Mengapa Sombong ?

If it isn't good, let it die.

If it doesn't die, make it good.

[ Ajahn Chah ]

Disamping memang ada yang terlahir dengan watak sombong, angkuh, tinggi-hati, arogan atau sejenisnya, yang dibawanya sebagai 'sifat bawaan', munculnya kesombongan di permukaan juga bisa dipicu oleh banyak hal seperti: kemenangan, kepintaran, keakhlian, kekuatan, kesaktian, pangkat atau jabatan, pengaruh, kekuasaan, kebangsawanan, kekayaan, kemasyuran, kerupawanan, kemapanan, berbagai bentuk kehebatan dan keunggulan lainnya. Banyak hal yang bisa memicu atau mengundang bangkitnya kesombongan, walaupun sebetulnya dalam kondisi apapun seseorang tidaklah pantas sombong.

Memang ada orang-orang yang berwatak sombong. Kendati mereka tidak ada dalam posisi unggul, mereka tetap saja sombong. Yang seperti ini tentu tak butuh sejenis pemicu tertentu untuk memunculkan kesombongannya. Ada juga yang sadar kalau mereka sebetulnya berwatak sombong —walaupun yang seperti ini relatif jarang— dan berusaha 'menyamarkannya' melalui penampilan dan tutur-kata yang tampak rendah-hati. Merasa berhasil mengelabui orang-orang, 'penyamaran' ini malah mengelabui dirinya sendiri, membuatnya menyangka sudah berhasil menundukkan kesombongannya. Padahal sebetulnya tidak. Malah sebetulnya kesombongannya kian halus, yang juga berarti kian menguat.

Kesombongan halus ini bisa ditunjukkan antara-lain melalui lontaran-lontaran seperti: 'Saya tidak tahu apa-apa', 'Saya orang bodoh', 'Saya hanya takut pada Yang Di Atas', dan lain sebagainya. Kesombongan halus ini bahkan bisa sedemikian rupa menampilkan seseorang sebagai baik-hati, dermawan, sopan, patuh bahkan 'rendah-hati' —yang sebetulnya rendah-diri.

Tetapi, seperti telah disinggung sebelumnya, walaupun seseorang sebetulnya tidak berwatak sombong, munculnya kesombongan bisa dengan mudah dipicu oleh banyak hal —yang pada dasarnya adalah kemunculan sebentuk perasaan 'merasa lebih' itu. Namun, bila direnungkan, kenapa sih kita sombong? Apakah kita memang punya kecenderungan itu, dengan kadar yang berbeda-beda satu-sama-lain? Kenapa kita bisa 'merasa lebih', 'merasa super'? Darimanakah munculnya rasa ini?

Kita tahu, kita tak akan pernah tahu apakah kita 'lebih' atau 'kurang' kalau tidak membanding-bandingkan bukan? Padahal, membanding-bandingkan —yang adalah kerja dari si pikiran—merupakan kebiasaan nyaris semua orang. Membandingkan sesuatu atau seseorang dengan yang lainnya secara objektif mungkin saja memang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak berkontribusi langsung pada rasa 'lebih' atau 'kurang' itu, tapi membandingkan seseorang dengan diri kita, membandingkan miliknya dengan milik kita inilah berkontribusi langsung. Jadi, walaupun bisa diduga kalau kesombongan erat-kaitannya dengan si pikiran dan si diri ini, kini tampak makin jelas kalau kesombongan tiada lain dari ekspresi egoisme itu sendiri. Singkatnya, karena saya egois-lah maka saya juga sombong.