Si Cacing dan Tahi kesayangannya

Sebagian orang memang kelihatannya tidak ingin bebas dari masalah. Jika mereka sedang tidak punya cukup masalah yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron untuk mengkhawatirkan persoalan tokoh-tokoh fiksi di dalamnya. Banyak juga yang merasa bahwa ketegangan membuat mereka lebih “Hidup”, mereka menganggap penderitaan sebagai hal yang mengasyikkan. Mereka tidak ingin bahagia, karenanya mereka begitu melekat pada beban mereka.

Tersebutlah dua orang Bhikkhu yang merupakan sahabat dekat sepanjang hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa di alam dewa yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di seonggok kotoran.

Sang dewa segera merasakan kehilangan teman lamanya dan kemudian bertanya-tanya di manakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam dewa dimana dia berada, lalu dia mencari temannya itu di alam dewa yang lain, dan temannya itu masih tidak ditemukan juga.

Dengan kemampuan dewanya, Sang Dewa melakukan pencariannya di alam manusia, masih belum ketemu juga. “Pasti temanku ini tidak terlahir di alam hewan” begitu pikirnya, namun dia tetap memeriksa alam hewan, “Siapa tahu!?”, pikirnya.

Masih saja belum ditemukan tanda-tanda keberadaan temannya itu. Lanjutlah pencariannya ke dunia serangga, jasad renik dan ..... tak disangka dia menemukan temannya itu terlahir sebagai seekor cacing dalam seonggok kotoran yang menjijikkan!

Ikatan rasa persahabatan di antara mereka yang begitu kuatnya menjadikan Sang Dewa merasa iba dan ingin membebaskan teman lamanya itu dari kelahiran yang mengenaskan itu. “Entah karma apa yang menjadikannya terlahir di situ??”, gumamnya.

Sang dewa pun memunculkan diri di depan tumpukan kotoran tersebut dan memanggil, “Hei cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita pernah sama-sama menjadi bhikkhu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir di alam dewa yang menyenangkan,
sementara kamu terlahir di kotoran sapi yang menjijikkan itu sebagai cacing. Jangan khawatir, aku akan membawamu ke surga bersamaku. Ayolah teman, sini ikut aku!”

“Tunggu!” teriak si cacing, “Apa sih hebatnya alam dewa itu? Aku senang dan bahagia di sini di lingkungan yang harum dan nikmat ini; lezat sekali, apa kamu bilang ini, Tahi?? Ya apalah itu, tapi enak sekali ini, tidak usah membawaku kesana , terima kasih dan aku disini saja.”

“Eh, alam dewa itu enak, yang pasti tidak bau,” jelas si dewa berpromosi dan berceritalah dia enaknya di alam dewa itu dan betapa bahagianya kalau berada di alam itu.

“Apa disana ada benda lembut dan lezat seperti yang ada di sekelilingku ini?”, tanya si cacing.

“Ya, kalau itu yang engkau inginkan, tentu saja tidak ada!' sahut si Dewa mulai gemas —‘Masa di alam dewa ada tahi!?’, pikirnya, heheheh.

“Kalau begitu , nggak ah! Aku disini saja”, jawab si cacing mantab. “Udah dulu yah! Aku mau makan dulu nih!” dan si cacing pun menyelam ke lautan makanannya, yang menurut dia nikmat ...onggokan tahi itu.

“Kalau dia sudah melihat alam dewa tentu lain pikirannya dan mungkin dia mau tinggal disana dengan rela,” pikir si dewa. Kemudian dia mengais onggokan tahi itu untuk menemukan si cacing. Nah, ketemu! Ditariknya si cacing keluar dari kotoran itu, namun ....

“Hei! Apa-apaan ini! ?Jangan ganggu aku, lepaskan!” teriak si cacing marah. Menggeliatlah dia, meronta dan setelah lepas, langsung menyelam lagi ke tumpukan tahi untuk bersembunyi.

Sang Dewa kembali mencoba mengeluarkan si cacing .... dapat! dan hampir bisa dikeluarkan dari tumpukan tahi itu, namun lendir dan cairan di tahi itu yang licin menjadikan mudah bagi si cacing untuk melepaskan diri dan kemudian bersembunyi makin dalam. Kembali si dewa menggobok-obok tahi itu dan mencoba menarik keluar si cacing, demkian lah seterusnya sampai seratus delapan kali.

Akhirnya si dewa menyerah dan kembali ke alam dewanya dan meninggalkan si cacing di tumpukan makanannya yang lezat dan nikmat —onggokan tahi kesayangannya.