Tidak memburu Rasa Bangga dan mengharap Pahala


Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki,

dan itu mungkin tidak akan pernah cukup.

Tetapi, tetaplah berikan yang terbaik.

~ Mother Teresa ~


Mengapa kita kurang menghargai sesuatu yang diperoleh dengan mudah walaupun sebetulnya ia bernilai tinggi, dan sebaliknya sangat menghargai yang diperoleh dengan bersusah-payah, dengan bersimbah keringat dan air-mata, walaupun ia sebetulnya tak begitu bernilai? Adakah karena yang sebetulnya kita hargai bukanlah sesuatu itu, hasil dari usaha kita itu, melainkan usaha kita sendiri di dalam memperolehnya? Lantaran kita menghargai jerih-payah kita sedemikian tingginya, melebihi nilai nominal dari jeri-payah itu sendiri?
Tapi, kenapa demikian? Adakah lantaran romantisme yang menggurat sedemikian dalamnya di hati kita, ketika berupaya-keras memperolehnya, dimana ketika kita merasa berhasil, ia menjadi kebanggaan ego ini?

Kalau memang demikian adanya, dan Andapun dengan jelas melihatnya demikian, maka Anda melihat bagaimana ego selama ini menggerakkan Anda untuk berbuat, bekerja, berusaha. Anda bisa saja tampak mengorbankan banyak hal dalam mencapainya; Anda bisa saja bahkan mengorbankan-diri Anda, namun, semua itu masih ada di wilayah egotisme. Semua itu sama-sekali bukan tindakan altuistis.

Altruisme tidak memburu rasa bangga. Ia bebas dari rasa bangga-diri. Kalaupun terbit rasa bangga daripadanya ... baik, patut disyukuri; kalaupun tidak, tidak apa-apa; toh bukan itu yang dicari. Seikhlas Anda membuang hajat di WC, dimana tanpanya Anda malah merasa tidak-nyaman, merasa mulas, seikhlas itu pulalah Anda melangsungkan setiap tindakan altruistis. Inilah kurban-suci.
Nah ... sekarang coba periksa lagi apa yang selama ini kita anggap sebagai ‘kurban’ itu. Adakah itu kita lakukan demi pahala yang kita harap akan kita petik di alam baka nanti, walaupun di bibir kita terus berkata: ‘Saya ikhlas ... saya ikhlas kok!’?