Mengapa Meminta Maaf ?



Suatu ketika terjadi ketersinggungan di antara dua orang saudara saya. Yang lebih muda berniat mengingatkan yang lebih tua, dengan ‘caranya’ sendiri, yang membuat yang lebih tua tersinggung. Ketersinggungan saudara tua ini, bukan lantaran ia tidak mau diingatkan oleh seorang saudara yang lebih muda, namun lebih lantaran ‘cara’ dari saudara muda itu.

Belakangan, si saudara muda memang meminta maaf secara verbal, dan secara verbal pula si saudara tua memaafkannya. Akan tetapi tampaknya mereka masih menaruh kekesalan satu-sama-lain. Bahkan, si saudara muda —lagi-lagi dengan ‘caranya’ sendiri— mengekspresikan kekesalannya juga kepada saya, karena ia menganggap saya tidak ‘membela’ niatnya yang ia yakini sebagai baik itu.

Disini tampak jelas kalau betapa baikpun sebuah niat, bila tidak diekspresikan lewat ‘cara-cara’ yang setara baiknya, malah bisa jadi lain, bahkan malah bisa jadi berbalikan dengan apa yang diniatkan itu. Disinilah kesabaran dan kearifan memegang peranan penting. Tidak cukup sekedar niat baik pun sekedar rasionalitas. Di dalam setiap hubungan, peran emosi senantiasa meminta porsinya sendiri, untuk diberi perhatian yang memadai.

Permintaan maaf merupakan ekspresi dari ‘rasa penyesalan’ kita atas akibat buruk yang terjadi atau menimpa seseorang atau sekelompok orang ataupun makhluk hidup lain, yang disebabkan karena kesalahan, kekeliruan, keteledoran yang kita perbuat. Bagi si pelaku, timbulnya ‘rasa penyesalan’ ini merupakan motivator terpentingnya. Tanpa hadirnya ‘rasa penyesalan’, permintaan maaf hanya basa-basi di bibir saja, hanya sebentuk ritual etika saja, tanpa disertai moralitas. Ini tak akan pernah mentransformasikan si peminta maaf, karena bersifat semu.

Pada sisi yang dimintai maaf, permintaan maaf yang tidak tulus, yang tidak benar-benar disertai dengan ‘rasa penyesalan’, akan dirasa ‘lain’. Sehingga, walaupun ia kelihatannya memaafkan, kekesalan tetap saja menghuni hatinya, yang suatu ketika —disengaja atau tidak— akan terekspresi di dalam sikap dan ucapannya.

Jadi, alih-alih menuntaskan persoalan yang ada, permintaan maaf ‘semu’ yang mengundang pemaafan ‘semu’ pula, tetap saja menyisakan kekesalan, bahkan dendam. Makanya, jangankan permintaan maaf yang tidak tulus, yang tidak benar-benar disertai ‘rasa penyesalan’ yang mendalam, permintaan maaf yang tulus sekalipun belum tentu mengundang pemaafan yang tulus pula, kalau si pemberi maaf kurang kadar pemaaf-nya ...apalagi bila ia seorang pendendam. Makanya, sangat mengena kalau ada yang mengatakan bahwa ‘Transformasi batiniah bisa kita lihat melalui cermin hubungan’, dan ‘Jangan katakan atau lakukan sesuatu yang sesudahnya mengharuskan engkau meminta maaf!’.



Selamat Idul Fitri untuk teman-teman yang merayakannya ...

" Tidak ada ketabahan yang lebih tangguh dari kesabaran, sebagaimana, tiada derita yang lebih buruk dari kebencian."

~~ Dalai Lama XIV ~~

Memilih Kedunguan dan menendang keras Kearifan


Semakin jauh kemajuan evolusi spiritual umat manusia,

semakin pasti bagi saya bahwa:

jalan menuju relijiusitas sejati tak semata-mata terletak pada ketakutan pada

kehidupan, ketakutan terhadap kematian, keyakinan yang membuta;

namun suatu perjuangan mengikuti kaidah-kaidah pengetahuan rasional.

~ Albert Einstein ~


Tubuh ini milik alam, milik dan merupakan bagian dari semesta alam material. Oleh karenanya ia mesti tunduk pada hukum dan kaidah-kaidah semesta material. Itulah salahsatu sifat-dasarnya yang paling alamiah. Menginginkannya lain dari itu, mengharapkannya melakukan penyimpangan sih boleh-boleh saja ... Asal seseorang siap menanggung konsekuensinya; setidak-tidaknya berupa kekecewaan. Cuma, tidaklah arif untuk sengaja mengundang kekecewaan bukan?

Kita tahu kalau, walau secara garis-besar sama, sangat mirip satu dengan yang lainnya, tubuh setiap orang punya karakteristik spesifiknya sendiri, punya keunikannya sendiri. Jadi tak bisa digeneralisasi atau dipukul-rata. Kita tahu itu. Itu sangat realistis bagi kita. Kalau hanya lantaran sesama milik alam lantas saya berharap alam akan memperlakukan tubuh saya ini bisa awet-muda, penuh vitalitas serti tubuh Anda misalnya, itu berarti saya sengaja mengundang kekecewaan bukan?

Tapi begitulah kebanyakan dari kita. Suka “neko-neko”, tanpa sepenuhnya disadari sengaja mengundang kekecewaan, kekhawatiran, kecemasan, ketakutan yang sebetulnya tidak perlu. Kita tahu kalau ‘sesuatu’ seperti ini, tapi kita malah mengharapkannya seperti itu. Tapi kenapa? Kenapa kita bisa sedungu itu?

Inilah ulah si keinginan. Mungkin muncul kilah di benak kita: tidak bolehkah kita menginginkan yang baik, yang ideal?

Seperti dikatakan tadi, ‘itu sih boleh-boleh saja...’ asal kita siap menanggung konsekuensinya. “Konsekuensinya” inilah yang umumnya tidak kita perhitungkan ketika menginginkan sesuatu. Kita sudah sedemikian terbiusnya oleh keinginan itu sehingga kita tak segan-segan lagi menyingkirkan jauh-jauh akal-sehat. Dan bila memang yang seperti itu kita lakukan —yang kita sebut sebagai ‘pilihan kita’— maka tak ubahnya kita memilih kedunguan dan menendang keras kearifan.


Itu Fitnah !!!


Kurang-lebih tiga-belas abad setelah seorang Nabi mangkat dan naik ke sorga, beliau dipanggil oleh Tuhan.

“Aku menerima berita kalau kamu telah menulis kitab suci yang berisikan ayat-ayat ajaran, seperti apa yang Ku ajarkan kepadamu itu. Benarkah itu?”

“Ampun Tuhanku .... Semua itu fitnah belaka.”

“Fitnah? Mereka malah mengatakan kalau kamulah yang menyebarkan ajaran dan mendirikan agama baru yang kini banyak sekali pengikutnya di dunia; bahkan banyak pengikutmu itu jadi pengacau dunia. Yang lebih tak bisa diterima lagi adalah,” sambung-Nya, “ketika mereka melakukan aksi terornya, mereka terus meneriakkan Kebesaran Nama-Ku. Bagaimana ini?”

“Ini pasti ulah para sahabat hamba dan murid-muridnya Paduka. Bukankah Paduka sendiri tahu kalau hamba buta huruf?”