Mengapa Menilai dan Menghakimi?


Kita umumnya menilai segala sesuatunya, menilai semua kejadian dan semua orang. Itu sudah menjadi kebiasaan mental kita. Bahkan, pada sementara orang, merasa menemukan sejenis kesenangan, kepuasaan, di dalam menilai. Kalau yang dinilainya itu ternyata ‘rendah’ di matanya, ia merasa ‘tinggi’, setidak-tidaknya merasa lebih tinggi dari yang dinilainya itu. Kegemaran menilai ini berkerabat sangat dekat dengan kegemaran ‘menghakimi’.

Inilah salah satu bentuk prilaku dari mereka yang menganut —apa yang kita sebut dengan— “pola-pandang ke luar” itu. Mereka sangat cenderung mengarahkan perhatiannya ke luar. Dan oleh karenanya, mau-tak-mau juga akan menganut “pola-pandang kasat-indria”. Kedua pola —yang tidak memungkinkan seseorang untuk benar-benar memasuki wilayah spiritual— ini, tak bisa dipisahkan satu-sama-lain. Keberadaan yang satu akan diikuti oleh keberadaan yang lainnya. Mereka bagaikan kembar-siam. Sahabat dekatnya adalah “pola-pertanggungjawaban ke luar”.

Yang menganut “pola-pandang kasat-indria” hanya bisa menerima sesuatu sebagai nyata bila bisa dipersepsinya lewat indria-sensoriknya. Baginya, yang tak kasat-indria, apalagi tak kasat-pikir, tidak akan bisa ia anggap sebagai nyata, riil. Agar sesuatu bisa disebutnya nyata, sesuatu itu mestilah kasat-indria, atau sejauh-jauhnya kasat-pikir. Yang menganut “pola-pertangungjawaban ke luar” akan mempertanggungjawabkan setiap tindakannya ke luar, kepada pihak lain, kepada orang-orang, atau bahkan kepada sosok Makhluk Agung ciptaan inteleknya. Makanya, pengakuan pihak luar menjadi sesuatu yang sangat berarti baginya. Tanpanya, mereka merasa gagal, merasa tidak berarti dan kehilangan semangat.