Mengembalikan Manusia kepada Kemanusiawiannya


Sesuatu yang terjadi atau teralami begitu saja, tanpa diupayakan dengan sengaja agar mengalaminya, betapa terasa remeh-temehpun itu adanya, umumnya mengandung makna atau pesan tertentu buat kita. Saya rasa, setiap orang pernah mengalaminya. Bedanya cuma, ada yang memperhatikannya, ada yang tidak dan mengabaikannya begitu saja.

Kita umumnya hanya terpaku pada hal-hal yang disengaja, dimana di dalam kesengajaan itu ada tujuan, maksud, sebentuk target pencapaian hasil. Oleh karenanya pula, di dalam kesengajaan ini ada sejenis ketegangan mental, rasa was-was, kecemasan, kekhawatiran kalau-kalau yang diharapkan tidak dicapai. Bagi mental, kesengajaan tak-ubahnya suatu beban yang harus dipikulnya.

Mengerjakan sesuatu dengan sadar, tidaklah harus berarti mengerjakan sesuatu dengan sengaja. Inilah yang tampak seringkali dikacaukan orang-orang. Mereka menyangka kalau mengerjakan sesuatu dengan sadar haruslah disengaja; akibatnya, alih-alih merasakan ketenteraman dan rasa ringan, mereka malah merasa tegang dan terbebani, kendati yang mereka kerjakan itu adalah meditasi. Mereka melangsungkannya dengan kesengajaan, dengan motif-motif egoistis tertentu berikut target-target tertentunya. Inilah yang menyebabkan mengapa banyak orang yang sengaja bermeditasi —merancang ini dan itu, menetapkan jadwal, merencanakan dan menata tempat, dan sebagainya ... dan sebagainya— malah tak pernah memasuki batin meditatif, untuk kemudian mengeluh dan frustrasi.

Untuk bisa memasuki batin meditatif memang butuh pengkondisi-awal —baik secara fisikal maupun mental. Tapi pengkondisi-awal ini tidak harus merupakan sesuatu yang sepenuhnya disengaja, yang malah mengundang ketegangan mental saja. Ia justru sebaliknya, baik tataran fisikal maupun mental ini mesti benar-benar santai, tanpa beban, tanpa target pencapaian, tanpa menginginkan hasil atau tiba di suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dengan begitu, semuanya akan mengalir secara alami. Batin meditatif sangat alami, sangat manusiawi. Yang alami tidak bisa —karena memang tidak perlu— didekati secara tidak alami. Makanya, meditasi juga sesuatu yang memanusiakan manusia kembali, mengembalikan manusia kepada kemanusiawiannya.

Apa yang menentukan Kualitas Batin Anda?


Ketika kita mumet, pusing, bingung, kita juga merasa ‘keruh’ bukan? Memang, ketika itu batin kita dalam kondisi keruh. Dan kita tahu sendiri kalau memutuskan sesuatu dalam kondisi seperti itu, bisa mengundang bencana. Kitapun tahu kalau kita ada dalam kondisi yang “fit” untuk mengambil keputusan saat pikiran ini ruwet.
Pernahkah Anda mempertanyakan, ‘apakah yang menentukan kualitas batin Anda?’ Atau dengan kata lain, ‘apakah yang mengkondisikan batin Anda?’ Pernahkah Anda mempertanyakannya? Bila belum, ada baiknya Anda mempertanyakannya.
Kita tahu kualitas dari sesuatu mencerminkan kondisinya, hal-hal atau parameter-parameter yang mengkondisikannya. Sesuatu yang berkondisi prima, kita sebut juga sebagai berkualitas prima bukan?
Nah ... sekarang kembali lagi kepada pertanyaan kita: apakah yang mengkondisikan batin Anda?
Bila kita amati dengan seksama —ke dalam— apa yang terjadi di benak kita, apa yang sedang berlangsung di benak ini, akan kita temukan betapa menentukannya peran dari ulah duet pikiran-perasaan. Artinya, kita akan melihat dengan jelas kalau jenis dari bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan yang paling kerap muncul di benak, menentukan kualitas batin. Bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan itulah yang mengkondisikan batin.
Nah ... mengetahui dan menyadari fakta ini, akankah Anda dengan sengaja akan mengeruhkannya dengan mempertontonkan bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan yang tidak kondusif bagi kejernihannya? Sementara Anda sendiri mendambakan kejernihan, tidakkah Anda melihat kedunguan dari kesengajaan itu?

Jangan Menghujat Tuhan


Di kalangan umat Hindu dan Buddha, Hukum Karma Phala dipahami sebagai Hukum Kausalitas Universal, Hukum Sebab-Akibat Universal. Siapapun menciptakan sebab dan kapanpun sebab itu diciptakan, pada saatnya yang tepat pasti berakibat sesuai dengan sebab yang diciptakannya itu. Demikianlah umumnya Hukum Karma Phala itu dipahami.

Daripadanya, tampak jelas kalau tiada sebab yang tidak berakibat, dan tiada akibat yang tanpa didahului oleh sebab. Lebih jauh lagi, daripadanya juga diperoleh pemahaman bahwasanya, “di dalam sebab sebetulnya sudah terkandung akibat”. Mereka tak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Sayangnya, umumnya kita tidak bisa melihatnya demikian. Akibatnya, walaupun kita mencemaskan akibat —karena seringkali ditimpa kemalangan misalnya, namun kita tetap saja terus-menerus menciptakan sebab demi sebab yang berakibat serupa. Kemalangan demi kemalangan silih-berganti menimpa, namun kita terus-menerus juga menciptakan sebab demi sebab. Tanpa disadari sepenuhnya, kita menciptakan berbagai sebab baru bagi berbagai kemalangan dan penderitaan di kemudian hari.

Yang teramat sangat konyol adalah, tak sedikit di antara kita yang menolak akibat —utamanya yang tidak disukainya— karena tidak merasa kalau pernah berbuat (menciptakan sebab) yang berakibat demikian. “Saya tak pernah melakukan sesuatu yang buruk, saya tidak pernah berbuat dosa, tapi mengapa saya mesti ditimpa kemalangan seperti ini?”; demikianlah umumnya klaim dan gugatan mereka. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang tidak berhenti hanya sampai disitu. Dengan lancangnya, mereka malah mendakwa Tuhan-nya sebagai tidak adil, menjatuhkan azab dan sengsara secara semena-mena. Merasa diri tak punya kemampuan untuk menolaknya, terpojokkan pada situasi dan kondisi harus menerimanya, mereka menyebut Tuhan-nya sebagai “Mahakuasa” dalam artian “Mahasemena-mena” dan suka main “kuasa-kuasaan”, yang menciutkan nyalinya, sehingga muncul ungkapan bernada berani seperti: “Saya hanya takut kepada Tuhan!”. Alih-alih memposisikan-Nya sebagai sosok Maha-adil, Mahapengasih-penyayang atau sejenisnya, tanpa sepenuhnya mereka sadari, kini mereka malah memposisikan Tuhan-nya sebagai sosok yang “amat sangat menakutkan”, sebagai sosok yang “Mahamenakutkan”.

Kekonyolan hingga penghujatan seperti ini sudah barang tentu tidak akan kita temui pada mereka yang benar-benar mengimani Hukum Karma Phala dan Samsara bukan?

Melihat Akibat di dalam Sebab

Satu hal penting yang juga diajarkan oleh Hukum Karma Phala dan Samsara adalah untuk mampu “melihat akibat di dalam sebab”. Yang bisa “melihat akibat di dalam sebab” dengan jelas, tak lagi merisaukan akibat baik ataupun buruk sementara selalu berusaha menciptakan sebab-sebab yang baik. Mereka yakin kalau Kemaha-adilan-Nya merupakan program-utama dari Hukum Karma Phala.

Di dalam kehidupan sehari-hari tak jarang kita rasakan kalau Kebenaran dan Keadilan itu tidak mengenakkan, atau bahkan menyakitkan. Namun, justru itulah yang semestinya disikapi dengan berhati-hati di dalam berpikir, berucap dan bertindak, di dalam menciptakan sebab. Naluri mencintai dan menyayangi diri sendiri dan yang dianggap berkaitan dengan dirinya sendiri, akan melarang seseorang untuk bertindak gegabah yang berakibat mencelakakan dirinya sendiri. Di dalam kehati-hatian itu, seseorang tentunya tidak akan menciptakan sebab dimana akibatnya hanya akan menyengsarakan dirinya sendiri.

Secara sederhana saja, setiap manusia dewasa—tak peduli agama apapun yang dianutnya—sadar kalau setiap tindakan punya kosekwensi. Iapun sadar kalau ia harus bertangung-jawab terhadap konsekwensi dari setiap tindakannya. Ia tak selamanya bisa lari dari tanggung-jawab itu atau selalu mencari kambing-hitam. Seseorang tidak harus mengimani Hukum Karma Phala hanya untuk memahami kenyataan ini, karena ia universal sifatnya.

Melihat Sebab di dalam Akibat

Bisa “melihat akibat di dalam sebab” sudah merupakan sesuatu yang baik; sesuatu yang membuat kita berhati-hati di dalam bertindak. Namun itu belum mencukupi. Ajaran tentang Hukum Karma Phala dan Samsara sebetulnya juga mengajari kita untuk bisa “melihat sebab di dalam akibat”, melihat bahwasanya setiap akibat berpotensi menjadi tak terhitung banyaknya sebab-sebab baru, yang pada gilirannya akan berakibat lagi dan lagi. Sebab menjadi akibat, dan akibat menjadi sebab baru lagi; demikian seterusnya.

Kalau “melihat akibat di dalam sebab” membuat kita berhati-hati di dalam bertindak, maka “melihat sebab di dalam akibat” melengkapinya dengan tidak menciptakan ‘sebab baru’ yang serupa lagi dari akibat yang telah dirasakan. Dari penglihatan seperti inilah para orang-orang tua kita menasehatkan: “Bila kamu dilempari dengan tahi, maka lemparilah dia dengan bunga”. Bila kita bisa bertindak demikian, bukan saja kita telah memotong mata-rantai sebab-akibat buruk, namun kita telah langsung menggantinya dengan dengan yang baik, langsung menabung kebajikan dari tindak kejahatan yang dikenakan kepada kita.

Seseorang tidaklah harus terlebih dahulu bisa melihat sebab secara rinci di dalam akibat. Kemampuan ini mungkin tidak dimiliki oleh semua orang dengan mudah. Namun, melihat kalau suatu akibat bisa merupakan sebab baru yang mungkin akan berakibat lebih buruk lagi, kalau tak disikapi dengan baik, tidaklah butuh ‘kemampuan khusus’. Kita telah terbekali akal-budi untuk itu. Apa yang dibutuhkan hanyalah kesediaan meluangkan waktu sejenak untuk melihat.

Waspadai Letupan Emosi sesaat

Bagi kebanyakan dari kita mungkin bukan disana lagi letak persoalannya. Ketergesa-gesaan di dalam memutuskan untuk bertindak, hanya lantaran dipicu oleh letupan emosi atau lintasan pemikiran sesaat, menjadi persoalan tak sedikit orang. Ketika suatu aksi luar diterima lewat gerbang-gerbang indria, perasaan dan pikiran secara otomatis ber-reaksi terhadapnya. Sampai disini, di permukaan, sebetulnya belum terjadi apa-apa. Anda bisa saja menjadi marah atau sekedar merasa tidak enak; namun bila Anda tidak langsung bertindak atas letupan itu dan memilih diam, tidak akan terjadi apa-apa. Namun, bila Anda segera bertindak berdasarkan letupan emosi itu, maka kejadiannya akan lain. Bisa sangat jauh berbeda.

Sebagai Hukum Kausalitas Universal, Hukum Karma Phala juga adalah Hukum Aksi-Reaksi. Setiap aksi tentu mengundang reaksi yang setara. Namun bila suatu aksi bisa disikapi dengan baik, ia bisa seakan-akan tak menimbulkan reaksi, dimana aksi tadi malah ditransformasikan sedemikian rupa menjadi sejenis ‘kekuatan di dalam’ yang halus dan berlipat-ganda kekuatannya. Yang pasti, dengan tidak meresponsnya secara reaktif, aksi hanya akan terhenti sebagai aksi saja. Mata-rantai aksi-reaksi terputus, hanya sampai disitu saja.

Makanya, hanya dengan mengelola emosi dengan baik, dengan mewaspadai letupan emosi sesaat dan tidak melakukan tindakan apapun atas dasar itu, seseorang telah berbuat banyak terhadap karma-nya. Mungkin tak terhitung banyaknya mata-rantai karma-phala ikutan ditiadakan; menjadi terputus hanya sampai disitu. Memang benar kalau dikatakan bahwa persoalan mengelola emosi tergantung karakter dan bakat seseorang; namun ini tidaklah berarti kalau itu tidak bisa dipelajari, dilatih. Banyak orang yang tadinya cenderung emosional dan tempramental membuktikan keampuhan laku vegetarian misalnya. Yang pasti itu bisa dipelajari dan dilatih, dan ada caranya untuk itu.

Sadar akan semua itu, berhasrat kuat untuk senantiasa menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, berhasrat kuat untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada, memperkuat sisi-sisi lemah kita, bukanlah sesuatu yang sama sekali asing bagi manusia. Terlalu banyak alasan untuk disebutkan kenapa kita patut mensyukuri kelahiran berjasad manusia ini.

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita. Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu setiap insan.