18


Dalam dharma-sadhana, terdapat 18 tuntunan yang sangat bermanfaat jika kita resapi dan dipegang sebagai pedoman menjalani kehidupan yang lebih baik. Semua yang saya paparkan disini ditujukan untuk menghindari pandangan dan perilaku keliru yang hanya mempertebal sikap mengasihi diri sendiri —akar semua masalah. Karena itu kita harus waspada dan terus berupaya melenyapkannya.

1. Pertama adalah berlatih untuk tidak melanggar tekad yang telah ditetapkan dan tidak menyimpang dari garis latihan.

Jika misalnya, dalam latihan mengasihi semua makhluk hidup kita dengan enteng membunuh seekor semut dan menganggap hal itu sebagai hal sepele, maka itu telah menyalahi aturan latihan. Disiplin bermanfaat bagi semua dan, seperti aturan-pakai yang tertera di label botol obat, berfungsi menunjukkan apa yang menunjang dan apa yang mengurangi beban latihan. Kita harus mengenalnya dengan baik, menjaganya dengan teguh dan menerapkan dengan tegas.

2. Aturan umum yang kedua adalah, untuk tidak pernah menggunakan transformasi batin, sebagai alat untuk menyombongkan diri.

Ajaran secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menjadi ‘kekuatan adi duniawi’; yang maksudnya begini:

Seringkali di pohon-pohon atau di dekat sungai berdiam makhluk-makhluk halus, yang berbahaya kalau diganggu. Orang yang tahu akan hal ini akan bertindak hati-hati, dan berusaha untuk tidak merusak tanaman ataupun menggali tanah atau hal sejenisnya di tempat-tempat seperti itu. Tapi jangan kita menganggap hal itu hanya tahyul yang tidak berlaku bagi siswa spiritual, lalu bertindak sembarangan merusak tanaman, mengotori air, mendatangi tempat-tempat serupa itu dan bertingkah seenaknya disana.

Semua sikap takabur itu muncul dari keangkuhan, yang berlawanan dengan hakekat dari latihan kita. Orang yang takabur tidak didorong oleh rasa welas-asih ketika ia mau mendekati orang yang berpenyakit menular, misalnya. Hal itu semata-mata untuk menyombongkan diri dan menunjukkan bahwa ia kebal karena punya kekuatan batin.

3. Aturan umum ketiga, berkenaan dengan bahaya terjebak ke pandangan sempit.

Dalam berlatih, hendaknya kita tidak lagi bersikap diskriminatif; misalnya membeda-bedakan reaksi terhadap manusia dengan terhadap anjing, kendati keduanya sama-sama bersikap buruk terhadap kita. Jika terhadap manusia kita bersikap sabar, maka begitu pula hendaknya terhadap seekor anjing. Sikap membeda-bedakan ini terlebih-lebih jangan dilakukan terhadap sesama manusia —antara yang kaya dengan yang miskin, yang terpandang dengan tidak terpandang, atau sejenisnya.

Pendek kata, belajarlah bersikap setara terhadap semua makhluk hidup.

4. Ubahlah sikapmu, tapi berlakulah wajar.

Mengembangkan batin secara spiritual, artinya secara terus-menerus mengoreksi prilaku yang buruk, dan mengembangkan kualitas mental yang baik.

Meski demikian, tatkala kita mencapai kemajuan, bukan berarti sikap kita terhadap orang lain harus berubah secara drastis. Kita tidak perlu “menunjukkan” perubahan di dalam itu, apalagi dengan sikap dan dandanan yang dibuat-buat agar kelihatan layaknya orang suci.

5. Jangan membicarakan kesalahan orang lain.

Jangan pernah menuduh, mengkritik, atau mencari-cari, apalagi membesar-besarkan kesalahan siapapun, kecuali diri kita sendiri. Tentu saja kita boleh menasehati atau memberi saran agar orang lain dapat mengoreksi kesalahan atau kekeliruan mereka, apalagi bila mereka kita anggap sebagai sahabat kita. Tapi, bila ucapan kita dilatari oleh maksud untuk membanggakan diri dan mengecilkan orang lain, itu bertentangan dengan hakekat latihan kita. Karena aturan seperti ini mudah sekali terlupakan, kita harus menerapkannya dalam praktek sekarang juga!

6. Jangan menunjuk-nunjuk kesalahan orang lain.

Buanglah kegemaran menunggu dan memperhatikan sampai orang lain berbuat salah, sebaliknya kita harus selalu eling dan waspada terhadap perbuatan sendiri.

Ketika berjalan di tebing yang curam dan berbahaya, kita tidak usah memperhatian apa yang terjadi di kiri-kanan, selain setiap langkah kita. Dalam latihan, lebih bermanfaat jika kita memusatkan perhatian ke dalam diri —mawas-diri; bahkan bila kebetulan mengetahui kesalahan orang lain, segeralah berkata pada diri sendiri bahwa mungkin kita telah salah menduga yang bukan-bukan.

7. Bersihkanlah belenggu yang paling kuat.

Semua makhluk yang berada dalam lingkaran kelahiran dan kematian ini, sedikit banyak pasti punya belenggu emosi. Hanya kadarnyalah yang berbeda satu dengan lainnya. Belenggu-belenggu utama biasanya adalah nafsu-keinginan atau keserakahan, amarah, keangkuhan, iri-hati dan kebodohan. Kita harus bermawas-diri untuk mengetahui, berusaha lebih dulu menghancurkan belenggu yang paling kuat.

Jika keserakahan atau nafsu-keinginan merupakan emosi yang paling kuat, maka kita dapat mengatasinya dengan bermeditasi atas kesementaraan dan kekotoran jasmani ini. Bila yang dominan adalah kebencian dan amarah, kita mengembangkan meditasi welas-asih. Untuk kebodohan, latihlah meditasi dengan objek kekosongan. Untuk keangkuhan dan kesombongan, latihlah meditasi dengan objek kesementaraan, kandungan derita dalam hidup ini, kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, dan alam-alam yang menyedihkan. Jika kecemburuan atau iri-hati yang merajai, kita harus berlatih meditasi dengan objek rasa simpati, turut bergembira atas kebahagiaan orang lain.

Belenggu-belenggu tidak terhitung banyaknya, dan selama kita belum membersihkannya, ia akan merusak batin.

8. Jangan mengharapkan pujian.

Bila kita berlatih mengembangkan pencerahan dan kebijaksanaan, segenap usaha kita harus diabdikan untuk semua makhluk hidup. Latihan menjadi sesuatu yang tidak tulus dan murni jika ditujukan untuk mendapat pujian atau pahala. Harapan seperti itu bukan saja egois, tapi juga tak berguna, bahkan merugikan.

Manfaat bagi kita akan datang dengan sendirinya sebagai hasil dari latihan.

9. Hindari makanan beracun.

Jangan pernah secara sengaja menyantap makanan yang dapat merugikan kesehatan batin. Kita mesti tahu bahwa ada dua racun yang harus dihindari dalam latihan kita: kebodohan —pandangan salah ataupun keliru tentang ‘diri’— dan sikap mengasihi diri sendiri.

Bila racun yang pertama bereaksi, kita harus segera memuntahkannya dengan bermeditasi atas kekosongan. Bila racun yang kedua menggejala, bangkitkanlah welas-asih universal dan sifat altruistis dalam pikiran kita.

10. Jangan bersikap lembek.

Ini bukan berarti kita selalu memasang wajah angker dan bersikap keras terhadap orang dan makhluk hidup lainnya. Yang benar ialah, kita tidak boleh lembek terhadap belenggu-belenggu emosi sendiri. Dan memang karena toleransi yang keliru terhadap keserakahan, kebencian dan kebodohan, sehingga kita semakin erat terjerat jaring penderitaan.

Mulai sekarang, kita harus berhenti bersikap lembek terhadap “musuh di balik kulit” ini; sebaliknya, terus berusaha bersikap lemah-lembut terhadap sesama makhluk hidup.

11. Jangan membalas lelucon yang menyakitkan.

Bila ada orang mengejek atau menjadikan kita bahan tertawaan, janganlah membalas atau menjadi sakit-hati karenanya. Sadarilah bahwa, ketika Anda membalasnya, Anda telah memposisikan diri Anda lebih buruk dari sebelumnya, disamping menjadi tidak lebih baik dari mereka itu.

Gunakanlah itu sebagai latihan kesabaran!

12. Jangan ‘bersembunyi di balik semak-semak’.

Bilamana sisa-sisa pasukan tidak dapat mengalahkan musuh dalam suatu pertempuran terbuka, biasanya mereka menanti di balik semak-semak, menggunakan taktik gerilya untuk menyerang secara mendadak atau membokong.

Menunggu kesempatan baik untuk melancarkan balasan terhadap sikap orang lain yang menyakiti kita, sungguh bertentangan dengan tujuan latihan.

13. Jangan sengaja menusuk hati mereka.

Kita bisa menyakiti orang lain hanya dengan kata-kata tajam yang menyinggung masalah peka, dan langsung menusuk ke dalam hatinya. Kita sepantasnya juga bisa berhenti mengucapkan “mantra-mantra jahat” itu, sebelum menyakiti siapapun.

14. Jangan membebani seekor lembu dengan beban seekor ‘dzo’.

Dengan kata lain, jangan membagi beban kita kepada orang yang tidak bakalan sanggup memikulnya. ‘Dzo’ adalah nama khewan pembawa beban di Tibet, yang biasa digunakan untuk mengangkut barang dalam menempuh jarak yang jauh. Jika seekor lembu dipaksa mengangkut beban yang biasa diangkut seekor dzo, maka akibatnya akan merugikan.

Begitu pula, jika kita memberikan tugas kepada orang bodoh yang bahkan tidak menyadari kemampuannya sendiri. Tindakan ini hanya akan membebaskan kita untuk sementara waktu dari masalah, untuk kemudian menanggung masalah yang lebih berat di belakang hari.

Hukum Kausalitas tak akan pernah bisa dikelabui!

15. Jangan mengakui jasa orang lain.

Kita tidak boleh bersikap sepertinya bekerja sama dengan orang lain, tetapi ketika pekerjaan itu berhasil, lalu mengakuinya sebagai hasil karya sendiri. Seperti dua orang tentara yang bahu-membahu berjuang di medan pertempuran, tapi seorang di antaranya mengaku sebagai pahlawan yang berhak atas seluruh medali dan kenaikan pangkat.

16. Jangan pura-pura.

Dalam suatu pertandingan, janganlah bertindak pura-pura sehingga lawan Anda lengah, agar akhirnya dapat memenangkan pertandingan itu. Dalam setiap pertandingan, sportivitas hendaklah dijunjung setinggi-tingginya.

17. Jangan mengubah Dewa menjadi Setan.

Jika, bukannya berlatih membangkitkan kecerahan, kita malahan menguatkan belenggu emosi, maka ini dikatakan “mengubah Dewa menjadi Setan”.

Hal itu tidak akan terjadi apabila kita berlatih dengan sungguh-sungguh. Latihan kita, malah seharusnya diarahkan guna “mengubah Setan menjadi Dewa.”

18. Tak pernah ada kebahagiaan di atas penderitaan makhluk lain.

Menyebabkan makhluk lain menderita untuk memuaskan nafsu kita akan kesenangan dan kebahagiaan, jelas sekali bertentangan dengan tujuan latihan.