan dan kenikmatan tersendiri yang tiada terbeli dengan uang. Makanya, semasih tersisa secuil keinginan egoistis sehalus apapun, seberapa baikpun kita melakukannya, seberapa banyakpun orang yang menikmati hasilnya, itu tetap bukan aktivitas “sepi ing pamrih”. Sepi dari pamrih, adalah benar-benar sepi keinginan egoistis manapun.

Kenyataan bukan Kebenaran


Apa yang umumnya kita sebut sebagai kenyataan atau fakta hanyalah terbatas pada yang kasat-indria, sesuatu yang bersifat eksternal dan bisa dicerap lewat organ-organ indria sensorik —yang kita tahu amat sangat terbatas kemampuannya ini. Terlalu dangkal, dan terlalu besar kemungkinannya kalau pandangan kita tentang sesuatu itu salah atau keliru, bila kita hanya mengandalkan pada kemampuan organ-organ indria sensorik ini saja. Sehingga, apapun yang selama ini kita anggap dan sebut sebagai kenyataan atau fakta, besar kemungkinannya bukan kebenaran.

Belum lagi bila yang belum tentu benar itu dikacaukan oleh ikut-campurnya kecenderungan-kecenderungan dan kegandrungan-kegandrungan kita, oleh rasa sentimental kita, rasa suka-tak-suka kita. Tak sedikit dari kita cenderung memperhatikan sisi buruk atau lemah dari sesuatu yang tak kita sukai, yang tak sesuai dengan selera pribadi kita. Sebaliknya, terhadap sesuatu yang kita gandrungi, yang cocok dengan selera kita, kita akan memperhatikan sisi-sisi yang sebaliknya. Kecenderungan ini sangat kuat bagi kebanyakan dari kita, sehingga setiap penilaian kita terhadap sesuatu nyaris selalu diwarnai olehnya. Apapun yang dihasilkan oleh penilain subjektif ini, jelas bukan kebenaran.


Makanya menjadi jelas buat kita kalau, baik penilaian subjektif maupun objektif —yang bertumpu kuat pada kemampuan indriawi— sangat kecil kemungkinannya benar, bahkan besar kemungkinannya malah salah atau keliru. Padahal, demikianlah kita menilai segala sesuatunya selama ini. Apa artinya ini? Bukankah ini berarti bahwa apapun anggapan kita tentang sesuatu selama ini tidak bisa dibilang benar? Dan ini merupakan fakta otentik buat kita bukan? Bila memang demikian halnya, bila untuk hal-hal yang kasat-indria saja kita tidak mampu melihat kebenarannya, kesejatiannya, mungkinkah kita bisa melihat kebenaran dari sesuatu yang tidak kasat-indria, yang ada di balik dan melatari semua yang kasat-indria ini?

Ketulusan itu Mensucikan

Hanya memikirkan apa yang bisa diperoleh, tanpa pernah memikirkan apa yang bisa diberikan, memastikan kita jadi para pengemis, bahkan perampok di dunia ini.’ demikian kurang-lebih seorang ayah pernah menasehati putranya.

Kebanyakan dari kita umumnya tidak menyadari kalau ketika kita memperoleh sesuatu, sebetulnya boleh jadi kita telah memberikan banyak hal atau harus memberi yang setara; demikian pula sebaliknya, ketika kita memberi sebetulnya kita juga sudah, sedang dan akan menerima. Seperti semua tindakan lainnya, memberi dan menerima tunduk dan ada di wilayah ‘hukum kausalitas universal’. Artinya, tak seorangpun hanya memberi dan memberi tanpa menerima apapun —walaupun ia tak mengharapkannya— dan tak seorangpun bisa hanya menerima dan menerima saja tanpa diharus memberi —walau ia tak menginginkannya. Setiap pemberian mengundang penerimaan dan setiap penerimaan mensyaratkan pemberian.

Suatu pemberian atau persembahan yang tulus dengan sendirinya memperhalus dan meningkatkan mutu dari pemberian itu sedemikian rupa sehingga mengundang penerimaan yang lebih halus dan lebih berkualitas pula. Pada dasarnya, ketulusan atau ketanpa-pamerihan inilah yang mensucikan setiap pemberian, ketulusan atau ketanpa-pamerihan inilah yang menjadikan setiap persembahan menjadi sebuah korban-suci. Dan, kalau kita memang jujur, kita tahu kapan kita memberi dengan tulus-ikhlas dan kapan kita memberi dengan pemerih. Makanya, boleh jadi sekulum senyum yang tulus jauh lebih bernilai ketimbang sekeranjang sembako.

" Not is it so remarkable that our greatest joy should come when we are motivated by concern for others. But that is not all. We find that not only do altruistic actions bring about happiness but they also lessen our experience of suffering."

Mengapa Mudah Percaya?


If you see certainty in that which is uncertain,you are bound to suffer...

Adalah penting punya sebentuk kepercayaan tertentu, sebab tanpanya boleh jadi kehidupan terombang-ombing tanpa arah dan tujuan. Namun pada saat yang bersamaan, adalah penting juga untuk menyisakan seporsi rasionalitas untuk bisa memilah dan memilih dengan tepat hal-hal yang patut dan yang tidak patut untuk dipercaya.


Kepercayaan punya pengaruh emosional yang sangat kuat bagi penganutnya. Pengaruh emosional inilah yang sangat potensial memborong dan memenuhi segenap khasanah mental seorang penganut hingga tak menyisakan ruang sedikitpun bagi bekerjanya rasio, akal-sehat. Bahkan konyolnya lagi, tidaklah aneh buat yang bersangkutan untuk menyatakan kalau penyikapan emosional itulah yang paling rasional untuk diberikan kepada yang ia percayai itu.

Singkatnya, kebanyakan dari kita umumnya sangat rentan untuk disergap dengan mudah oleh fanatisme. Jangankan terhadap sebentuk ajaran agama tertentu misalnya, tak sedikit orang-orang fanatik yang hanya mau mengenakan pakaian dengan merek-merek tertentu, atau dengan desain tertentu saja. Betapa konyolpun ini bagi kita, demikianlah fakta yang terlihat di sekeliling kita bukan?

Akan tetapi, marilah kita lihat lagi ‘mengapa kita mempercayai sesuatu dan tidak yang lainnya’. Kalau kita mempercayai sesuatu hanya lantaran banyak orang di sekitar kita yang mempercayainya dan takut ditolak oleh lingkungan kalau tidak ikut mempercayainya, maka itu hanyalah kepercayaan ikut-ikutan yang sangat rapuh dari segala sisi. Ini sama rapuhnya dengan, kalau kita percaya hanya sebagai kepercayaan warisan karena para orangtua dan banyak pendahulu kita juga mempercayai dan menganutnya. Kalaupun kita mempercayainya lantaran kita merasa aman dan nyaman –yang sebetulnya tidak selalu bisa dipertahankan selama-lamanya— bila berada di dalamnya, ini masih sangat rapuh juga. Ketika —karena sesuatu hal— kedua rasa itu pergi –karena ia memang tak mungkin dipertahankan terus— kitapun akan dengan ringannya pergi meninggalkan kepercayaan itu. Beda halnya dengan, bila kepercayaan itu memang terasa cocok dan memenuhi tuntutan rasionalitas Anda. Apalagi bila ia juga memberi kepastian akan tercapainya tujuan hidup Anda.

Bagi manusia moderen, yang mau-tak-mau mesti mengedepankan rasionalitas dan tak semata-mata harus tunduk begitu saja pada gelora emosi, adalah penting dan mendesak buat mempertanyakan kembali: mengapa ia mesti mempercayai sesuatu dan tidak yang lainnya?
Secara rasional, kita percaya pada sesuatu kalau sesuatu itu bisa memberi cukup bukti. Dan bukti, tidak selamanya harus berupa bukti fisikal atau sesuatu yang bisa dicerap oleh indria sensorik yang terbatas ini. Ia bisa juga berupa bukti mental, yang bisa dicerna oleh akal-sehat kita, atau bahkan bukti spiritual yang tak bisa dipersepsi oleh indria dan sulit diterima akal.

Yang terakhir inilah seringkali dikacaukan oleh ulah emosi. Banyak orang menyangka kalau mereka mempercayai sesuatu atas alasan spiritual, padahal itu sebetulnya hanyalah atas alasan emosional saja. Orang yang sedemikian kharismatiknya misalnya, akan mudah dipercayai oleh banyak orang hanya lantaran gelora emosi yang mampu dibangkitkan melalui kharismanya itu.

Yang demikian tak jauh bedanya dengan orang-orang yang menguasai hipnotisme atau sulap. Dan sekali lagi, ini bukanlah bukti spiritual. Dalam kenyataannya, lebih banyak orang hanya menumpukan kepercayaannya pada bukti fisikal saja, ditambah campur-tangan emosi atau tidak.

Ilusi Terbesar


Sesungguhnya, segala sesuatu hanyalah seperti apa adanya. Tidak lebih, tidak kurang. Ketika kita lebih menyukai sesuatu dibanding yang lainnya —atas alasan selera atau cita-rasa kita sendiri atau karena ia memberi kita kenikmatan, rasa senang, rasa puas sesaat— kita mulai memberinya predikat atau label “bagus”, “nikmat”, “indah”, atau sejenisnya. Demikian pula sebaliknya.

Terlepas dari apakah mereka memang bagus atau jelek secara objektif, kitalah yang melabelinya, memberinya predikat. Kita menumpangkan selera kita, menyelubungi segala sesuatu dengan tumpangan itu, dengan pertimbangan apakah ia memberi rasa senang atau tidak kepada kita. Alhasil, ia tak lagi seperti apa ia adanya bagi kita, ia menjadi ilusif. Kitalah yang menjadikannya ilusif. Bukan dianya yang adalah fatamorgana.

Memang ada hal-hal eksternal yang bersifat ilusif; seperti fatamorgana misalnya. Mereka memang berpotensi dan dengan mudah bisa mengecoh kita. Namun, bila kita tak sedemikian mudahnya dikecoh, bila kita tahu kalau itu hanya fatamorgana, kita tak akan pernah berhasil dikecohnya; walaupun segenap indria sensorik ini merasakannya demikian. Disini tampak jelas kalau kuku-kuku tajam ilusi hanya berhasil mencengkram mereka yang tidak-tahu, yang tidak berpengetahuan, tidak berpemahaman atau yang berpandangan sempit, dangkal, salah dan keliru akan sesuatu. Jadi sangat subjektif.

Prasangka misalnya; ia sangat ilusif, sejauh prasangka tetap ‘bukan yang ada’. Apapun prasangka kita tentang sesuatu atau seseorang bukanlah sesuatu atau seseorang itu seperti apa ia adanya bukan? Makanya, kecenderungan berprasangka merupakan sesuatu yang —secara internal— sangat ilusif, sangat mudah membuat kita terkecoh, terkelabui, tertipu. Kecintaan kita pada diri ini —atau yang juga disebut dengan rasa iba-diri— misalnya, bisa merupakan sesuatu yang luarbiasa ilusifnya. Bahkan, kita bisa dibuatnya bertindak tidak adil, berat sebelah, membela dan melindungi diri secara tidak proporsional, bahkan semena-mena terhadap orang atau makhluk lain. Kita bisa dibuatnya bertindak sedemikian kejinya, sedemikian tak berprikemanusiaannya.

Begitulah ... dalam banyak hal dan banyak kejadian kita temukan kalau egoisme merupakan ilusi terbesar bagi setiap orang. Ia bisa membuat kita berpikir, berbicara dan bertindak sama-sekali diluar akal-sehat, diluar pengetahuan yang sudah sedemikian banyak kita kumpulkan dengan bersusah-payah itu, diluar —apa yang kita anggap sebagai— pengalaman-pengalaman dan pencapaian-pencapaian spiritual kita.


Meditate on the Self. One without two, exalted awareness.Give up the illusion of the separate self.Give up the feeling, within or without, that you are this or that.

~ Ashtavakra Gita 1:13.

Renungan Indah


[ WS Rendra ]

Seringkali aku berkata, Ketika semua orang memuji milikku Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya :
Mengapa Dia menitipkan padaku ??? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ??? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu???

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua "derita" adalah hukum bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika : aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk
beribadah. "Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".....

Antarkan Manusia pada Kehancuran...



Further false and material pictures are so impressed upon the sensitive minds of people that they are thrown into further states of hypnosis.... that it is not what appears that is the reality of life.

~ Baird T. Spalding.



Betapapun juga, mesti kita akui kalau kehidupan duniawi adalah kehidupan materialistik. Kita seakan-akan dipaksa demikian, dipaksa untuk jadi materialistis, karena bak terhipnotis, kita —sedemikian rupa— dibuat percaya kalau kenikmatan, kenyaman, ketenangan, rasa aman serta kesenangan hidup —yang secara keseluruhan sebut saja kama— hanya bisa dicapai melalui penguasaan dan penggunaan materi (artha). Akibatnya, karena kita juga mengelirukan bahwa kebahagiaan itu sendiri adalah terpenuhinya nafsu-keinginan (kama), dimana kita beranggapan kalau hanya dengan begitu kita bisa merasa bahagia, maka kitapun dibuat bertekuk-lutut dan dengan suka-rela mengabdi kepada artha.

Bagi kebanyakan dari kita, itulah kehidupan; karena itulah satu-satunya pri-kehidupan yang kita kenal. Kalaupun di permukaan kita terlihat melakukan berbagai aktivitas kultural dan spiritual-relijius, maka yang kita tuju, yang menjadi sasaran kita adalah itu —penguasaan artha guna pemenuhan kama. Bagi kebanyakan dari kita reliji hanyalah sekedar kendaraan guna mendapatkan semua itu, semua yang secara keliru kita anggap sebagai kebahagiaan hidup.

Hanya sesudah seseorang mengalami keterpurukan, diterpa berbagai kekecewaan hidup —akibat beranggapan keliru seperti itu— barulah ia mulai berpaling kepada spiritualitas, pada esensi dari ajaran semua agama. Bahkan, tak sedikit malah yang sudah sedemikian terpuruknya, masih saja meyakin-yakinkan diri untuk tetap hidup di biduk yang sama, bukan saja lantaran tak kenal apa itu spiritualitas, melainkan dengan pengharapan kalau-kalau suatu ketika segala sesuatunya berubah membaik, seperti halnya yang baik berubah memburuk. Mereka mencoba meyakin-yakinkan dirinya bahwa ‘badai pasti berlalu’.

Berpri-kehidupan benar jelas bukan berkehidupan dengan sepenuhnya menggantungkan kebahagiaan pada artha dan kama —tanpa sama-sekali mengenal dan menerapkan ajaran-ajaran spiritual. Justru sebaliknya; berpri-hidupan benar adalah kehidupan di atas biduk dharma, tanpa peduli dampak samping daripadanya yang berupa perolehan artha dan pemenuhan kama. Hanya kehidupan seperti inilah yang mengantarkan kepada kebebasan dan kebahagiaan sejati.

Kehidupan duniawi, ragawi —yang terus-menerus memburu pemuasan nafsu-keinginan, pemanjaan indriawi, yang juga disebut dengan kehidupan hedonis itu— hanya akan mengantarkan umat manusia kepada kehancurannya. Kenapa? Karena ia telah jatuh ke tataran terendah dari esensi keberadaannya yang sebetulnya keilahian, telah ‘dikendarai kendaraan’, ‘diperalat alat’, ‘diperbudak budak’.

Dimana Letak Bahagia Anda?


Kemarin,saya terima e-mail dari Anne Ahira karena saya memang berlangganan newsletter "Think & Succeed" nya yang keren itu. Dan yang kemarin itu benar-benar mampu membuat saya termenung dan sesaat menjadi manusia bodoh... E-mail yang membahas tentang arti sebuah kebahagiaan itu akan saya bagi untuk anda semua....

"Tempat untuk berbahagia itu ada di sini. Waktu untuk berbahagia itu kini. Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia" - Robert G. Ingersoll

Sungging, apakah saat ini merasa bahagia?

Di mana letak kebahagiaan Sungging sesungguhnya? Apakah pada moleknya tubuh? ...Jelitanya rupa? ...Tumpukan harta?....atau barangkali punya mobil mewah & tingginya jabatan?

Jika itu semua sudah Sungging dapatkan, apakah Sungging bisamemastikan bahwa Sungging *akan* bahagia?

Hari ini saya akan mengajak Sungging untuk melihat, kalau limpahan harta tidak selalu mengantarkan pada kebahagiaan

Dan ini kisah nyata...

Ada delapan orang miliuner yang memiliki nasib kurang menyenangkan di akhir hidupnya. Tahun 1923, para miliuner berkumpul di Hotel Edge Water Beach di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mereka adalah kumpulan orang-orang yang sangat sukses di zamannya.

Namun, tengoklah nasib tragis mereka 25 tahun sesudahnya! Saya akan menyebutnya satu persatu :

=> Charles Schwab, CEO Bethlehem Steel, perusahaan besi baja ternama waktu itu. Dia mengalami kebangkrutan total,hingga harus berhutang untuk membiayai 5 tahun hidupnya sebelum meninggal.

=> Richard Whitney, President New York Stock Exchange.Pria ini hrs menghabiskan sisa hidupnya dipenjara Sing Sing.

=> Jesse Livermore (raja saham "The Great Bear" di Wall Street), Ivar Krueger (CEO perusahaan hak cipta), Leon Fraser (Chairman of Bank of International Settlement), ketiganya memilih mati bunuh diri.

=> Howard Hupson, CEO perusahaan gas terbesar di Amerika Utara. Hupson sakit jiwa dan meninggal di rumah sakit jiwa.

=> Arthur Cutton, pemilik pabrik tepung terbesar di dunia, meninggal di negeri orang lain.

=> Albert Fall, anggota kabinet presiden Amerika Serikat, meninggal di rumahnya ketika baru saja keluar dari penjara.

Kisah di atas merupakan bukti, bahwa kekayaan yang melimpah bukan jaminan akhir kehidupan yang bahagia!

Kebahagiaan memang menjadi faktor yang begitu didambakan bagi semua orang. Hampir segala tujuan muaranya ada pada kebahagiaan. Kebanyakan orang baru bisa merasakan *hidup* jika sudah menemukan kebahagiaan.

Pertanyaannya... di mana kita bisa mencari kebahagiaan? Apakah di pusat pertokoan? Salon kecantikan yang mahal? Restoran mewah? Di Hawaii? di Paris? atau di mana?

Sesungguhnya, kebahagiaan itu tdk perlu dicari kemana-mana... karena ia ada di hati setiap manusia.

Carilah kebahagiaan dalam hatimu! Telusuri 'rasa' itu dalam kalbumu!
Percayalah, ia tak akan lari kemana-mana...


Hari ini saya akan berbagi tips bagaimana kita sesungguhnya bisa mendapatkan kebahagiaan *setiap hari*. Berikut adalah tips yang bisa Sungging lakukan:

1. Mulailah Berbagi!

Ciptakan suasana bahagia dengan cara berbagi dengan orang lain. Dengan cara berbagi akan menjadikan hidup kita terasa lebih berarti.

2. Bebaskan hati dari rasa benci, bebaskan pikiran dari segala kekhawatiran.

Menyimpan rasa benci, marah atau dengki hanya akan membuat hati merasa tidak nyaman dan tersiksa.

3. Murahlah dalam memaafkan!

Jika ada orang yang menyakiti, jangan balik memaki-maki. Mendingan berteriak "Hey! Kamu sudah saya maafkan!!".

Dengan memiliki sikap demikian, hati kita akan menjadi lebih tenang, dan amarah kita bisa hilang. Tidak percaya? Coba saja! Saya sering melakukannya. :-)

4. Lakukan sesuatu yang bermakna.

Hidup di dunia ini hanya sementara. Lebih baik Sungging gunakan setiap waktu dan kesempatan yang ada untuk melakukan hal-hal yang bermakna, untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Dengan cara seperti ini maka kebahagiaan Sungging akan bertambah dan terus bertambah.

5. Dan yang terakhir, Sungging jangan terlalu banyak berharap pada orang lain, nanti Sungging akan kecewa!

Ingat, kebahagiaan merupakan tanggung jawab masing-masing, bukan tanggung jawab teman, keluarga, kekasih, atau orang lain.

Lebih baik kita perbanyak harap hanya kepada Yang Maha Kasih dan Kaya. Karena Dia-lah yang menciptakan kita, dan Dia-lah yang menciptakan segala 'rasa', termasuk rasa bahagia yang selalu Sungging inginkan. ^_^


Thanks a lot Anne....

Bercerminlah...

Apakah anda pernah bercermin? Pasti semua sering bercermin selesai mandi atau ketika merapihkan baju, atau bagi wanita ketika bersolek, apa yang kita lihat di cermin, jawabnya adalah bayangan diri kita bukan apa yang terlintas di dalam pikiran anda ketika bercermin dan melihat diri anda di cermin itu pada umumnya yang akan kita lakukan adalah sebagai berikut Mungkin terlintas : aku ini cukup ganteng / cantik juga, rambut sudah tapi belum ya, pakaian sudah cocok belum. Kadang kita melihat bayangan kita :loh ada jerawat, atau muka kelihatan kusam, dan sebagainya. Hasil dari pengamatan bayangan kita di cermin akan terlihat dari tindakan kita selanjutnya. Bila kita merasa bayangan yang kita lihat di cermin sudah “ok”, maka kita akan merasa percaya diri, tapi jika kita melihat “noda jerawat” atau kulit kusam, kita akan kurang percaya diri, mungkin kita akan segera mengambil sabun pembersih wajah dan mulai membersihkan wajah kita agar terlihat lebih bersih.

Sesekali, jika kita bercermin, pandanglah wajah yang terpantul di dalamnya. Wajah siapakah itu? Wajah itukah yang sesungguhnya kita harapkan ada di dalamnya? Wajah kitakah? Atau wajah orang-orang lain yang kita inginkan sama dengan kita? Puaskah kita dengan wajah yang itu? Adakah raut kekesalan dan kekecewaan saat kita memandang wajah itu?

Ya, sesekali jika kita bercermin, cobalah menengok jauh ke dalam tabir yang menutupi wajah itu. Mampukah kita membelah tabir diri yang selalu menutupi segala perbuatan dan kehidupan kita ini? Sebab sesungguhnya, kita selalu hidup dalam dua dunia yang berbeda. Dunia yang kita hidupi. Dan dunia yang dikenali oleh orang-orang lain terhadap kita. Rahasia. Kita semua menyimpan rahasia diri dalam tabir wajah kita. Rahasia, yang sebagai tabir tebal tak mampu dan bahkan tak ingin kita koyakkan. Karena itu akan membuat kita risih dan merasa telanjang. Tetapi seberapa mampukah kita membuka tabir diri kita sendiri dan melepaskan segala beban kepura-puraan yang menutupi hidup kita ini?

Memang, betapa banyaknya beban diri yang kita tanggung hanya karena ketidak-beranian kita untuk membuka hidup kita bagi orang lain. Kita malu dan enggan untuk dikenali secara utuh. Kita ingin sembunyi dalam topengkebahagiaan. Padahal, siapakah yang dapat bahagia selain dari mereka yang mampu hidup tanpa beban untuk menutupi segala kepura-puraannya sendiri? Siapakah yang selalu dapat bertindak leluasa tanpa rasa takut bahwa topengnya akan terbuka? Siapakah itu?

Sesekali, jika kita bercermin, kenalilah wajah yang terpantul di dalamnya. Kenalilah dia seutuhnya. Koyakkanlah tabir yang menutupi seulas senyum yang kita buat telah mengoyakkan segala topeng-topeng tebal yang telah menutupi kehidupan kita. Mari kita sama - sama belajar melihat cermin diri yang benar tentang diri kita, tentang siapa diri kita tentang topeng yang kita pakai, Mulai lah bercermin dan sadari segala kelemahan diri untuk mencapai sebuah kekuatan diri kita yang hakiki.

Menjadi Apa Adanya

Untuk menjadi apa adanya Anda merupakan urusan yang luarbiasa sulit; jika Anda benar-benar bangun, Anda tahu semua hal ini berikut semua dukacitanya. Makanyalah Anda membenamkan diri Anda dalam kerja, dalam kepercayaan Anda, dalam cita-cita fantastis dan meditasi-meditasi Anda. Dengan begitu Anda jadi tua dan siap untuk dikubur, bila Anda belum mati di dalam.

Guna menyisihkan semua ini —berikut kontradiksi-kontradiksinya serta dukacitanya yang terus meningkat itu dan menjadi ‘bukan apa-apa’ [nothing] — merupakan hal yang paling alamiah dan paling cerdas, untuk diperbuat. Tapi sebelum Anda bisa menjadi ‘bukan apa-apa’, Anda harus menggali dan memunculkan mereka semua ke permukaan; Anda harus membongkarnya, dan dengan demikian Anda memahaminya. Guna memahami paksaan-paksaan dan desakan-desakan tersembunyi ini, Anda harus awas tanpa pilih-bulu terhadapnya, sama halnya dengan terhadap kematian; kemudian, di dalam tindakan murni menyaksikan ini, mereka akan meredup dan Andapun akan tanpa dukacita dan dengan demikian jadi ‘bukan apa-apa’.

Jadi ‘bukan apa-apa’ bukanlah suatu keadaan negatif; penyangkalan terhadap apa Anda selama ini sendiri merupakan tindakan paling positif, tapi bukan reaksi positif yang adalah kelembaman [inaction]; kelembaman inilah yang menyebabkan dukacita. Penyangkalan-diri adalah kebebasan. Aksi positif ini memberi enerji, dimana sekedar gagasan-gagasan saja malah menguras enerji. Gagasan adalah waktu; dan hidup di dalam waktu adalah disintegrasi, adalah kesengsaraan.

Kupu-Kupu Gendut

Dunia adalah bejana suci,Ia tidak boleh disalahgunakan,

Barangsiapa menyalahgunakan akan menghancurkannya.

Barangsiapa mendambakan akan kehilangan.


Ada sebuah kisah yang sangat membekas dalam benak saya, yaitu kisah tentang seekor kupu-kupu yang gendut. Begini kisahnya: Terdapatlah seekor ulat muda yang sangat ambisius… setelah membaca dari berbagai buku tahulah ulat muda itu, bahwa tujuan hidupnya adalah menjadi seekor kupu-kupu yang cantik. Dia begitu terkesima dengan rencana alam yang disediakan untuknya. Maka ia pun bertekad untuk menjadi kupu-kupu yang paling besar di antara teman-temannya. Maka mulailah ia menyiksa dirinya: ia tak henti-hentinya makan. Ketika teman-temannya asyik bermain atau istirahat, ulat muda yang ambisius ini makan tak habis-habisnya…. Dengan harapan agar tubuhnya makin gendut… agar dia menjadi yang paling hebat di antara semua temannya. Makan bukan lagi sebuah kesenangan atau keasyikan baginya, tapi sebuah kerja-keras, upaya mati-matian demi mencapai ambisinya. Maka terjadilah seperti apa yang ia bayangkan: tubuhnya makin hari makin bertambah gendut. Dan padasaat tiba musim kepompong, ulat muda inipun menjadi kepompong seperti ulat-ulat yang lain. Namun sunggguh ironis, ketika kepompongnya pecah dan ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu… tubuhnya terlalu gendut sehingga kupu-kupu malang itu tidak bisa terbang.

Kadang kita pun sama bodohnya dengan ulat muda itu. Dalam mengejar tujuan kita, suatu tujuan yang kita anggap serius dan sangat berharga, kita justru kehilangan segalanya. Katakanlah seorang anak muda yang menyiksa dirinya belajar dan bekerja terlalu keras, sehingga melupakan sukacita di masa muda, dengan harapan akan menjadi seorang yang kaya-raya di kemudian hari… dan ketika tiba masa tuanya, dia meraih apa yang ia dambakan: uang yang banyak, harta yang melimpah…. Namun dia tua dan sakit-sakitan dan seluruh kekayaannnya hanya habis untuk berobat ke luar negeri. Ia kehilangan masa mudanya yang berharga.

Orang lain mungkin punya tujuan untuk masuk surga… dan karena tujuan menjadi begitu penting maka berlaku hukum makin cepat sampai kepada tujuan, makin baik. Maka ada beberapa orang yang melakukan aksi bom bunuh diri dengan harapan agar segera tercapai apa yang menjadi tujuan hidupnya: yaitu masuk surga.

Tapi apakah sesungguhnya tujuan yang begitu penting dalam hidup ini? Benarkah ada tujuan semacam itu di dalam penciptaan semesta ini? Apakah sesungguhnya makna hidup ini? Dalam tradisi Hindu dikatakan bahwa Dewata menciptakan dunia karena lila, yang dalam bahasa Sansekerta berarti bermain. Penciptaan adalah sebuah suka cita, sebuah kesenangan dan perayaan besar! Menurut saya itulah maknanya yang hakiki. Jika kita melupakan hal itu, kita kehilangan segalanya. Dan bukankah alam semesta juga menyiratkan hal yang serupa: untuk apakah rumput bergoyang? Untuk apakah ombak berdebur di pantai? Atau burung berkicau? Adakah sesuatu yang ‘sangat serius’ yang akan menjadi tujuan akhirnya? Ombak di pantai selamanya akan tetap berdebur… tak akan ada hasil akhirnya. Namun bukankah seringkali kita begitu merindukan untuk duduk di tepi pantai dan menikmati deburannya? Dalam kesederhanaan yang begitu agung, kita menemukan makna penciptaan yang paling mendalam.

Dan omong-omong, bukankah malaikat dapat terbang karena ia begitu ringan?

Keangkuhan Spiritual = Bahaya !

Yang punya sifat angkuh, walaupun hanya punya, tahu, atau bisa sedikit saja bisa menunjukkan keangkuhannya; apalagi punya banyak, tahu dan bisa melakukan banyak hal. Dan kalau yang angkuh ini menekuni kehidupan spiritual dan berhasil menguasai kemampuan-kemampuan spiritual tertentu, bisa kita bayangkan bagaimana jadinya.

Keangkuhan fisikal —yang berhubungan dengan tubuh yang sehat-kuat, wajah yang cantik atau ganteng, postur tubuh yang proporsional dan seksi, kebugaran, wajah yang berseri-seri, dan sejenisnya— serta keangkuhan material —yang berhubungan dengan kekayaan atau penguasaan harta-benda— maupun keangkuhan intelektual —yang berhubungan dengan intelektualitas seperti: kepinteran, keakhlian, kecerdasan, dan sejenisnya— masih belum seberapa daya rusaknya dibandingkan keangkuhan spiritual ini.

Kekuatan spiritual jauh melampaui kekuatan fisikal atau material, atau bahkan intelektual. Keangkuhan spiritual, bukan saja destruktif bagi yang mengidapnya, namun juga bisa teramat sangat destruktif bagi orang-orang dan makhluk di sekitarnya. Betapa tidak kalau ia bisa saja mencelakai banyak orang dan makhluk-makhluk lain, hanya dengan “diam”, dimana ia seakan-akan tidak berbuat apa-apa.

Menyadari fakta ini, sudah sejak dahulu kala para peletak batu-pertama dan para tetua duania spiritualitas telah menetapkan ajaran etika-moral —sila atau susila— sebagai landasan dari kehidupan spiritual manapun. Seorang Guru spiritual yang baik misalnya, tidak akan gegabah dengan serta-merta melatih para siswanya dengan laku-laku spritual —yang langsung mengakibatkan terbangkitkannya kekuatan-kekuatan spiritual (siddhi-siddhi) tertentu— tanpa memastikan kwalitas etika dan moralitas para siswanya. Hanya untuk membenahi etika dan moralitasnya saja, seorang siswa pembelajar bisa menghabiskan waktu belasan hingga puluhan tahun. Dan itupun tidak berhenti sampai disitu saja; landasan etika-moral ini harus terus dipelihara seumur-hidupnya, harus dijadikan dasar-landasan si siswa spiritual di dalam menjalani seluruh kehidupannya. Makanya, kalau segala sesuatunya memang berjalan betapa mestinya, seorang spiritualis sejati manapun dapat dipastikan beretika-moral tinggi.

Bagi pembelajar spiritual yang kurang-sabaran, apalagi yang motivasi-awalnya memang hanya untuk memperoleh siddhi-siddhi saja, masa-masa penempaan etika-moral —yang bisa menghabiskan sedemikian banyak waktu ini— bisa sangat melelahkan dan membosankan —dimana ia tidak merasakan terjadinya kemajuan spiritual sedikitpun— sehingga membuatnya mengurungkan niat. Padahal, setiap penerapan satu sila dengan baik, sang siswa akan memperoleh satu siddhi halus —yang tentunya belum bisa ia rasakan, sehingga tidak ia sadari. Setidak-tidaknya, dengan menerapkan sila dalam kehidupannya, seorang siswa spiritual telah menyiapkan wadah bersih yang kian membesar, untuk menampung kucuran bukan saja berbagai siddhi tetapi juga kebijaksanaan atau prajña.

Kita tahu, keangkuhan manapun, apalagi keangkuhan spiritual, merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Menyadari ini, siswa spiritual yang baik manapun semestinya tidak merasa dirinya terlalu rendah untuk menerapkan susila atau keluhuran budi ini di dalam kehidupannya.

I'm Not a Slave !


Anda bukan budak. Perbudakan dalam bentuk apapun tidak pernah menjadikan Anda sebagai diri Anda sendiri, betapapun terasa menyenangkannya perbudakan itu. Bebas dari perbudakan adalah menjadi diri sendiri.

Adakah perbudakan yang menyenangkan? Mungkin begitu pertanyaan Anda. Perbudakan oleh hal-hal ‘yang menyenangkan’ —yang bisa diberikan oleh kenikmatan indriawi— justru bentuk perbudakan yang paling halus, yang paling samar, yang paling mengelirukan, dimana Anda segera akan dibuatnya bertekuk-lutut tanpa syarat, untuk kemudian menjadi budak setianya secara sukarela seumur-hidup.

Budak kesenangan duniawi, budak kenikmatan indriawi, budak pemanjaan perasaan boleh jadi merupakan kelompok populasi terbesar di kalangan umat manusia. Besar kemungkinannya kalau Anda dan saya merupakan anggota aktif dari kelompok ini. Tapi sadarkah kita akan kondisi yang menyedihkan ini? Sadar akan perbudakan, adalah awal kebebasan.

Buah adalah Benihnya

Pada sebidang tanah yang sama seorang petani menanam dua benih. Satu benih adalah tebu, dan yang satunya lagi neem, tanaman tropis yang pahit. Dua benih ditanah yang sama, air yang sama, matahari yang sama dan udara yang sama. Alam memberi nutrisi yang sama pada kedua tanaman itu. Kedua tanaman itupun mulai tumbuh. Apa yang terjadi? Tanaman Neem tumbuh dan berkembang dengan rasa pahit di-setiap seratnya. Dan Tebu tumbuh dan berkembang dengan rasa manis di-setiap seratnya. Mengapa Tuhan begitu baik pada yang satu dan begitu kejam pada yang lainnya.

Alam tidak kejam pun tidak baik. Namun Alam bekerja dalam kuhum yang pasti. Alam hanya membantu agar benih-benih itu bertumbuh. Alam memberi nutrisi untuk mengungkap sifat-sifat tanaman itu. Benih Tebu yang memiliki sifat manis, oleh karenanya tanaman itu tak bisa lain kecuali manis. Dan Neem yang memiliki sifat pahit, oleh karenanya tanaman itu tak bisa lain kecuali pahit. Sebagaimana benihnya demikian pula buahnya.

Si Petani karena kepercayaannya, pergi ke pohon Neem, memberi persembahan bunga-bunga, buah-buahan, lilin dan dupa, seraya membungkuk 3X dan mengelilingi pohon Neem itu 108X, sambil berdo’a dan mengucap mantra. “Oh dewa Neem, berilah aku buah mangga yang manis!!! Aku ingin mangga yang manis.” Kasihan dewa Neem yang malang itu, dia tak punya kuasa untuk memberikan buah mangga yang manis.

Apabila seseorang ingin buah mangga yang manis, dia mesti menanam benih mangga yang manis, sehingga dia tak perlu menangis memohon kepada dewa yang manapun.

Kenapa kita sangat sulit melihat realita dalam hidup ini? Hal ini sangat bersahaja bukan? Barangkali karena kebodohan saya, yang selalu sembrono dalam menanam benih. Saya selalu menanam benih Neem dan pada saat berbuah, saya menginginkan buah yang manis, dan itu tak terjadi. Maka itu saya menangis dan memohon kepada langit. Permohonan yang bodoh ini tak’an pernah memberi saya buah yang manis, bukan?

Kenapa Kematian Begitu Menakutkan?


Manakala kita menatap yang tak dikenal dan mengabaikan rasa kedirian, maka yang tak dikenal itu berubah dari menakutkan menjadi sesuatu yang misterius, penuh dengan ketakjuban. Batin dibiarkan dalam keterheranan, bukannya teror. Transmutasi inilah yang membebaskan, ia memerdekakan ...

Kematian menjadi sesuatu yang sedemikian menakutkan bagi kebanyakan dari kita karena, bagi kita, ia ‘serba gelap’. Kita serba tidak tahu tentangnya. Pada saat yang bersamaan, kita juga telah terlanjur mendengar dan mempercayai sedemikian banyak ‘takhyul’ tentang itu. Yang lebih menakutkan lagi adalah, sangkaan kita bahwasanya kematian sama artinya dengan ‘peniadaan eksistensi secara total’. Kita menyangka, dengan mati serta hancur-leburnya jasad ini, musnah juga seluruh eksistensi kita ini. Kita beranggapan demikian karena kita terlanjur mengidentikkan keberadaan kita dengan keberadaan atau keutuhan jasad ini.

Alih-alih memberi rasa yakin di dalam menghadapi kematian, berbagai ‘takhyul’ itu malah menimbulkan keraguan besar, rasa waswas, ketidak-pastian, mengingat mereka jauh dari fakta eksperensial kita tentang keberadaan —sesuatu yang luarbiasa penting bagi kita— itu sendiri. Faktanya, kita ‘merasa ada’. Baik dalam jaga maupun mimpi, kita ‘merasa ada’. Diri ini ada, benar-benar eksis. Dan rasa ini tiada terbantahkan. Argumentasi sehebat apapun diberikan untuk menyanggah rasa itu, tidak akan mau kita terima. Fakta lain terkait dengan keberadaan diri ini seperti penuaan, pengkerutan, dan jenis-jenis degradasi lainnya, tetap tidak menyangkal keberadaannya.

Anggapan bahwasanya kita hanya ada kalau diri ini juga ada, atau segenap keberadaan semata-mata adalah keberadaan dari si diri ini telah sedemikian kuatnya merasuki kalbu ini. Bagi kebanyakan dari kita, secara eksperensial dan emosional, ini merupakan kebenaran satu-satunya yang tidak bisa diganggu gugat lagi.

B a n j i r

Seorang Guru mengabarkan peringatan dari Tuhan tentang banjir yang akan melanda kota. Demikian besar banjir yang akan menimpa kota sehingga seluruh penduduk kota harus diperingatkan agar mereka bersiap-siap menghadapinya. Guru mengatakan, banjir besar itu sesungguhnya adalah hukuman dan pemurnian negeri itu atas dosa-dosa yang dilakukan penduduknya.

Guru menceritakan penilaian Tuhan atas negeri dan kota itu. Para pemimpin negeri telah meminta berkat kepada para jin dan iblis. Para pemimpin agama sibuk dengan urusan kekuasaan dan mengobarkan kebencian. Pemujaan dan bakti hanya terucap di mulut dan tidak lahir dari hati. Segala jenis kejahatan dan kedurjanaan telah dilakukan penduduk negeri.

Maka bertebaranlah para murid mengabarkan penghakiman Tuhan itu. Berpencaranlah mereka menyampaikan kabar kepada saudara, tetangga, dan siapapun yang dikenalnya. Dalam kesibukan kota yang tak pernah mati, sebagian penduduk hanya melihat peringatan itu dengan sinis. Tetapi yang takut sibuk meninggikan rumah dan menyelamatkan hartanya setelah mendengar kabar dari para murid itu.

Dan guru pun meminta para murid untuk membawa keluarganya ke bukit untuk menyelamatkan diri. Dan di puncak bukit itu mereka berkumpul, bermain, dan bekerja sembari menunggu penyelamatan yang dijanjikan-Nya.

Tapi hari itu tak kunjung tiba. Awan gelap, mendung, dan hujan bercucuran,
tetapi banjir yang diperingatkan itu tak kunjung tiba. Dan kegelisahan semakin memuncak. Mereka mulai mempertanyakan kredibilitas janji Tuhan yang tak ditepati-Nya. Mereka mengkhawatirkan kredibilitas nama Tuhan. Dan mereka mencemaskan kredibilitas mereka sendiri di hadapan manusia. Kegelisahan semakin memuncak sampai akhirnya mereka tak mampu lagi menahan diri untuk tidak mencari pertanggung-jawaban atas semua yang terjadi.

Ketika guru mereka tetap diam saja tak memberikan alasan ataupun pembelaan apapun, mengadulah mereka kepada Tuhan. Tapi Tuhan justru bertanya kepada mereka, dan terjadilah dialog ini:

“Mengapa kamu mengabarkan bencana itu kepada penduduk kotamu?”

“Karena kami ingin menyelamatkan mereka dari bencana, Tuhan,” kata seorang
murid.

“Apakah mereka mendengarkan yang kalian peringatkan?”

“Tidak ya Tuhan. Sebagian besar diantara mereka tetap dalam kesibukannya dan
tak mempedulikan peringatan Tuhan yang kami sampaikan.”

“Lalu, mengapa kalian mengungsi ke tempat ini?”

“Karena kami percaya dengan peringatan-Mu, Tuhan. Karena kami mentaatimu dan mengharapkan keselamatan dari-Mu.”

“Apakah kamu sakit hati karena penolakan mereka atas peringatan yang kamu
sampaikan?”

“Tidak ya Tuhan”

“Apakah kamu menginginkan keselamatan penduduk negerimu atau kamu ingin
kebenaranmu terbukti dan dirimu dinyatakan sebagai orang yang benar?”

Suasana hening. Tak seorang pun berani menjawab. Lengang.

“Karena ketaatanmu, Kuberikan kamu berkat: Aku akan mengabulkan doamu. Kamu boleh mendoakan keselamatan penduduk negeri yang mengingkarimu. Jika kamu berdoa seperti itu, maka banjir itu Ku tunda. Tetapi kamu akan ditimpa rasa
malu yang sangat besar dan mereka akan mempertanyakan kebenaranmu.”

“Tetapi kamu dapat berdoa yang lain kepada-Ku. Kamu boleh meminta-Ku agar Aku menepati janji-Ku. Dan jika itu yang kamu lakukan, maka aku akan meluluh-lantakkan negerimu dengan banjir seperti yang telah Ku janjikan karena mereka memang layak menerima hukuman itu atas segala kedurjanaan yang mereka lakukan.”

“Pilihan ada padamu...”

Bebas Kekerasan !!!

This is my simple religion. There is no need for temples;no need for complicated philosophy. Our own brain, our own heart is our temple;the philosophy is kindness. [ Dalai Lama XIV ]

“Yang menurut saya benar adalah Kebenaran satu-satunya. Yang di luar itu tidak bisa dianggap benar”. Walaupun tidak secara eksplisit, saya kira secara implisit Anda pernah mendengar lontaran sejenis. Yang seperti ini biasanya dilontarkan oleh kaum fanatik.

Mereka ‘memborong Kebenaran’ hanya bagi kaumnya. Dan mereka inilah yang sering kita lihat suka menghakimi anutan, keyakinan, agama, kepercayaan, ajaran atau sejenisnya dari orang lain, yang mereka anggap sebagai bukan kaumnya. Bagi mereka, yang tidak sepaham adalah ‘musuh’, setidak-tidaknya pesaing atau kompetitornya.

Dan disinilah berbagai bentuk kekerasan bermula.
Makanya, dalam intensitas tertentu, kekerasan senantiasa menyertai kaum fanatik. Fanatisme —dalam bidang apa saja— tidak bisa benar-benar bebas dari kekerasan, pemaksaan, penekanan, deskriminasi atau sejenisnya; mereka seiring-sejalan. Dimana terlihat kekerasan, terselip fanatisme di baliknya. Oleh karenanya, membebaskan diri dari fanatisme, juga berarti membebaskan dari kekerasan.