Apa yang selama ini kita sebut dengan ‘arif’?



Kita boleh jadi mengharapkan terjadi perubahan, dari yang kita anggap buruk menjadi baik, dari yang kita anggap jelek menjadi bagus, atau yang sejenisnya; dimana kita seringkali tidak bisa menerima begitu saja semua bentuk perubahan yang sebaliknya. Kita memang menginginkan perubahan, tapi kita hanya menginginkan perubahan yang mengarah pada perbaikan atupun penyempurnaan. Dan, kitapun tidak akan segan-segan menggelar usaha serius ke arah itu. Bila perlu, kita mengerahkan segenap waktu yang tersedia, sumber-daya dan sumber-dana yang ada demi tejadinya  perubahan itu.

Begitulah umumnya kita menyikapi perubahan. Kita tidak selalu menerima atau mengharap terjadi perubahan, pun sebaliknya, tidak selalu menolak atau menghindarinya. Menyikapi perubahan dengan cara seperti ini, mungkin kita anggap ‘cerdik’, atau bahkan ‘arif’. Tapi, mari kita cermati sekarang apa sebetulnya yang selama ini kita anggap sebagai ‘cerdik’ dan ‘arif’ itu.

Yang kita sebut ‘cerdik’ itu ternyata menganut pola untung-rugi, pola mujur-malang, pola kalah-menang, demi kepentingan egoistis kita. Dan menerapkan pola ini, terbukti sangat mudah membuat kita terperosok ke dalam tindakan ‘licik’. Itulah kecerdikan buat kita selama ini.
Lalu, apakah ‘licik’ bisa disebut ‘arif’? 

Licik’ jelas bukan suatu tindakan ‘bijak’. Kebijaksanaan tidak mengandung motif egoistis. Makanya, dalam kebijaksanaan sajalah mungkin temukan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Kearifanseperti anggapan kita selama ini, yang dekat dengan ‘kelicikan’ itu bukanlah kebijaksanaan. Arif belum tentu bijak; walau pada seseorang yang bijak, selalu kita temukan bentuk-bentuk tindakan arif.