Winner Not Whiner


Banyak orang sekarang mengeluh mengenai berbagai hal dalam hidup mereka. Dan biasanya, orang yang banyak mengeluh juga ahli dalam menyalahkan situasi atau orang lain. Mereka mengarahkan jari telunjuk pada ekonomi, pemerintah, atasan mereka, karyawan lain, pasangan mereka, atau siapapun yang mereka temui.

Bahkan ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik, mereka yakin bahwa keadaan itu tidak akan berlangsung lama. Sambil menunggu terjadinya hal-hal buruk, mereka mengeluh dan menyalahkan segala sesuatu yang terjadi hari sebelumnya, dan menunjukkan siapa yang seharusnya dipersalahkan atas segala sesuatunya.

Mengeluh dan menyalahkan sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan psikologis utuk melarikan diri dari masalah dan mengingkari tanggung jawab atas hidup kita sendiri. Mengeluh dan menyalahkan adalah sebuah cara lain untuk mengatakan, "Itu bukan salah saya." Menempatkan diri kita sebagai korban dari seseorang atau sebuah situasi membuat kita merasa aman.

Tapi berita buruknya adalah, menyalahkan dan mengeluh tidak akan membawa kita kemanapun. Ia hanya membuat jarak yang semakin besar terhadap solusi atas masalah kita. Orang yang menyalahkan orang lain atas masalah mereka selalu memiliki alasan untuk tidak berubah dan meningkatkan kehidupan mereka. Faktanya adalah, alasan apapun yang kita kemukakan, ia bukanlah solusi atas masalah yang kita hadapi. Selama kita masih berlindung dibalik segala alasan, kita tidak akan menemukan solusi atas masalah kita.

Hidup adalah soal pilihan. Kita mendapatkan apa yang kita pilih. Hidup kita hari ini adalah hasil dari pilihan yang kita buat kemarin. Dan hidup kita esok adalah hasil dari pilihan yang kita buat hari ini. Sekarang, mari kita putuskan apa yang akan kita pilih:

Hadapi kenyataan, berubah dan meningkatkan kehidupan kita.

Atau…

Habiskan waktu untuk menyalahkan dan mengeluh tentang segala hal.

Dalam kata yang sederhana, apa yang akan kita pilih: Menjadi Pemenang (Winner) atau Pengeluh (Whiner).

Saya yakin bahwa kita semua akan memilih yang pertama, meskipun terkadang tidak segampang itu. Namun, kita tetap harus memilih apa yang ingin kita capai dalam hidup kita. Kita harus memilih, menjadi seorang juara (victor) atau korban (victim), pemenang atau pecundang. Begitu kita mengambil keputusan, secara bertahap perubahan akan terjadi dalam hidup kita.

Sekarang, mari kita berjanji pada diri sendiri. Bila mendapati diri kita mulai mengeluh dan menyalahkan situasi atau orang lain, ingat untuk menghardik diri sendiri, "STOP!" Ambil napas yang dalam sejenak, analisa situasi, paparkan alternatif solusi yang kita miliki, ambil keputusan dan mulailah melangkah menuju solusinya.

Ingat, sukses tidak akan datang dengan sendirinya. Kita yang harus mendatanginya, mengusahakannya. Saya ingin mengakhiri edisi kali ini dengan kutipan kata mutiara yang luar biasa dari William Jennings Bryan di bawah ini:

“Destiny is not a matter of chance, it is a matter of choice. It is not a thing to be waited for, it is a thing to be Achieved!”

"Takdir bukanlah soal kesempatan, ia adalah soal pilihan. Ia bukan untuk dinantikan, ia harus dicapai."


Selamat Tahun Baru !!!


Jadi pemenang atau pecundang?


Pemenang selalu menjadi bagian dari jawaban;
Pecundang selalu menjadi bagian dari masalah.

Pemenang selalu memiliki program;
Pecundang selalu memiliki alasan.

Pemenang selalu mengatakan, "Akan saya lakukan untuk Anda”;
Pecundang mengatakan, “Itu bukan tugas saya."

Pemenang melihat jawaban atas setiap permasalahan;
Pecundang melihat masalah dalam setiap jawaban.

Pemenang mengatakan, "Memang susah, tapi tetap ada kemungkinan";
Pecundang mengatakan, “Memang ada kemungkinan, tapi itu terlalu sulit."

Ketika seorang pemenang melakukan kesalahan, ia mengatakan, “Saya salah.”;
Ketika seorang pecundang melakukan kesalahan, ia mengatakan, “Bukan salah saya.”

Seorang pemenang membuat komitmen;
Seorang pecundang membuat janji.

Pemenang memiliki impian;
Pecundang memiliki rencana kotor.

Pemenang mengatakan, “Saya harus melakukan sesuatu";
Pecundang mengatakan, “Sesuatu harus dilakukan."

Pemenang adalah bagian dari team;
Pecundang terpisah dari team.

Pemenang melihat manfaatnya;
Pecundang melihat penderitaannya.

Pemenang melihat kemungkinan;
Pecundang melihat masalah.

Pemenang percaya pada prinsip menang-menang;
Pecundang percaya bahwa agar bisa menang, seseorang harus kalah.

Pemenang melihat potensi;
Pecundang melihat masa lalu.

Pemenang memilih apa yang mereka katakan;
Pecundang mengatakan apa yang mereka pilih.

Pemenang menggunakan argument yang kuat dengan kata-kata yang lembut;
Pecundang menggunakan argument yang lemah dengan kata-kata yang kuat.

Pemenang berpegang teguh pada nilai dan berkompromi terhadap hal-hal kecil;
Pecundang berpegang teguh pada hal-hal kecil dan berkompromi terhadap nilai.

Pemenang menuruti filosofi empati: "Jangan lakukan pada orang lain hal-hal yang tidak kamu ingin mereka lakukan terhadap kamu";
Pecundang mengikuti filosofi, "Lakukan pada orang lain sebelum mereka melakukannya padamu."

Pemenang membuat segala sesuatunya terjadi;
Pecundang membiarkan segala sesuatunya terjadi.

Kaca Spion


[ Andy F. Noya ]

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?

Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.
Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia.Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.

Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.

Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya . Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah.

Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.

Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami – ibu, dua kakak, dan saya – harus bisa bertahan hidup sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya. Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan. Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ”Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,” ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, “Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras.”
Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong. Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak.

Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.

Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.

Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit …

Mau jadi patung?


Anda pernah melihat batu pualam yg di museum… ada lantai pualam juga kan??


Nah… Satu ketika si lantai pualam mengeluh, “Kenapa yah, kita berasal dari gunung yang sama, batu yg sama, tapi kenapa nasibku begitu buruk, Aku ditempatkan dilantai, kotor dan diinjak-injak orang, sementara kamu ditempatkan ditempat yg indah, disorot lampu berjuta-juta watt, dan dikagumi semua orang… Kamu ditempatkan ditempat yg mulia… sementara aku hanya ditaruh ditempat yg hina”


Lalu patung pualam itu menjawab, “Tahu gak… waktu kita sedang mau dipahat oleh Pemahat Yang Agung itu… kamu mengeraskan dirimu, jadi kamu mematahkan setiap pisau yang dipakai pemahat itu untuk membentuk kamu… Akhirnya pemahat itu menyerah… terus dibiarkan kamu hanya menjadi lantai dan diinjak orang”


“Ketika pemahat Yang Agung itu memahat aku… Aku merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhku… Pisau yang tajam itu melukaiku… dan setiap pahatannya meninggalkan rasa perih yang dalam pada bekas pahatannya… Tapi karena aku tahu aku berada ditangan yang tepat… aku merelakan diriku dibentuk sesuai dengan keinginan sang pemahat… Aku merelakan sepenuhnya akan dibentuk jadi apa aku nantinya… ”


Aku hanya menutup mata dan menikmati pisau menyentuhku…


Dan ketika aku membuka mataku… Aku sudah berada ditengah-tengah sebuah museum yang mahal, Ditempatkan ditempat yang terindah dan dikagumi semua orang… dan disoroti sinar lampu yang membuatku makin merasa berharga…


Dan aku menjadi batu termulia dari semua batu didunia ini. Hanya karena aku ikhlas menjalani semua proses pembentukan yang memang selayaknya dilalui oleh semua “batu” untuk membentuknya menjadi batu yang terbaik.

Hati yang Selesai, Hidung Pesek dan Marijuana Politik


Ada seorang tamatan SMA yang menjadi tukang becak namun hatinya tidak pernah ikhlas dengan pekerjaannya, sehingga satu kali kakinya menggenjot pedal becak, satu kalimat gerutuan nongol dari bibirnya. Setiap berpapasan dengan orang lain, ia merasa di ejek. Kalau ada orang tak sengaja menatapnya, ia langsung bereaksi dengan memelototkan matanya. Ia merasa setiap orang yang naik mobil dan motor, atau bahkan setiap penumpangnya, adalah bangsat-bangsat yang memperhinakan hidupnya, yang bisa beli motor dan mobil dan punya ongkos naik becak karena korupsi, mencopet, atau perbuatan tidak bermoral lainnya.

Hatinya dirundung penyakit. Hatinya tak pernah selesai.

Ia menyangka bahwa menjadi tukang becak adalah suatu kehinaan hidup. Ia beranggapan bahwa menjadi presiden, menjadi orang kaya, menjadi orang terpandang, menjadi direktur perusahaan, itulah hidup yang mulia. Itulah kamukten. Adapun kuli, pemulung, satpam, pengasak, tukang becak - adalah secelakanya- celakanya orang hidup.

Tentu karena ia adalah produk dari suatu masyarakat feodal yang memelihara kebodohan nilai berabad-abad. Ia adalah anak dari jaman dungu yang tidak pernah menggali akal dan rasionalitas, sehingga tidak pernah mengerti bahwa menjadi hidup yang mulia adalah hidup yang benar dan baik. Bahwa menjadi sales yang profesional dan santun dan jujur lebih mulia dibanding menjadi direktur yang curang dan korup. Bahwa menjadi tukang yang setia, tekun dan amanah, lebih tinggi derajatnya dibanding menjadi presiden yang culas, licik, tak tahu malu dan egois.

Maka hatinya penuh kerewelan yang mubazir. Hatinya tak kunjung selesai.

Maka energi pikiran dan hatinyapun dikuras tidak untuk menapak kedepan: bagaimana mencari kemungkinan pekerjaan lain yang menurutnya lebih bergengsi dan berpendapatan lebih tinggi. Bukan untuk melatih ketrampilan baru atau rajin mencari peluang-peluang yang bisa mengembangkan hidupnya.Ia menghabiskan daya hidupnya untuk mengutuk kenyataan hidupnya sendiri, dan ia mandeg dalam kenyataan yang ia kutuk sendiri itu.

Yang paling celaka adalah bahwa dibalik kecamannya atas kemalingan orang lain yang karena itu bisa membeli mobil dan motor,si penarik becak ini diam-diam mencita-citakan suatu peluang untuk juga bisa maling,sehingga juga bisa beli motor. Atau sekurang-kurangnya dia bermimpi kapan ada kesempatan ia bisa menyikat entah motor siapa dan membawanya lari.

Kalau setelah sekian tahun ternyata cita-cita rahasia itu tidak tercapai,maka dialektika antara impian dengan grutuan akan membengkak seperti bola salju. Pelan-pelan ia akan mengalami kekalahan dan keausan. Baik mentalnya maupun mungkin juga fisiknya. Wajahnya tidak bercahaya. Cepat berkerut.

Dan satu kali ia menggerutu, maka sehelai rambutnya memutih.

Tukang becak itu bisa juga seorang politisi, seorang pengusaha, seorang pejuang karier pribadi, bisa juga seorang seniman, penyanyi, pemain sinetron, ustadz, ulama, atau kiai, atau siapa saja. Hidung pesek adalah realitas dan kewajaran hidup mereka masing-masing. Sementara motor dan mobilnya adalah kemenangan politik, kedekatan dengan konglomerat, keunggulan jurus berbuat licik, pemilikan masa atau apa saja. Dan jika kumpulan pemimpin negara dan masyarakat kita adalah orang-orang yang hatinya belum selesai, maka sudah kita alami bersama bencana demi bencana menimpa,termasuk menimpa para pemilik hidung pesek kepemimpinan nasional kita.

Hatinya tak pernah selesai.

Sebagaimana ada juga seorang lain yang hidungnya kalah mancung dibanding orang lain. Sampai tua hatinya tak pernah selesai. Hatinya dipenuhi hidung. Hatinya buram oleh tema hidung dari pagi sampai pagi. Hatinya ruwet oleh ukuran hidung. Banyak urusannya terganggu oleh hidung, bahkan diam-diam banyak rejekinya yang tidak jadi bersentuhan dengannya karena ia sibuk dengan harga diri yang menyangkut hidung.

Demikian juga ketika 'hidung-hidung' itu berupa pemilikan barang, obsesi kedudukan, cita-cita yang tidak rasional, egoisme atas sesuatu hal, baik dalam wilayah pergaulan kecil sehari-hari, maupun perpolitikan besar nasional. Hidung itu bisa bernama konstitusi, demokrasi, pansus, xgate, saham diperusaan, akses modal, dan apa saja. Salah satu puncak dari psikologisme itu adalah si pemilik hidung pesek berfatwa bahwa hidung yang indah dan diterima oleh Tuhan bukanlah hidung mancung melainkan hidung pesek. Dan akhirnya kalau ada pihak yang membantah fatwa, yang sudah dicari-carikan ayatnya itu akan diserbu oleh pasukan hidung pesek.

Negara ini tidak pernah tentram karena hati para pemimpin dan warganya penuh keruwetan dan tak kunjung selesai. Hatinya rakus tuntutan, haus ketidak relaan. Hatinya shakauw : menagih, menagih, menagih. Kalau yang itu naik ke kursi puncak, yang ini juga harus mendapatkan gilirannya. Nanti kalau yang ini naik kepuncak Ia juga akan ditimpa ketidak relaan berikutnya: Yang lain juga harus naik kepuncak.

Kita semua diborgol oleh irama tagihan-tagiham dari kedalaman diri kita sendiri. Kita mengidap narkoba, sabu-sabu, uap lem, marijuana politik, dan kekuasaan.


[ Emha Ainun Najib ]

Petani Impian


Senang rasanya membayangkan hal-hal yang luar biasa yang bisa kita raih suatu hari nanti. Ada banyak hal yang sepertinya yang ingin kita lakukan untuk diri kita sendiri, keluarga maupun masyarakat sekitar kita.Dengan impian manusia, begitulah katanya dunia ini terus bertahan.Lihat saja orang yang hidupnya dipenuhi impian-impian tentang hari esok yang lebih baik... Hidupnya penuh semangat dan antusias...

Dia tidak hanya sekedar bermimpi, tapi benar-benar membangun taman impiannya itu mulai dari mempersiapkan dirinya agar menjadi "Petani Impian" yang lebih baik, mempelajari lahan tempat taman impiannya akan dibangun, dia haus akan pengetahuan bagaimana cara membangun taman impiannya..

Untuk menjadi Petani Impian yang lebih baik, dia mulai dari dirinya, dia belajar Ilmu Diri, dia coba kenali dirinya, apa potensinya.. sampai akhirnya dia tahu di persimpangan mana ia sudah saat ini berada.. kemana dia harus melangkah lebih dulu.. bahkan sekarang dia tahu, ternyata banyak sekali pola pikir, sikap hidup, pergaulannya yang menghambat dia mencapai impiannya...
Banyak hal yang dilakukan dalam hidupnya yang manfaat dari kegiatan tersebut, kesenangannya, hanya untuk hari itu saja...

Sekarang dia telah siap untuk membangun impiannya... taman impiannya sendiri...
Bukan taman impian yang telah disiapkan oleh orangtuanya, juga bukan taman impian om dan tantenya...

Dia ingat sekarang.. beberapa teman yang dia ikuti gaya hidup enak dan santainya ternyata sudah ada jatah taman impian dari famili-familinya...
Sudah saatnya untuk menguji semua pengetahuan yang dimilikinya tentang Menabur Benih Impian dan kemudian menuainya...

Lahan sekarang sudah di depan mata.. semua peralatan sudah disiapkan dan dia sudah mempelajari bagaimana menggunakan alat-alat tersebut.. dia juga yakin.. dengan semakin sering dia gunakan alat-alat ini.. dia pasti akan semakin mahir.. bahkan kalau perlu mengembangkan alat bertani sendiri...

Urutan suskes-sukses kecil sudah terbayang di matanya... fokusnya jelas.. termasuk apa yang harus dikerjakan dan efek atas setiap pekerjaan tersebut...
Oh ya, dia juga pernah mendengar beberapa Petani Impian lain yang gagal.. namun dia juga pernah mendengar tentang Petani-petani Impian yang telah berhasil membangun Taman Impian mereka...

Dia mengerti membangun taman ada resiko perubahan musim, hama dan lain-lain.. namun dengan pasrah berpangku tangan... lebih beresiko lagi...
Tapi dia tidak akan pernah tahu apakah dia akan berhasil membangun Taman Impiannya atau tidak sampai dia benar-benar bertindak membangunnya... karena dia juga mengerti.. kebanyakan ketakutan hanya ada dalam pikiran..

Dia sangat menghormati para Petani Impian yang masih terus berjuang membangun Taman Impiannya.. tapi tidak kepada Petani Impian yang telah menyerah dan sekarang membuat barisan dipinggir ladang sambil bersorak-sorak bahwa Taman Impian tidak mungkin dibangun...
Dari Petani Impian mereka berubah menjadi Pencuri Impian...

Cobalah sebutkan mimpi-mimpi anda pada teman anda, anda akan segera tahu; dia seorang Petani Impian atau Pencuri Impian...
Berapa kali mimpi anda telah dicuri orang?
Lebih buruk lagi, ada orang yang mensabotase impiannya sendiri…

Jangan jadi kepiting


Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting, tapi tidak banyak yang tahu sifat kepiting.
Semoga Anda tidak memiliki sifat kepiting yang dengki.
Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah.

Kepiting itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat.
Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di malam hari, lalu dimasukkan ke dalam wadah, tanpa diikat. Keesokan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantap untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan ini, kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari wadah, sekuat tenaga mereka, dgn menggunakan capit-capitnya yang kuat.

Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil buruannya selalu berusaha meloloskan diri.

Resepnya hanya satu,yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting.

Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari wadah, teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar. Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut wadah, lagi-lagi temannya akan menariknya turun… dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar.

Keesokan harinya sang pemburu tinggal merebus mereka semua dan matilah sekawanan kepiting
yang dengki itu.


Begitu pula dalam kehidupan ini… tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu.
Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalami kesuksesan kita malahan mencurigai, jangan-jangan kesuksesan itu diraih dengan jalan yang nggak bener.

Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi,sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera kita sadari tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.

Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya.

Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalah dalam suatu persaingan,namun yang pasti kita menang dalam kehidupan ini.

Pertanda seseorang adalah ‘kepiting’:

1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi) yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip/pedoman dalam bertindak.

2. Banyak mengkritik tapi tidak ada perubahan

3. Hobi membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting-kepiting yang akan keluar dari wadah dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri.

Seharusnya kepiting-kepiting itu tolong-menolong keluar dari wadah,namun yah… dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya…


Coba renungkan berapa waktu yang Anda pakai untuk memikirkan cara-cara menjadi pemenang.
Dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama. Dan gantilah waktu itu untuk memikirkan cara-cara pengembangan diri Anda menjadi pribadi yang sehat dan sukses.

Open your mind



Dahulu kala di suatu desa kecil di Indian, seorang petani yang sangat miskin mempunyai hutang yang sangat besar kepada rentenir di desa tersebut. Rentenir itu, udah tua, bangkotan, eee.... malah tertarik pada putrinya pak tani yang cakep itu.

Kemudian si rentenir tersebut mengajukan penawaran, dia akan melupakan hutang2 petani tersebut jika dia dapat menikahi putrinya.Sang petani dan putrinya pun bingung dengan tawaran tersebut, kayaknyamereka nggak setuju.

Melihat gelagat seperti itu Si rentenir mengajukan tawaran lagi untuk membuat keputusan. Dia mengatakan, bahwa dia akan meletakkan kepinghitam dan keping putih di dalam kantong kosong, kemudian sang putri petani diharuskan untuk mengambil satu keping dari kantong tersebut.


1. Jika sang putri mendapatkan keping hitam, maka dia akanmenjadi istri rentenir tersebut dan hutang2 petani tersebut lunas.

2. Jika sang putri mendapatkan keping putih, maka rentenir tersebut tidak akan menikahi sang putri dan hutang2 petani tersebut lunas.

3. Jika sang putri menolak mengambil keping, sang petani akan dipenjara.

Berada di halaman petani yang banyak terdapat kepingan2,si rentenir mengambil 2 keping. Ketika mengambil, mata sang putri yang tajammelihat, bahwa keping yang dimasukkan ke dalam kantong keduanya berwarna hitam. Kemudian rentenir itu menyuruh sang putri mengambil keping tersebut di dalam kantong.

Sekarang bayangkan anda ada di sana , apa yang kamu lakukan jika anda sebagai putri tersebut? Jika anda harus menolong sang putri, apa yang harus kau lakukan kepada sang putri?

Melihat hal seperti itu, ada 3 kemungkinan. ..

1. sang putri menolak untuk mengambil kepingan.

2. sang putri menunjukkan, bahwa yang di dalam kantong tersebut keduanya adalah berwarna hitam serta mengungkap, bahwa rentenir tersebut curang.

3. sang putri mengambil keping hitam dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan ayahnya dari hutang2 dan penjara.

Sekarang pertimbangkan cerita di atas. Pengalaman ini digunakan untuk membedakan pemikiran logika dan lateral thinking. Dilema sang putri tidak dapat diselesaikan dengan logika awam. Pikirkan cara lain, jika sang putri tidak memilih pilihan yang diberikan kepadanya.Apa yang akan anda tawarkan kepadanya ?

Jangan melihat jawaban di bawah ini, sebelum anda memikirkan cara lain sebagai saran kepada sang putri, pikirkan 5 menit saja....

`
`
`
`
`
`
`
`
`
`

Baik, begini caranya.

Sang putri memasukkan tangannya ke dalam kantong dan mengambil satu keping tersebut. Tanpa melihat keping tersebut, secara sengaja menjatuhkan (setengah melempar) keping tersebut ke halaman dan bercampur dengan keping2 yang lain di halaman.'Oh, betapa bodohnya aku' kata sang putri, 'tapi, anda nggak usah khawatir, jika tuan melihat sisa kepingan di dalam kantong, maka tuan akan mengetahui keping mana yang saya ambil'. Dengan begitu, sisa yang ada di dalam kantong adalah keping berwarna hitam, sehingga diasumsikan bahwa sang putri telah mengambil keping yang berwarna putih.Sejak rentenir berani menyatakan untuk tidak jujur, sang putri mengubah dari keadaan yang kelihatannya mustahil menjadi keadaan yang sangat menguntungkan.



Moral of the story : Semua permasalahan yang kompleks mempunyai jalan keluar. Yang anda butuhkan hanya melebarkan pemikiran anda.Jika logika anda tidak bisa bekerja, berusahalah dengan lateral thinking.Lateral thinking sangat kreatif, mudah dikerjakan tiap hari.

'Rahasia untuk sukses, adalah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain'...... .Lebih Baik Mulai Menyalakan Lilin daripada terus menerus mengutuki kegelapan yang menyelubungi kita...