Menatap Dunia dan Kehidupan dengan cara lain


Menatap dunia ini —berikut segenap hiruk-pikuknya— dari ‘suatu jarak tertentu’ bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Apalagi menatapnya dari ‘suatu jarak tertentu dengan ketinggian tertentu di atasnya’. Bahkan, mungkin frasa ini sendiri merupakan suatu istilah yang sama-sekali baru bagi kita —sejauh yang dimaksud bukanlah dalam artian fisikal.

Seseorang, bisa saja tampak terlibat langsung di dunia, langsung berada di tengah hiruk-pikuknya kehidupan duniawi, namun secara mental-emosional sama-sekali tiada tersentuh oleh semua itu, karena ia sebetulnya hanya menatap semua dari ‘suatu jarak tertentu dengan ketinggian tertentu di atasnya’. Pemposisian-diri seperti ini, sungguh bukan sesuatu yang mudah, oleh karenanya tidak lumrah. Jelas tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.


Namun, karena sesuatu dan lain hal seseorang bisa melakukan itu, ia akan melihat dunia dan kehidupan ini sama-sekali lain; berbeda dengan perspektif banyak orang sehingga iapun akan menyikapinya dan menjalani kehidupannya ini dengan ‘cara yang lain’. Cara lain disini tidak harus menjadikannya ekstrim, secara kasat-indria berlawanan dengan apa yang dilakukan orang-orang kebanyakan. Seperti telah disinggung sebelumnya, ia bisa saja masih tampak terlibat langsung dan aktif di dunia seperti yang lainnya, namun pada saat yang bersamaan sama-sekali tiada tersentuh oleh semua itu. Karena sebetulnya ia berada di ‘alam lain’.

Nah ... bagaimana Anda menatap dunia dan kehidupan yang sedang Anda jalani ?

Keselarasan antara Pemikiran, Ucapan dan Tindakan


Saya sering mengatakan pada istri saya kalau ‘jangankan tindakan fisikal ataupun ucapan, berpikir salahpun kita harus tanggung akibatnya’. Dan bagusnya, ia tampaknya mengerti; walaupun, seperti juga saya, belum mampu sepenuhnya untuk selalu berpikir benar.

Yang sering amati didalam kehidupan kita sehari-hari, adalah bahwasanya, kita sangat cenderung menyangka kalau kita ‘telah’ berpikir dengan benar, tanpa benar-benar memeriksa dsn mencermati kerja dari si pikiran —yang nyaris tak mau terlepas dari perasaan. Ketika si pikiran berkata: “Benar juga apa yang dikatakannya ....” misalnya, si perasaan segera menyahuti: “Sok tahu lu....”. Ketika si pikiran berkata: “Sebaiknya saya membereskan pekerjaan rumah saya dulu sebelum berangkat”; si perasaan menimpalinya: “Kita bisa kehilangan kesempatan untuk duduk di kursi depan”. Akhirnya ... alih-alih berpikir benar, kita malah terjebak keraguan, lantaran selalu berpikir berdasarkan pola ‘untung-rugi’ dan ‘kalah-menang’.

Pikiran punya sifat aktif, agresif dan sejenisnya; dan perasaan bersifat lembam, malas, mau enaknya saja, atau sejenisnya. Seperti apapun kerja duet pikiran-perasaan, tak akan pernah benar-benar membuahkan kearifan. Karena intelijensia-murni-lah yang arif. Hanya intelijensia-murni-lah yang membantu kita guna bisa berpikir benar, sehingga mungkin punya pandangan yang benar akan segala sesuatunya.


Padahal, kalau saja kita bisa menjadikan apapun yang sedang kita pikirkan juga hal yang sedang kita bicarakan dan kerjakan, kita punya kemungkinan yang sangat besar untuk menggapai keberhasilan, juga ketenteraman hati. Karena didalamnya bisa dipastikan terjadi keselarasan antara pemikiran, ucapan dan tindakan.