Memangkas Keinginan, Menggapai Kedamaian dan Kebahagiaan


Mekanisme munculnya Keinginan.

Pernahkah Anda mengamati ke dalam diri sendiri darimana dan bagaimana sebentuk keinginan muncul? Keinginan memang bersifat internal dan pribadi. Hanya Andalah yang tahu apa keinginan Anda, hasrat yang ada di benak Anda saat ini. Kemunculannya seringkali secara tiba-tiba, tanpa sepenuhnya disadari darimana datangnya dan bagaimana mekanisme kemunculannya. Ia tiba-tiba sudah menyergap dan menggerakkan organ-organ indria motorik untuk bergerak. Untuk itu, ia seakan-akan tak butuh waktu dan samasekali tanpa proses. Manakala Anda sadar—namun seringkali malah tidak, kita sudah ada dalam proses pergerakan menuju pemenuhan keinginan.

Kita tahu kalau ia sebetulnya tidak muncul serta-merta. Kita tidak bisa menginginkan sesuatu yang samasekali tidak kita kenal sebelumnya, dan tidak pernah mengguratkan kesan mental di benak kita. Perkenalan dengan objek keinginan serta kesan-kesan mental yang menyenangkan yang pernah diguratnya, membentuk ingatan. Nah.....ketika —karena sesuatu dan lain hal— ingatan ini muncul di permukaan mental, ia juga memunculkan keinginan atau hasrat yang kuat itu.

Perkenalan atau kontak empiris untuk pertamakalinya dengan si objek keinginan inilah yang mengawalinya. Sebelum itu, keinginan terhadapnya tak mungkin ada. Intensitas dari keinginan Anda pada sesuatu, tergantung pada intensitas kontak dan kesan-kesan mental yang ditimbulkannya. Walaupun Anda pernah mengadakan kontak dengan sesuatu, namun hanya sepintas saja, sehingga tidak timbul kesan-kesan yang mendalam terhadapnya, ia tidak mengendap sebagai ingatan. Makanya, ia juga tidak bisa memunculkan keinginan.

Tergantung objek yang diinginkan, keinginan bisa sangat banyak macamnya. Ada yang kasar, ada yang halus. Keinginan akan kenyamanan ragawi dan kenikmatan indriawi, yang sangat naluriah sifatnya, merupakan beberapa contoh dari keinginan kasar. Keinginan yang berkaitan dengan eksistensi-diri, harga-diri, pujian, sanjungan, kebanggaan, ketenaran, status dan posisi sosial di masyarakat dan sejenisnya, termasuk keinginan halus. Baik keinginan kasar maupun halus, ada yang berintensitas kuat, menengah dan lemah. Yang berintensitas kuat dan menengah, berkemampuan mengecoh seseorang sedemikian rupa sehingga ia mengidentifikasikan-dirinya pada keinginannya itu. Ia sedemikian terbiusnya dan dibuat selalu merasa bahwa dialah keinginan itu.

Bagi sang ego, apa yang diinginkannya, itulah yang terpenting. Peperangan yang umumnya dipicu oleh konflik kepentingan, tiada lain dari manifestasi konflik keinginan itu sendiri. Dialah pangkal dari semua disharmoni yang menjauhkan siapapun dari ketenangan dan kedamaian. Dari titik-pandang ini, terlihat jelas kalau keinginan adalah keinginannya sang ego. Keinginan dan kepemilikan tak pernah bisa dilepaskan dari kehadiran egoisme.

Beraneka bentuk pemikiran dan perasaan yang menggelisahkan, agitasi mental yang mendesak minta dipenuhi, tak pernah bisa dilepas begitu saja dengan adanya keinginan. Keinginanlah yang mengundang kemunculannya. Oleh karenanya, dirongrong oleh berbagai keinginan, seseorang tak akan pernah bisa tenang, tak akan pernah bisa merasakan kedamaian sehingga kebahagiaanpun tak akan bernai mendekat. Keinginan berkaitan erat dengan ingatan; dan ingatan berkaitan erat dengan kesan-kesan mental; sementara itu kesan-kesan mental itu sendiri tergantung pada kuat/lemahnya intensitas kontak yang pernah dialami. Demikianlah singkatnya mekanisme kemunculan keinginan. Memahami ini, kita bisa memangkas keinginan secara sadar.

Memangkas Keinginan?

Tatkala ditanya: “Manakah jalan menuju Sorga?”, Sri Sankarãcarya menjawab: “Pemusnahan total segala nafsu-keinginan”. Dan ketika ditanya: “Siapakah yang benar-benar miskin?”, beliau menjawab pasti: “Seseorang yang memiliki amat banyak keinginan”. Tatkala ditanya lagi: “Siapakah yang tidak pernah terpuasi oleh semua objek kesenangan?”, jawaban beliau singkat: “Kenafsuan dan keinginan”.

Keinginan yang tiada habis-habisnya menjadikan seorang rajapun seorang yang miskin. Keserakahan, tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada, adalah cermin dari kemiskinan yang mendalam itu, walaupun kelihatannya seseorang bergelimang harta-benda. Yang lebih menyedihkan lagi—seperti yang dikatakan oleh Sri Swami Sivananda di awal tulisan ini—ia tidak pernah merasa tenang, selalu gelisah, selalu uring-uringan. Ia telah merasakan panasnya api Neraka, jauh sebelum mengehembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya. Kesenangan hidup dan kenikmatan indriawi apapun yang diberikan tak akan pernah bisa memuaskan si nafsu dan keinginan ini. Inilah sebetulnya kehidupan yang paling menyedihkan.

Keinginan memang tidak semuanya buruk, rendah. Ada juga keinginan-keinginan yang bersifat luhur, mulia. Memangkas keinginan yang kita maksudkan disini tentunya memangkas keinginan-keinginan rendah, yang bersifat naluriah, yang lebih mengarah pada kenafsuan, yang semuanya didasari oleh dorongan egoistis. Sebetulnya, hasrat untuk memangkasnyapun adalah sebentuk keinginan juga; namun ini merupakan keinginan yang luhur sifatnya.

Pertama-tama, kita diharapkan punya daya pemilah-milah—yang memungkinkan kita memilah antara keinginan yang rendah dengan yang luhur, yang egoistis dengan yang altruistis—yang memadai. Memangkas keinginan rendah yang terlanjur tersimpan, dan yang sekian banyak jumlahnya itu mesti dilakukan dengan sadar dan penuh kewaspadaan. Daya pemilah-milah hanya mungkin bekerja dalam kesadaran dan kewaspadaan—yang di dalamnya ada perhatian ke dalam yang benar-benar tajam.

Niat dan semangat yang kuat tentu mesti kita punyai. Dalam banyak hal, ternyata itu belumlah cukup. Disini dibutuhkan juga ketahanan-mental terhadap godaan-godaan dari luar dan rongrongan dari dalam, yang bahkan sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan kita. Sayangnya, ketahanan-mental dalam porsi yang dibutuhkan seringkali tidak serta-merta kita punyai. Inilah pokok persoalan kita. Oleh karenanya, pertanyaan kita kini adalah, dengan cara apakah ketahanan-mental ini diperoleh?

Mengupayakan Ketahanan-mental.

Walaupun banyak orang yang punya ketahanan-mental yang tinggi sebagai bawaannya sejak lahir, bagusnya, ketahanan mental ini bisa diupayakan, bisa dilatih. Mekanismenya tak jauh berbeda dengan pelatihan ketahanan-fisikal. Seperti juga kita melatih dan menguji ketahanan-fisikal kita, kitapun melatih dan menguji ketahanan-mental kita di dalam kehidupan sehari-hari. Semakin giat Anda berlatih, semakin kuat ketahanan-mental Anda jadinya.

Menahan dorongan naluriah dan hasrat-hasrat jasmaniah—seperti makan dan minum jenis tertentu dan dalam jumlah tertentu, tidur dalam jangka waktu tertentu, mengadakan hubungan seks, bermalas-malas, bersenang-senang, beromong-kosong, dan yang sejenisnya—bukan saja merupakan bentuk-bentuk pelatihan guna meningkatkan ketahanan-fisikal, namun sangat bermanfaat di dalam meningkatkan ketahanan-mental seseorang. Apa yang kita kenal dalam istilah tapa-brata, merupakan bentuk pelatihan yang secara khusus dan pasti mengantarkan siapapun pada perolehan dan peningkatan ketahanan itu.

Seperti juga tubuh yang butuh makanan dan minuman yang sehat untuk meningkatkan ketahanannya, mentalpun demikian. Mental butuh interaksi, informasi dan pengetahuan yang sehat. Banyak beromong-kosong misalnya, bukan saja memboroskan enerji mental Anda, namun seringkali memunculkan bentuk-bentuk pemikiran negatif dan keinginan-keinginan yang tidak sehat. Tapi tidak demikian halnya dengan bersenda-gurau. Humor-humor yang sehat, rekreasi di alam bebas, terbukti menyegarkan mental. Manfaatnya dapat dirasakan langsung.

Seperti juga di dalam meningkatkan ketahanan-fisikal, meningkatkan ketahanan-mental adalah upaya yang benar-benar dilakukan secara mandiri. Untuk itu seporsi viveka, kearifan atau daya pemilah-milah harus Anda punyai. Dan bila itu telah Anda punyai, Anda akan tahu sendiri apa yang perlu, apa yang baik dan apa yang mesti Anda lakukan. Tanpa disuruh-suruh dan diawasi, Anda akan mendisiplikan diri Anda sendiri; Anda tak butuh lagi pendisiplinan dari luar, yang malah terasa membebani dan oleh karenanya sering Anda langgar. Anda tak akan sudi melakukan hal-hal yang bisa merongrong ketahanan-mental yang telah Anda pupuk dan kembangkan dengan susah-payah itu.

Pada akhirnya mesti dikatakan bahwa ‘memangkas keinginan’ adalah manifestasi dari hadirnya keinsyafan, dari hadirnya kesadaran diri seseorang. Bentuk keinsyafan ini bisa saja awalnya dipicu dari luar —apakah dari seorang Guru, dari pengalaman pribadi, atau kombinasi dari keduanya— namun sebelum yang di dalam itu benar-benar menyala untuk kemudian menyulut niat dan semangat Anda, membangkitkan tekad Anda, pemicu luar tak banyak pengaruhnya. Nyala di dalam inilah yang penting, yang benar-benar menggerakkan siapapun menyongsong keberhasilannya.

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.

Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu semua insan.


Kedamaian adalah ketenangan. Ia terbebas dari gangguan, kegelisahan atau keinginan,agitasi, kerisauan dan kekerasan. Ia juga merupakan harmoni, tentram, istirahat yang tenang. Secara khusus, ia juga berarti tiadanya konflik apalagi peperangan. “

Ketakutan pada Kematian


" Ketika kematian menjelang, tersenyumlah padanya. Kematian hanyalah sebuah pengalaman, agar Anda dapat mempelajari suatu pelajaran besar, bahwa Anda tidak bisa mati... "

Apa yang terjadi ketika kita mencintai seseorang atau sesuatu adalah kita mengidentifikasikan-diri kita pada seseorang atau sesuatu itu; kita menganggap keberadaan seseorang atau sesuatu itu sebagai bagian dan tak terpisahkan dari diri kita, kita mengagapnya sebagai milik kita.

Ketika —karena sesuatu dan lain hal— kita terpisah darinya, kita merasakan kesakitan yang luarbiasa, merasakan kesedihan, merasa kehilangan. Jangankan sampai dipisah paksa dari siapa atau apa yang kita anggap sebagai milik kita itu sehingga muncul rasa kehilangannya, sekedar berkurang saja rasa kedekatan itu —dimana ternyata yang bersangkutan juga mencintai orang lain— kita sudah merasa sakit. Inilah yang secara mendasar mencirikan —apa yang disebut dengan— kemelekatan itu.

Cinta adalah kemelekatan, dan kemelekatan adalah cinta. Dan seperti semua bentuk kemelekatan, ia berpotensi menghadirkan kesakitan, kepedihan, kesusahan.

Pada sisi lain, kita mencintai tubuh kita ini; kita merasa memiliknya. Betapa tidak, ia terus bersama kita sejak kita lahir di dunia dalam kurun kelahiran ini. Kita telah menganggapnya —bukan sekedar sebagai milik kita, atau sekedar bagian yang tiada terpisahkan dari keberadaan kita, namun kita juga telah menganggapnya sebagai ‘diri’ kita. Kebanyakan dari kita bahkan beranggapan kalau hanya tubuh inilah ‘diri’ kita, dimana ketika ia mati, ketika ia tiada, kita juga tiada, musnah. Dan ini, tentu sangat menakutkan.

Ketakutan instingtif ini bergandengan tangan dengan insting untuk bertahan hidup —survival-instinct. Dimana, ‘hidup’ disini tentu tekonotasikan pada hidupnya atau bernyawanya jasad ini. Padahal, sesungguhnya, kita tak pernah lahir dan oleh karenanya tak pernah mati. Kita adalah hidup ini sendiri, yang tak bisa mati; hidup dimana segala makhluk-hidup mengalami kelahiran, kehidupan dan kematian terlangsungkan silih-berganti.