Memilih Kedunguan dan menendang keras Kearifan


Semakin jauh kemajuan evolusi spiritual umat manusia,

semakin pasti bagi saya bahwa:

jalan menuju relijiusitas sejati tak semata-mata terletak pada ketakutan pada

kehidupan, ketakutan terhadap kematian, keyakinan yang membuta;

namun suatu perjuangan mengikuti kaidah-kaidah pengetahuan rasional.

~ Albert Einstein ~


Tubuh ini milik alam, milik dan merupakan bagian dari semesta alam material. Oleh karenanya ia mesti tunduk pada hukum dan kaidah-kaidah semesta material. Itulah salahsatu sifat-dasarnya yang paling alamiah. Menginginkannya lain dari itu, mengharapkannya melakukan penyimpangan sih boleh-boleh saja ... Asal seseorang siap menanggung konsekuensinya; setidak-tidaknya berupa kekecewaan. Cuma, tidaklah arif untuk sengaja mengundang kekecewaan bukan?

Kita tahu kalau, walau secara garis-besar sama, sangat mirip satu dengan yang lainnya, tubuh setiap orang punya karakteristik spesifiknya sendiri, punya keunikannya sendiri. Jadi tak bisa digeneralisasi atau dipukul-rata. Kita tahu itu. Itu sangat realistis bagi kita. Kalau hanya lantaran sesama milik alam lantas saya berharap alam akan memperlakukan tubuh saya ini bisa awet-muda, penuh vitalitas serti tubuh Anda misalnya, itu berarti saya sengaja mengundang kekecewaan bukan?

Tapi begitulah kebanyakan dari kita. Suka “neko-neko”, tanpa sepenuhnya disadari sengaja mengundang kekecewaan, kekhawatiran, kecemasan, ketakutan yang sebetulnya tidak perlu. Kita tahu kalau ‘sesuatu’ seperti ini, tapi kita malah mengharapkannya seperti itu. Tapi kenapa? Kenapa kita bisa sedungu itu?

Inilah ulah si keinginan. Mungkin muncul kilah di benak kita: tidak bolehkah kita menginginkan yang baik, yang ideal?

Seperti dikatakan tadi, ‘itu sih boleh-boleh saja...’ asal kita siap menanggung konsekuensinya. “Konsekuensinya” inilah yang umumnya tidak kita perhitungkan ketika menginginkan sesuatu. Kita sudah sedemikian terbiusnya oleh keinginan itu sehingga kita tak segan-segan lagi menyingkirkan jauh-jauh akal-sehat. Dan bila memang yang seperti itu kita lakukan —yang kita sebut sebagai ‘pilihan kita’— maka tak ubahnya kita memilih kedunguan dan menendang keras kearifan.