Kita mendambakan kedamaian,
tapi sudahkah kita membukakan pintu hati kita baginya?
Kita mendambakan keharmonisan,
tapi sudahkah kita membukakan pintu hati kita baginya?
Kita mendambakan pencerahan,
tapi sudahkah kita membukakan pintu hati kita baginya?
Inilah sebetulnya
beberapa pertanyaan seorang pendamba. Kita umumnya mengharapkan segala
sesuatunya datang dari luar, apakah itu berupa anugerah atau kita yang kita
sebut dengan rejeki. Pada sisi lain, kita tidak pernah berusaha secara sadar ke arah itu; tidak pernah mengkondisikan agar
itu bisa terjadi. Di benak kita, mungkin kita memilih untuk menjadi pengemis
saja, asal menikmati kesejahteraan yang sama dengan seorang direktur sebuah
perusahaan multi-nasional, kalau ‘profesi’ sebagai pengemis itu tidak dipandang
hina di masyarakat.
Bila dikatakan
demikian, besar kemungkinannya Anda akan menolak. Anda dengan sengit akan
mengatakan, “Tidak...saya tidak berjiwa pengemis.“ Ya...begitulah...bukan saja berjiwa
pengemis, kita juga tidak jujur dan tidak mau mengakui kekurangan-diri, tidak
mau bermawas-diri, malah sebaliknya selalu mengapusi diri sendiri, sampai-sampai tak mengenali diri
lagi, sampai-sampai tak tahu-diri.
Jadi, bilamana ada
yang kemudian mengumpat sebagai “Dasar tak tahu-diri...”, sebetulnya kita tak
perlu protes, apalagi berang. Sepantasnyalah kita berterimakasih kepada orang
yang telah mengingatkan kita itu. Mampukah kita berbuat demikian? Siapkah kita
menjadi manusia tahu-diri?