Pandangan Keliru terhadap Spiritualisme

" Spiritualitas berarti bangun. Kebanyakan orang, kendati mereka tak menyadarinya, sedang pulas..."

Bila kita masih saja beranggapan kalau kita ini adalah sosok ‘raga yang berjiwa’, kita tak akan pernah memahami —apalagi benar-benar masuk di dalamnya dan menjalani— apa itu spiritualitas, apa itu jalan dan kehidupan spiritual. Makanya, tugas pertama dan terpenting dari spiritualisme —kalau mau dikatakan begitu— adalah mengikis ‘pandangan keliru’ ini.

Pengetahuan-objektif —yang bertumpu kuat pada atau sangat mengandalkan kemampuan indria-indria sensorik serta kemampuan akal-pikir— tentang berbagai objek luaran, termasuk spiritualisme, memang cenderung mengantarkan siapapun pada bentuk-bentuk ‘pandangan keliru’. Padahal, pengetahuan yang paling kita kenal, yang kita biasakan di bangku-bangku sekolah dan perguruan tinggi, yang dinobatkan oleh nyaris semua orang sebagai pengetahuan adalah pengetahuan objektif ini. Inilah salahsatu sebab utama mengapa kekeliruan demi kekeliruan terhadap apa itu spiritualisme dan spiritualitas itu sendiri kian melebar dan meluas.

Padahal, secara intelek, spiritualisme itu sangat sederhana. Ia adalah sebentuk faham yang berpandangan bahwasanya kita ini dan segenap makhluk-hidup berjasad —baik kasar maupun halus— bukanlah sosok ‘raga berjiwa’ melainkan ‘jiwa yang ber-raga’. Sesederhana itu sebetulnya. Secara intelek ia sangat mudah dimengerti bukan? Tapi mengapa tak sedikit orang —bahkan yang merasa menekuni sejenis kehidupan spiritual sekalipun— masih saja keliru, masih saja salah-sangka, dengan mempersamakannya dengan spiritisme, bahkan dengan praktek-praktek klenik dan betuk-bentuk kanuragan? Mengapa?

Disinilah tampak kalau peran naluri atau insting sebetulnya masih sangat dominan pada kebanyakan dari kita. Secara naluriah kita ini bukanlah ‘makhluk intelek’, melainkan lebih merupakan ‘makhluk emosi’, tak peduli seberapa tinggipun jenjang pendidikan formal dan non-formal yang sudah kita rambah. Kita cenderung mengukur, menilai, menanggapi dan menyikapi segala fenomena yang kita alami dalam hidup ini secara naluriah —dalam artian, sesuai dengan impuls-impuls emosi yang terpicu. Sebagai salahsatu contoh, walaupun seseorang berniat baik terhadap kita, namun kalau ia menyampaikan niatnya itu dengan cara-cara yang tidak berkenan di hati, kita akan cenderung menampiknya. Demikian pula sebaliknya; walaupun seseorang menemui kita dengan niat buruk, kalau ia menyampaikannya sedemikian rupa melalui bujuk-rayu yang melenakan atau mengibakan hati, kita dengan cepat mempercayai dan menerimanya dengan tangan terbuka.

Dunia spiritual bebas dari dominasi kecenderungan-kecenderungan naluriah seperti ini. Ia mengangkat martabat manusia dengan mengikis naluri-naluri hewaninya, memanusiakannya kembali, bahkan mentransformasikannya ke tataran keilahian.