Melihat kehidupan dengan cara lain


"Your joy is your sorrow unmasked. "
~ Kahlil Gibran ~

Saya tidak tahu apakah Anda menyadari atau tidak kalau kita punya anggapan atau idealisasi masing-masing akan apa itu kebahagiaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan memang demikian adanya?
Si Abu punya idealisasi kalau ia akan berbahagia kalau ia menjadi pemimpin sejumlah besar umat beragama yang melingkupi Asia Tenggara misalnya, sementara Suweta membayangkan betapa bahagianya kalau ia berhasil menyekolahkan keempat putra-putrinya ke jenjang perguruan tinggi; lain lagi dengan Siok Gie yang membayangkan kalau ia akan benar-benar berbahagia kalau perusahaannya punya cabang di setiap kota-kota besar di Indonesia. Kita punya bayangan masing-masing akan apa itu kebahagiaan.

Dan di atas rel idealisasi itulah kita berjalan, mendaki, dari hari ke hari, seumur-hidup kita. Namun, ada —bahkan tak sedikit— diantara kita yang telah mencapai apa yang tadinya disangkanya menghadirkan kebahagiaan itu, namun ternyata tidak. Siok Gie melihat kalau apa yang telah dicapainya, belum membahagiakannya; dan sekarang ia sedang berusaha keras untuk mengembangkan sayap perusahaan sampai ke negri tetangga. Bayangannya akan kebahagiaan sudah bergerak menjauh; yang juga berarti ia belum juga merasa mereguk madu kebahagiaan. Lain lagi halnya dengan si Abu, si Suweta, atau yang lainnya.

Demikianlah kita-kita ini; kita punya bayangan masing-masing akan apa itu kebahagiaan, punya idealisasi masing-masing akan apa itu kebahagiaan. Namun kita temukan kalau ternyata bayangan atau idealisasi kita itu meleset, ternyata ia bergerak, bergeak dan terus bergerak. Namun, sampai sejauh ini, kita belum juga terusik untuk bertanya: apa sesungguhnya kebahagiaan itu?

Kalaupun pertanyaan itu terlintas di benak kita, kita tidak tahu apa jawabnya; dan kitapun tidak tahu kepada siapa mesti bertanya. Sementara, kita tak pernah menanyai diri sendiri: mengapa kita mendambakan kebahagiaan yang lain dari apa adanya kita kini? Padahal, bila saja kita menanyakan ini kepada diri sendiri, sangat boleh jadi kita akan melihat kehidupan —yang sedang kita langsungkan ini— secara lain, jauh berbeda dibanding sebelumnya; sehingga, daripadanya, kitapun akan menyikapinya, menjalaninya dengan cara lain.