Keselarasan antara Pemikiran, Ucapan dan Tindakan


Saya sering mengatakan pada istri saya kalau ‘jangankan tindakan fisikal ataupun ucapan, berpikir salahpun kita harus tanggung akibatnya’. Dan bagusnya, ia tampaknya mengerti; walaupun, seperti juga saya, belum mampu sepenuhnya untuk selalu berpikir benar.

Yang sering amati didalam kehidupan kita sehari-hari, adalah bahwasanya, kita sangat cenderung menyangka kalau kita ‘telah’ berpikir dengan benar, tanpa benar-benar memeriksa dsn mencermati kerja dari si pikiran —yang nyaris tak mau terlepas dari perasaan. Ketika si pikiran berkata: “Benar juga apa yang dikatakannya ....” misalnya, si perasaan segera menyahuti: “Sok tahu lu....”. Ketika si pikiran berkata: “Sebaiknya saya membereskan pekerjaan rumah saya dulu sebelum berangkat”; si perasaan menimpalinya: “Kita bisa kehilangan kesempatan untuk duduk di kursi depan”. Akhirnya ... alih-alih berpikir benar, kita malah terjebak keraguan, lantaran selalu berpikir berdasarkan pola ‘untung-rugi’ dan ‘kalah-menang’.

Pikiran punya sifat aktif, agresif dan sejenisnya; dan perasaan bersifat lembam, malas, mau enaknya saja, atau sejenisnya. Seperti apapun kerja duet pikiran-perasaan, tak akan pernah benar-benar membuahkan kearifan. Karena intelijensia-murni-lah yang arif. Hanya intelijensia-murni-lah yang membantu kita guna bisa berpikir benar, sehingga mungkin punya pandangan yang benar akan segala sesuatunya.


Padahal, kalau saja kita bisa menjadikan apapun yang sedang kita pikirkan juga hal yang sedang kita bicarakan dan kerjakan, kita punya kemungkinan yang sangat besar untuk menggapai keberhasilan, juga ketenteraman hati. Karena didalamnya bisa dipastikan terjadi keselarasan antara pemikiran, ucapan dan tindakan.