Bebas Kekerasan !!!

This is my simple religion. There is no need for temples;no need for complicated philosophy. Our own brain, our own heart is our temple;the philosophy is kindness. [ Dalai Lama XIV ]

“Yang menurut saya benar adalah Kebenaran satu-satunya. Yang di luar itu tidak bisa dianggap benar”. Walaupun tidak secara eksplisit, saya kira secara implisit Anda pernah mendengar lontaran sejenis. Yang seperti ini biasanya dilontarkan oleh kaum fanatik.

Mereka ‘memborong Kebenaran’ hanya bagi kaumnya. Dan mereka inilah yang sering kita lihat suka menghakimi anutan, keyakinan, agama, kepercayaan, ajaran atau sejenisnya dari orang lain, yang mereka anggap sebagai bukan kaumnya. Bagi mereka, yang tidak sepaham adalah ‘musuh’, setidak-tidaknya pesaing atau kompetitornya.

Dan disinilah berbagai bentuk kekerasan bermula.
Makanya, dalam intensitas tertentu, kekerasan senantiasa menyertai kaum fanatik. Fanatisme —dalam bidang apa saja— tidak bisa benar-benar bebas dari kekerasan, pemaksaan, penekanan, deskriminasi atau sejenisnya; mereka seiring-sejalan. Dimana terlihat kekerasan, terselip fanatisme di baliknya. Oleh karenanya, membebaskan diri dari fanatisme, juga berarti membebaskan dari kekerasan.

Kesederhanaan Hati


Kesederhanaan hati jauh lebih penting dan lebih signifikan ketimbang kesederhanaan pemilikan. Merasa cukup hanya dengan sedikit barang-barang secara komparatif merupakan hal yang lebih gampang. Melepas kenyamanan, atau berhenti merokok dan menghentikan kebiasaan-kebiasaan lain, tidak mengindikasikan kesederhanaan hati.

Ada seseorang yang melepaskan dunia dan hal-hal duniawi, namun nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan lainnya melahapnya; ia mengenakan jubah biarawan, akan tetapi ia tak mengenal kedamaian hati. Matanya selalu mencari-cari kesana-kemari, dan batinnya penuh dengan keraguan serta pengharapan.

Anda mengukur kemajuan dari pencapaian Anda berdasarkan standar-standar kebaikan ini: seberapa Anda telah berhenti ini dan itu, seberapa terkendali prilaku Anda, seberapa toleran dan baik-hati Anda, dan sebagainya ... dan sebagainya. Andapun telah belajar seni berkonsentrasi, dan Andapun menarik-diri dan masuk hutan, masuk biara atau masuk sebuah kamar gelap untuk bermeditasi; Anda melewati hari-hari Anda dalam persembahyangan dan kehati-hatian. Ke luar, Anda telah membuat kehidupan Anda sederhana, serta melalui perencanaan yang dipikirkan dan diperhitungkan matang-matang Anda mengharapkan kebahagiaan yang tidak berasal dari dunia ini.

Akan tetapi, apakah kesujatian dicapai melalui pengawasan dan sangsi-sangsi eksternal? Kendati kesederhanaan luar, menyingkirkan kenyamanan benar-benar perlu, tapi akankah prilaku ini membuka pintu kesujatian? Terbenam di dalam kenyamanan dan sukses memang membebani batin dan hati, makanya kita mesti bebas untuk bisa melakukan perjalanan (spiritual), namun kenapa kita terlalu menekankan pada prilaku yang tampak dari luar? Mengapa kita sedemikian berhasratnya untuk memberi kesan-kesan luar akan apa yang sedang kita lakoni, yang kita tuju? Apakah ini bukan penipuan-diri berupa ketakutan terhadap apa yang dikatakan orang-orang tentang kita? Mengapa kita merasa perlu untuk menyakinkan diri kita akan integritas kita? Bukankah semua masalah ini berlandaskan pada keinginan untuk bersungguh-sungguh, untuk diyakinkan akan kepentingan kita ‘untuk menjadi’?

Keinginan menjadi’ ini merupakan awal keruwetan. Dikendalikan oleh ‘keinginan menjadi’ yang terus-menerus kian meningkat ini, baik ke luar maupun ke dalam ini, kitapun mengumpulkan atau melepas, menanam atau menyangkal. Melihat kalau waktu mencuri segalanya, kitapun melekat pada yang abadi. Perjuangan ‘untuk menjadi’ ini —apakah secara positif ataukah negatif, apakah melalui kemelekatan ataukah ketidak-melekatan— tidak akan pernah bisa dipecahkan melalui tingkah-laku ke luar manapun, melalui disiplin atau latihan manapun; akan tetapi memahami adanya perjuangan ini akan menghadirkan —secara alamiah dan spontan— kebebasan dari pengumpulan ke luar maupun ke dalam berikut berbagai konfliknya.

Kesejatian tidak diraih lewat ketidak-melekatan; ia tak dicapai melalui cara apapun. Semua cara dan akhir hanyalah bentuk lain dari kemelekatan, dimana mereka mesti sirna demi hadirnya kesejatian.

Despiritualisasi sistematis

Untuk bisa menggunakan sebuah alat dengan baik, kita sekurang-kurangnya mesti mengetahui ‘apa’ alat itu, spesifikasi teknisnya, kekuatan dan kelemahannya, kelebihan dan kekurangannya; pendeknya segala sesuatu yang menyangkut alat itu bukan? Tapi, kebanyakan dari kita umumnya tidak cukup sabar dan ingin cepat-cepat bisa menggunakannya. Alih-alih mempelajari ‘apa’ ia adanya, umumnya kita langsung bertanya: “Bagaimana cara menggunakannya?”. Akibatnya, bukan saja banyak sandungan di jalan yang mesti kita alami sehingga banyak waktu dan enerji yang terbuang percuma tidak semestinya, kita malah merusak alat itu tanpa berhasil menggunakannya untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar berarti, yang sesuai dengan peruntukan dari alat itu sendiri.

Ini pulalah — tidak cukup sabar dan ingin cepat-cepat bisa— yang menjadi batu-batu sandungan internal dari seorang yang berminat untuk menekuni suatu jalan spiritual tertentu. Akibatnya, seperti yang dapat langsung kita amati, teramat banyak yang ‘mundur di tengah jalan’, tidak memperoleh kemajuan berarti walaupun telah menekuninya selama bertahun-tahun, frustrasi dan mengatakan kalau apa yang ditekuninya selama ini tidak menghasilkan apa-apa, atau malah sesat.

Walaupun memang benar kalau usia tidak bisa diterka, sehingga apa yang bisa diselesaikan menit ini sebaiknyalah kita selesaikan menit ini juga, namun itu tidak semestinya membuat kita selalu terburu-buru, tidak sabaran, dan ingin cepat-cepat bisa —terlebih lagi di dalam berjalan di jalan yang satu ini. Rentang waktu yang telah dilalui didalam menekuninya, tidaklah menjamin seorang penekun mencapai suatu jenjang atau keakhlian tertentu, layaknya di dalam menuntut ilmu di dunia sekuler. Sekulerisme besar-besaran —yang diawali di dunia Barat sejak beberapa abad belakangan itu— yang telah sedemikian meluasnya di dunia sekarang ini, punya andil yang luarbiasa signifikan di dalam membentuk pola-pikir kolektif, bahkan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.

Dan, saking terpolakannya kita, kita malah tak segan-segan menjatuhkan tuduhan sebagai takhyul, klenik, atau sejenisnya, terhadap setiap hal yang berhubungan dengan spiritual. Kita telah membuat sebentuk pemisahan tegas antara sekulerisme dengan spiritualisme. Atau setidak-tidaknya, kita menuntut dunia spiritual agar bisa membahasakan dirinya lewat gramatika sekuler sehingga bisa dijelaskan, dipelajari dan dimengerti, bahkan dibuktikan secara ilmiah. Dan lucunya, banyak penekun spiritual yang berusaha keras menanggapi tuntutan ini, sampai pada batas-batas ‘pemerkosaan’, melalui jargon ‘membumikan’ spiritualisme.

Namun apa yang terjadi? Bukan saja penyimpangan-penyimpangan, bias-bias disana-sini, ‘penyesatan’-pun sepertinya tiada terelakkan. Sekulerisme adalah saudara dekat dari materialisme, tampak bahwa tak sedikit orang yang tampak dengan gigihnya melakukan upaya “despiritualisasi” —dengan cara mematerialisasikan spiritualitasnya— secara sistematis. Gejala mengglobal ini tampak kian niscaya di berbagai pojok bumi akhir-akhir ini. Adakah ini pertanda dari kesurutan spiritualisme dan spiritualitas umat manusia itu sendiri? Adakah ini pertanda dari akan kian mendominasinya materialisme di muka bumi ini? Entahlah …..

Siapa takut menderita ?


Adanya rasa takut, apapun bentuk ketakutan itu, merupakan salahsatu ciri utama dari penderitaan. Kita tahu, tergantung apa yang ditakuti, ketakutan bisa mengambil banyak bentuk: takut pada kematian, takut kehilangan, takut terabaikan atau disepelekan, takut sakit, takut dilukai atau disakiti, takut tidak dihargai, takut sendirian, takut diremehkan, takut terlahir kembali di alam penderitaan ini dan seterusnya ...., yang pada intinya adalah takut menderita.

Tak pelak lagi, penderitaan hidup merupakan momok yang sangat menakutkan bagi kita; dimana, kalaupun mesti dilahirkan kembali sebagai manusia, kita berharap agar terlahir sebagai manusia yang tidak menderita bukan?

Takut menderita adalah salah satu ciri utama dari penderitaan hidup kita. Sekarang marilah kita lihat ‘siapa’ sebetulnya ‘yang takut’ itu? Kita tahu kalau ‘rasa takut’ itu sendiri adalah sebentuk emosi, sebentuk perasaan. Ia berada pada tataran mental-psikologis (mind) kita. Tataran fisikal-biologis (body) ini, tubuh ini sendiri —termasuk kesepuluh organ indria sensorik serta motoriknya— tidak pernah mengenal apa itu takut. Ia tidak punya rasa takut. Tataran mental-psikologis inilah yang punya rasa takut bukan?

Nah ... lebih luas lagi, apa yang selama ini kita anggap sebagai ‘diri’ kita umumnya adalah kedua tataran ini —tataran fisikal-biologis dan mental-psikologis. Si ‘diri’ —yang kita sebut sebagai ‘aku’— inilah yang merasa takut itu bukan? Padahal, kita tahu kalau keberadaan kita secara utuh tidaklah hanya terbatas pada kedua tataran itu saja. Ada tataran yang lebih halus dan lebih dalam lagi —yang sangat jarang kita sadari keberadaannya di dalam keseharian kita— yang kita sebut dengan tataran spiritual (soul), tataran rokhani, yang —dalam konteks ini— sangat mirip dengan tataran fisikal-biologis, yakni tidak mengenal rasa takut. Jadi sebetulnya, dua tataran dari tiga tataran yang ada, yang membentuk rasa keberadaan kita ini, tidak mengenal apa itu takut. Namun secara faktual, kita lebih sering dicengkeram rasa takut —yang notabene hanya berbobot sepertiga dari keseluruhan keberadaan kita. Kenapa?

Bukankah dapat dinyana —serta secara faktual dirasakan— kalau selama ini dalam keseharian kita kita rupanya memberi bobot terlalu besar kepada yang hanya sepertiga ini saja, memberi bobot terlalu besar kepada tataran mind saja? Fakta ini, bukan saja telah menghadirkan rasa takut —yang bahkan seringkali sedemikian mencekamnya, dan menjadi motivasi dasar dari seluruh tindakan kita di dalam menjalani kehidupan ini— namun juga telah membuat kita merasa menderita, membuat kita berpikir bahwa hidup ini adalah rangkaian dari berbagai bentuk penderitaan.

Love Illusion

Ada sebuah cerita....
Seekor monyet berteman dengan seekor ikan di suatu hutan. Suatu ketika si monyet melihat banjir akan melanda hutan tersebut. Si monyet karena rasa cintanya kepada temannya tersebut kemudian buru-buru mengangkat ikan temannya tersebut keatas pohon yang pikirnya akan menyelamatkan sang ikan dari banjir. Tetapi, ketika sang monyet melihat sang ikan hampir mati karena tidak bisa bernafas di atas pohon kemudian ia melepaskan ikan tersebut kembali kedalam air. Sang monyet minta maaf dan baru sadar bahwa dia terlalu sangat ingin membantu temannya hingga ia lupa bahwa sang ikan temannya tersebut mempunyai jenis kehidupan yang berbeda darinya.

-------****--------

Begitu sering kita mendengar atau mengucapkan kata cinta, tapi tahukah kita makna dari kata cinta yang sering kita dengarkan dan ucapkan tersebut?

"Love is when you are not" begitu krishnamurti menyebutkannya; Seperti cerita monyet dan ikan diatas, ketika kita mencintai seseorang, terapkan cinta tersebut berdasarkan keadaan yang kita cintai, bukan berdasarkan keadaan kita sendiri. Oleh karena itulah, maka disebut bahwa tindakan tanpa pamrih adalah realisasi dari cinta tulus kita.

Begitu juga, ketika kita dalam cinta yang tulus, kita bisa melihat kebaikan dan keindahan dalam segala hal dari yang kita cintai. Dan ketika kita dalam cinta, kita memberikan hanya yang terbaik yang bisa kita berikan kepada yang kita cintai.

Tetapi walaupun cinta berkaitan dengan sisi dari yang kita cintai, cinta harus dimulai dari diri kita sendiri. Bangkitkanlah cinta dalam diri kita sendiri terlebih dahulu, kemudian kembangkan kekuatan untuk menyerap cinta yang tulus dari "langit", sehingga kita memiliki kekuatan untuk menyerap cinta yang tulus dari "bumi".

Penuhilah dan berkelimpahanlah diri kita dalam cinta. Hanya dengan diri berkelimpahan dalam cintalah maka kita kemudian bisa berbagi cinta yang tulus kepada sesama dalam makna cinta tulus yang sesungguhnya.

Penuhilah dan berkelimpahanlah diri kita dalam cinta. Hanya dengan diri berkelimpahan dalam cintalah maka kita dengan demikian dapat menerima realitas dunia apa adanya.

Dan ketika kita membagi cinta tersebut, mulailah dari kepedulian terhadap yang kita cintai, memprosesnya berdasarkan kebenaran, kasih terhadap sesama, dan martabat kemanusiaan, dan kemudian mengejewantahkan cinta tersebut dalam suatu tindakan cinta yang didasarkan kepada keharuan dan keibaan terhadap yang kita cintai.

Dan karena keharuan dan keibaan tersebut adalah energi spiritualitas (chi) tertinggi dalam spiritualitas Tao, energi yang hanya diajarkan untuk diakses oleh orang awam dalam bentuk pelajaran berdoa kepada Tuhan, maka, ketika kita mencintai dengan tulus, sebenarnya kita juga telah terhubung ke illahi (Wu Chi – Tao).

Dan ketika kita mencintai dengan tulus, sebenarnya kita juga telah "bersatu" dengan yang kita cintai, sehingga "aku melihat diriku dalam dirimu, dan melihat dirimu dalam diriku" (`tat tvam asi'), sehingga kita tidak akan melakukan perbuatan kepada orang lain, suatu perbuatan yang tidak ingin dilakukan oleh orang lain kepada diri kita sendiri.

Oleh karena itulah, dengan mulianya cinta tersebut, maka Dalai Lama menyebut bahwa agamanya adalah cinta kasih, dan para spiritualis diajarkan untuk selalu dalam kondisi "unconditional love".

Dan bagi kita, dengan mulianya cinta tersebut, mulai sekarang ini – saat ini - disini, marilah kita belajar mencintai dengan tulus. Karena ketika kita mencintai dengan tulus, kita akan dapat membawa kebaikan dan manfaat kepada sesama, kehidupan, dan dunia. Dan ketika kita mencintai dengan tulus, kita sebenarnya telah terhubung kepada illahi dan telah dapat mengakses energi spiritualitas (chi) tertinggi.