Empat Penghalang


Disebutkan bahwa ada empat paradigma mental yang menghalangi seseorang untuk benar-benar masuk ke jalan spiritual dan yang menghambat langkah-langkahnya setelah masuk di jalan ini. Paradigma yang satu berhubungan erat dengan yang lainnya sedemikian rupa, dimana kemunculan yang satu akan diikuti juga atau hadir bersamaan dengan yang lainnya.

Yang pertama adalah pola-pandang kasat-indria. Yang menganut paradigma ini tidak akan pernah benar-benar masuk dan melangkah di jalan keramat ini, karena akan selalu, lagi dan lagi, berpaling dan berbalik pada hal-hal yang bisa dipersepsi secara indriawi. Bagi mereka, sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa mereka persepsi lewat indria-indrianya. Padahal, dunia spiritual adalah dunia yang —bukan saja melampaui tataran fisikal indriawi namun bahkan— melampaui tataran mental-psikologis.

Yang kedua, paradigma mengarahkan pandangan ke luar. Mengarahkan pandangan ke luar dan ke luar merupakan kebiasaan kita, yang erat kaitannya dengan pola-pandang kasat-indria. Kebiasaan ini telah kita biasakan entah sejak kapan. Mungkin sejak hadir makhluk yang disebut manusia di planet bumi ini, paradigma ini sudah kita anut. Dan sebagai konsekuensinya, kitapun akan selalu mencari pemenuhan apapun —termasuk untuk hal-hal yang bersifat spiritual— di luar sana.

Yang ketiga adalah paradigma pertanggung-jawaban ke luar, yang juga berkaitan-erat dengan yang sebelumnya. Sejalan dengan kebiasaan yang selalu mengarahkan pandangan ke luar, kepada objek-objek indriawi dan orang-orang, kitapun akan cenderung mempertanggung-jawabkan segala sesuatunya —termasuk hal-hal yang bersifat spiritual— ke luar. Kita merasa berhasil kalau mendapat pujian atau penghargaan dari luar, dari orang lain, kendati sebetulnya tidak ada kemajuan yang berarti yang layak dipuji atau dihargai daripadanya.

Nah....ketiganya itu akan sangat kentara pada mereka yang punya kecenderungan ‘show-off’ atau suka-pamer. Oleh karenanyalah, paradigma yang keempat ini kita sebut sebagai paradigma ‘show-off’ atau paradigma suka-pamer. Padahal, sebagai sesuatu yang benar-benar halus, dalam dan tinggi, spiritualitas seseorang akan terlihat dan terasakan —tentunya oleh yang mampu melihat dan merasakannya— tanpa perlu dipamerkan, dipertontonkan, dipertunjukkan atau didemonstrasikan. Ia terpancar dengan sendirinya, dan keberadaannya akan bisa dirasakan bahkan oleh awam sekalipun. Lagian, kecuali memang ‘ada udang di balik batu’, kemampuan spiritual atau siddhi bukanlah sesuatu yang buat dipamerkan. Banyak penekun —yang cukup maju malah— tersandung dan jatuh tersungkur oleh paradigma ini. Popularitas, sanjungan, puja-puji dan pengelu-eluan publik, seringkali begitu melambungkan.... sehingga sedemikian memikatnya bagi kebanyakan dari kita..

Bercermin Pada Hati Nurani



“Bercermin pada Hati-nurani” merupakan ungkapan yang sangat indah untuk diucapkan pun didengar bukan? Ketika kita mengucapkannya, kita serasa bak seorang bijak; dan yang mendengarkanpun boleh jadi menyangka kita demikian. Akan tetapi, sadarkah kita akan betapa tingginya makna dari ungkapan itu?
Pada sisi lain, saya masih menyangsikan kalau yang mengucapkan itu tahu dan memang pernah bertemu dan bercermin pada hati-nuraninya. Sebab, apa yang umumnya disebut-sebut dan disangka banyak orang sebagai “hati-nurani” seringkali hanyalah bentuk perasaan atau letupan atau impuls emosi sesaatnya saja.
Dalam Wedhatama —sebuah masterpice dari Kanjeng Mangkunegoro IV—dengan lugas beliau mengatakan: “Hati-nurani merupakan tempat yang suci, dimana Tuhan bertahta”. Makanya saya katakan betapa tingginya makna dari ungkapan “Bercermin pada Hati-nurani” itu. Jelas tak sembarang orang bisa bercermin atau melongok “Tahta Tuhan” sesuka hatinya.
Hanya ketika batin seseorang sedemikian murninya, ia mungkin dipertemukan dengan hati-nurani-nya, kendati hanya sesaat.Bukan sebelumnya atau sesudahnya. Kalau sekedar bentuk-bentuk perasaan —seperti rasa suka dan tidak suka dan yang sejenisnya— atau letupan emosi —seperti rasa cinta, atau belas-kasihan dan yang sejenisnya—adalah hati-nurani, maka sudah sejak dahulu dunia ini aman dan damai, sudah sejak dulu sorga pindah ke muka bumi ini. Padahal, untuk boleh sekedar melongok ke “Tahta Tuhan” ini saja, kita sudah diharuskan mampu mendiamkan gelora perasaan dan gejolak pikiran —yang bukan main sulitnya itu. Apalagi untuk benar-benar bercermin.
Untuk bisa benar-benar bercermin pada hati-nurani, kita diharuskan punya kadar “kualitas keilahian” yang cukup tinggi. Tapi, tahukah Anda apa “kualitas keilahian” itu? Apakah Anda sangka itu adalah sejenis kesaktian, kanuragan, kemampuan supra-natural, kemampuan adi-kodrati atau yang sejenisnya? Bukan; bukan itu.
“Kualitas keilahian” hanya hadir pada batin yang telah sedemikian murninya. Makanya, hanya jika batin seseorang telah sedemikian murninya, ia mungkin dipertemukan dengan hati-nuraninya.