Berikan
yang terbaik dari apa yang kau miliki, dan itu
mungkin tidak akan pernah cukup.
Tetapi ... tetaplah
berikan yang terbaik.
( Mother Theresa )
Seseorang,
bisa saja mengaku sebagai begini atau begitu dengan maksud agar diakui oleh
khalayak, sehingga melapangkan jalannya dalam
mewujudkan niat-niat terselubungnya. Di dunia bisnis manapun, yang seperti ini
lumrah adanya. Pada sisi lain, membentuk citra-diri
sedemikian rupa dengan harapan bisa mempengaruhi pandangan publik terhadap
dirinya, terhadap perusahaan
ataupun barang dan jasa yang ditawarkannya, telah melahirkan beraneka
perusahaan jasa periklanan besar maupun kecil.
Mengakui
agar diakui memang merupakan fenomena sosial yang amat sangat lumrah dan
telah dipraktekkan secara luas bukan saja oleh kalangan politikus dan
pebisnis,
namun di berbagai bidang dalam kehidupan sosial kita.
Mari
kita sedikit mundur. Apa sesungguhnya yang ada di balik itu? Mengapa seseorang merasa
butuh pengakuan? Kalau bukan lantaran
masih kuatnya “rasa keakuan” padanya, masih pentingkah pengakuan apapun dari pihak manapun baginya?
Atau, bukankah kebutuhan akan pengakuan itu mencirikan kian membengkaknya si
ego?
Memberi
pengakuan atas kebaradaan seseorang, memang wajib kita lakukan. Namun, itu otomatis tidaklah berarti orang-orang juga wajib mengakui
keberadaan kita. Terlepas dari apakah
kita diakui atau tidak, kita selalu wajib mengakui keberadaan siapapun, bahkan
apapun. Pengakuan atas eksistensinya merupakan kebutuhan mental setiap makhluk hidup.
Disadari
atau tidak, apapun yang kita lakukan di luar sana, kebanyakan bermotifkan perolehan
pengakuan. Sepantasnyalah ini kita pahami dan sadari baik-baik.