Agama Akal-sehat dan Hati-nurani

Kalau Anda setuju bahwa ‘agama adalah untuk manusia dan bukannya manusia untuk agama’ dan benar-benar menjalani kehidupan beragama Anda atas dasar itu, maka Anda termasuk orang yang beragama secara rasional, menggunakan akal-sehat. Kecil kemungkinannya kalau Anda terjebak dalam dogmatisme, apalagi fanatisme. Andapun tak akan segan-segan menampik apa-apa yang Anda anggap bertentangan dengan akal-sehat dan hati-nurani Anda, kendati itu disebut-sebut sebagai berasal dari kitab-suci dari agama —yang secara formal— Anda anut, dan sebaliknya tak segan-segan menerima dengan terbuka apa-apa yang selaras dengan akal-sehat dan hati-nurani Anda, kendati itu berasal dari ajaran agama lain, agama yang —secara formal— bukan agama yang Anda anut.

Anda tak akan merasa perlu, malah akan malu, untuk membawa-bawa ajaran agama anutan-formal Anda itu dalam kehidupan profan Anda, apalagi menggunakan sementara ayat-ayat kitab-sucinya hanya sebagai pembenar atau dalih atas ketidak-senonohan Anda di dalam menjalani kehidupan multi-dimensional ini. Bagi Anda, ajaran agama tidak bisa disamakan dengan ilmu pengetahuan, melainkan lebih pada ‘wahana’ Anda di dalam meraih tujuan hidup Anda, missi dari kelahiran Anda ini.

Makanya, tidaklah mengada-ada kalau dikatakan bahwa Anda sebetulnya menganut ‘Agama Akal-sehat dan Hati-nurani’, atau dengan nada sinis ada yang menamainya dengan ‘Agama Pribadi’ —karena bagi Anda, anutan Anda memang merupakan anutan Anda yang sangat pribadi sifatnya, dimana di jalan itulah Anda benar-benar hidup, benar-benar menjalani kehidupan Anda dalam segala suka dan dukanya.

Andapun tak merasa perlu untuk —secara frontal— menentang tradisi relijius atau yang sejenisnya yang dipraktekkan oleh lingkungan sosio-kultural dimana Anda hidup. Bukan karena takut dijauhi atau dimusuhi, takut dianggap ekstrimis, melainkan karena maklum kalau setiap orang punya anggapan, tingkat pemahaman, serta cara-caranya sendiri di dalam menerapkan rasa keber-agama-annya masing-masing; karena sadar sesadar-sadarnya kalau setiap orang punya kebebasan untuk melakoni anutannya masing-masing sesuai tingkat pemahaman serta kemampuannya masing-masing. Buat Anda, ‘beragama itu tak harus begini, atau begitu’, asalkan tetap mengindahkan tatanan etika-moral dari masyarakat dimana kita senyatanya hidup.

Kalau Anda mau dan ingin kedengaran bergaya, Andapun bisa mengatakan kalau Anda ‘telah melepas baju agama’. Dengan catatan bahwa, yang Anda maksud dengan ‘baju agama’ adalah ‘organisasi agama’, karena Anda tak bisa lagi dianggap sebagai salah seorang dari anggota ‘organisasi agama besar dunia’ manapun, karena beragama seperti itu tak-ubahnya paradigma ikut-ikutan, yang tidak berdasarkan akal-sehat dan hati-nurani.