Dari Kesadaran-personal hingga Kesadaran-universal


Kesadaran-personal, bentuk kesadaran yang menegaskan bahwa kita ini ada sebagai sesosok pribadi yang tegas berbeda dengan yang lainnya; ini didukung kuat oleh kesadaran-ragawi serta pola-pandang kasat-indria. Sementara, kesadaran-ragawi ini sendiri tidak bisa hadir tanpa dukungan kerja dari segenap organ indria —lima indria sensorik dan lima indria motorik. Oleh karenanya, kesadaran-personal ini bisa juga disebut kesadaran-indriawi. Penganut bentuk kesadaran ini sangat banyak jumlahnya di dunia. Bahkan, hampir semua diantara kita ini masih dengan kuat menganut bentuk kesadaran ini.

Sementara kesadaran-sosial lebih merupakan kesadaran-mental. Ia berkembang dalam interaksi-interaksi sosial —yang pada hakekatnya adalah berinteraksi secara mental— yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk kesadaran inilah yang memberitahu kita kalau manusia lain juga sama manusianya dengan kita, yang menegaskan kepada kita bahwa manusia lain juga punya kebutuhan-kebutuhan yang serupa, punya prilaku dan pola-pikir yang serupa, dan banyak kesamaan-kesamaan lainnya. Dan oleh karenanya pula kita butuh membentuk suatu masyarakat yang menjamin adanya jalinan sosial, kegotong-royongan dan keharmonisan. Kesadaran-sosial yang ada pada diri ini sangat mengidam-idamkan keharmonisan dan kedamaian. Tindakan altruistis hanya bisa kita temukan pada mereka yang sudah sepenuhnya menjejakkan kakinya di wilayah kesadaran ini.

Kesadaran-universal hanya mungkin hadir pada mereka yang sudah berkembang kesadaran-spiritualnya. Bentuk kesadaran ini sudah tidak memisah-misahkan lagi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, antara spesies satu dengan spesies lainnya. Apa yang terlihat hanyalah makhluk-hidup, hidup dan bentuk-bentuk kehidupan itu sendiri, yang mau-tak-mau mesti harmonis dengan alam dimana mereka hidup. Bagi kesadaran ini, kematian jasad sudah kehilangan daya terornya; bahkan sudah kehilangan maknanya. Itu tak-ubahnya berganti pakaian. 

Kebanyakan dari kita masih berkubang pada bentuk kesadaran pertama —kesadaran-personal. Makanya persoalan ego menjadi persoalan yang merepotkan semua orang. Hanya mereka yang benar-benar menyadari keberadaannya sebagai abdi Tuhan —melalui mengabdi kepada sesama dan kepada prinsip-prinsip kemanusiaan itu sendiri— sajalah yang mampu mulai bergerak meninggalkan bentuk kesadaran-personal, yang sudah mulai menanggalkan ego beserta segenap implikasi egoistisnya hingga batas-batas tertentu, guna memasuki kesadaran-sosial —bentuk kesadaran yang bersendikan pada sikap altruistik yang sarat dengan kerja tanpa-pamerih.
Sungguh tidak banyak yang berhasil memasuki jenjang kesadaran-universal yang bertumpu pada mekarnya kesadaran-spiritual ini; ia mengatasi dan melingkupi kedua bentuk kesadaran sebelumnya. Disinilah kian tampak nyata betapa kekuatan spiritual jauh melampaui kekuatan fisikal atau material manapun. 

Seseorang yang belum berkembang kesadaran-sosialnya —dimana etika-moral mencirikannya dengan kuat, nyaris tak mungkin langsung masuk apalagi melangkahkan kakinya di wilayah kesadaran ini. Kepatuhan terhadap kaidah-kaidah etika-moral inilah yang ‘membebaskannya’ dari belenggu kesadaran-personal —yang kuatnya diwarnai oleh egoisme itu. Tak seorangpun berhak mengklaim sebagai dan pantas menyandang sebutan ‘seorang universalis’ sebelum menanggalkan egoismenya. Memaksakan diri, sama artinya dengan menguatkan egoisme.