Rasa Iba-diri, Ketakutan dan Identifikasi-diri Keliru


Ralph Waldo Emerson : Do the thing we fear, and death of fear is certain.

Rasa iba-diri bukan saja terekspresi berupa pementingan dan pemanjaan-diri, namun juga berupa ketakutan dalam berbagai jenis dan kualitasnya. Selanjutnya, apapun yang diperbuat seseorang hanyalah berdasarkan ketakutan ini. Takut pada kemiskinan (material) misalnya, orang akan membanting-tulang mengumpulkan harta-benda; takut mati, ia menjaga kesehatannya baik-baik; takut bodoh atau dikatakan bodoh, ia menimba ilmu-pengetahuan sebanyak-banyaknya; takut direndahkan, ia berusaha meraih jabatan setinggi-tingginya. Apapun yang ia lakukan, hanya cerminan dari ketakutannya sendiri.

Ketakutan juga merupakan cerminan dari ketidak-tahuan. Ketika seseorang telah ‘mengetahui dengan jelas’ sesuatu itu, maka ketakutan akan hal itupun sirna dengan sendirinya. Hanya ketika ia belum tahu sajalah ia masih takut-takut, waswas, sangsi, khawatir, cemas dan sejenisnya. Orang yang telah mengetahui kematian dengan jelas misalnya, tidak lagi takut mati. Demikian juga halnya dengan orang yang telah mengetahui kehidupan ini dengan jelas, tidak akan takut menghadapi beraneka bentuk badainya. Disini menjadi jelas bagi kita kalau ‘mengetahui dengan jelas’, bukanlah sekedar kebutuhan intelektual, namun kebutuhan emosional juga.

Peradaban manusia, tatanan suatu masyarakat, adat-istiadat, bentuk-bentuk peraturan dan perundang-undang, jelas mengarahkan siapa saja pada keteraturan, pada ketertiban. Namun, sesungguhnya semua itu juga lahir dari ketakutan. Bila ini Anda sadari, Anda akan sadar betapa kita semua hidup dalam samudera-luas ketakutan. Dan sekali lagi, ini merupakan salah-satu ekspresi dari rasa iba-diri—yang amat mendasar sifatnya.

Dari mana sesungguhnya rasa iba-diri ini berasal? Dimana ia mengakar? Mungkin demikian pertanyaan Anda. Ia mengakar pada identifikasi-diri keliru. Semasih kita secara keliru mengidentifikasikan-diri sebagai “raga yang berjiwa”, secara keliru menyangka kalau “diri” ini adalah “raga yang berjiwa”, selama itu juga akan muncul berbagai bentuk pemikiran, perasaan, dan berbagai bentuk upaya dalam rangka mempertahankan jiwa, mengikat erat-erat sang jiwa pada raga ini, jasmani ini, badan kasar ini.

Hanya lantaran kebodohan atau ketidak-tahuan kitalah yang menyebabkan kita mengidentifikasikan segala sesuatunya secara keliru bukan? Terlalu banyak kekeliruan yang telah kita perbuat karena kedodohan ini. Ia telah membenamkan tak terhitung banyaknya makhluk di samudra kelahiran dan kematian.