Bercermin Pada Hati Nurani



“Bercermin pada Hati-nurani” merupakan ungkapan yang sangat indah untuk diucapkan pun didengar bukan? Ketika kita mengucapkannya, kita serasa bak seorang bijak; dan yang mendengarkanpun boleh jadi menyangka kita demikian. Akan tetapi, sadarkah kita akan betapa tingginya makna dari ungkapan itu?
Pada sisi lain, saya masih menyangsikan kalau yang mengucapkan itu tahu dan memang pernah bertemu dan bercermin pada hati-nuraninya. Sebab, apa yang umumnya disebut-sebut dan disangka banyak orang sebagai “hati-nurani” seringkali hanyalah bentuk perasaan atau letupan atau impuls emosi sesaatnya saja.
Dalam Wedhatama —sebuah masterpice dari Kanjeng Mangkunegoro IV—dengan lugas beliau mengatakan: “Hati-nurani merupakan tempat yang suci, dimana Tuhan bertahta”. Makanya saya katakan betapa tingginya makna dari ungkapan “Bercermin pada Hati-nurani” itu. Jelas tak sembarang orang bisa bercermin atau melongok “Tahta Tuhan” sesuka hatinya.
Hanya ketika batin seseorang sedemikian murninya, ia mungkin dipertemukan dengan hati-nurani-nya, kendati hanya sesaat.Bukan sebelumnya atau sesudahnya. Kalau sekedar bentuk-bentuk perasaan —seperti rasa suka dan tidak suka dan yang sejenisnya— atau letupan emosi —seperti rasa cinta, atau belas-kasihan dan yang sejenisnya—adalah hati-nurani, maka sudah sejak dahulu dunia ini aman dan damai, sudah sejak dulu sorga pindah ke muka bumi ini. Padahal, untuk boleh sekedar melongok ke “Tahta Tuhan” ini saja, kita sudah diharuskan mampu mendiamkan gelora perasaan dan gejolak pikiran —yang bukan main sulitnya itu. Apalagi untuk benar-benar bercermin.
Untuk bisa benar-benar bercermin pada hati-nurani, kita diharuskan punya kadar “kualitas keilahian” yang cukup tinggi. Tapi, tahukah Anda apa “kualitas keilahian” itu? Apakah Anda sangka itu adalah sejenis kesaktian, kanuragan, kemampuan supra-natural, kemampuan adi-kodrati atau yang sejenisnya? Bukan; bukan itu.
“Kualitas keilahian” hanya hadir pada batin yang telah sedemikian murninya. Makanya, hanya jika batin seseorang telah sedemikian murninya, ia mungkin dipertemukan dengan hati-nuraninya.