Bisakah kita bermanfaat untuk orang lain?



Dijaman ketika hidup tidak terlampau mudah seperti saat ini; memikirkan diri sendiri bisa jadi sudah merupakan warna paling kentara dalam keseharian kita. Padahal, memikirkan diri sendiri merupakan cikal bakal munculnya sikap mementingkan diri sendiri. Dan ketika seseorang sudah mementingkan dirinya sendiri; maka lupakanlah keberadaan sendi-sendi pengikat yang menghubungkan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Sebab, ketika setiap orang sudah mementingkan diri sendiri; tidaklah mungkin mereka bersedia mendengarkan suara yang sayup berbisik melalui hati nurani. Jangan tanyakan lagi apa pedulimu kepada orang lain. Sebab, tanpa hati nurani, kepedulian kepada orang lain sudah dengan sendirinya berubah menjadi jenazah, yang tak mungkin kunjung bangkit hidup kembali. Sementara itu, dibelahan bumi kerontang hampir seribu lima ratus tahun yang lalu, konon seorang bijak berkata: Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain. Mungkinkah dijaman ini kita bisa menjadi manusia yang ’sebaik-baiknya’ itu?

Memberi. Sebuah kata yang penuh misteri. Mengapa kita harus memberi kalau hidup kita sendiri saja sudah sesusah ini? Sebuah pertanyaan yang beralasan. Terutama jika hidup kita sudah diliputi oleh semangat materialisme yang membutakan hati. Dengan demikian, sudah pasti hanya sedikit manusia yang bisa memberi kepada orang lain. Berapa pendapatan anda? Dijaman ini, anda yang berpendapatan 5 juta rupiah atau lebih sudah menjadi bagian elit yang konon tidak lebih dari 3% saja dari seluruh pegawai di Indonesia. Pendapatan resmi yang saya maksudkan. Jika pendapatan anda kurang dari 5 juta; dengan dua atau tiga orang anak, bagaimana anda mengelolanya – dan terutama bagaimana anda bisa memberi sebagian dari pendapatan itu untuk menjadi manfaat bagi orang lain? Sulit sekali bukan? Kita tidak sempat lagi memberi manfaat kepada orang lain. Maaf. Tapi, ya memang begitulah mekanisme berpikir materialistik kita. Betapa Tuhan berpihak kepada orang-orang kaya!

Tapi…, besar atau kecilnya nilai pendapatan tidak selalu melahirkan perbedaan bermakna atas sikap kita. Sekalipun, misalnya, pendapatan kita lebih tinggi dari itu, bahkan puluhan juta sekalipun. Atau mungkin anda, ada yang berpendapatan ratusan juta sebulan. Pada situasi seperti itu, kita bisa saja terjebak dalam bentuk ketidakberdayaan lain. Bukankah kadang kita masih menganggap bahwa pajak itu menghapuskan zakat? Sehingga kita merasa tidak lagi perlu membayar zakat karena – menurut kita – pajak sudah dengan sukarela atau terpaksa dibayarkan. Batin kita serasa sesak kalau melihat besaran angka pajak yang dipotong langsung di lembar kertas gajian kita. Lalu, sebuah serapah melompat dari mulut kita: Jalan didepan rumah gue, tetap saja gue-gue juga yang ngebenerin! Sedekah? Tanyakan saja kepada pemerintah. Bukankah mereka yang memungut uang pajak kita? Bahkan sebelum kita mencicipi hasil peras keringat itu. Semuanya sudah all in one. Lihatlah, Tuhan telah salah memilih orang. Tapi, setidaknya, mereka yang diberi Tuhan lebih banyak uang memiliki lebih banyak peluang. Untuk memberi manfaat kepada orang lain. Sekali lagi, Tuhan berpihak kepada orang-orang kaya!

Hey tunggu dulu; apa iya demikian? Jika Tuhan hanya memberi ruang kepada mereka yang banyak uang; apa bedanya Dia dengan penguasa lalim? Akui saja kalau kita sering terjebak dalam pandangan bahwa memberi selalu berurusan dengan materi. Tidak lebih dari itu. Kita lupa, bahwa banyak hal non-material yang bisa kita berikan kepada orang lain. Dan itu memberi manfaat kepada mereka. Bahkan konon katanya, tersenyum saja sudah senilai dengan sedekah. Tentu saja senyum yang tulus. Lantas, jika ternyata Tuhan menyediakan ruang untuk memberi manfaat kepada orang lain itu melalui begitu banyak jalan; indah rupanya itu semua. Indah memberi manfaat kepada orang lain itu adanya. Karena, sekalipun kita termasuk jenis manusia-manusia dengan pendapatan yang pas-pasan – misalnya – kita tidak pernah kehilangan ruang untuk memberi manfaat kepada orang lain – supaya kita bisa menjadi sebaik-baiknya manusia.

Jika saya tidak punya uang; bolehkah saya memberi manfaat kepada orang lain dengan tenaga saya? Jika saya tidak memiliki tenaga yang besar, bolehkah saya memikirkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain? Duh, maaf. Saya bukan orang pintar. Tak mungkin saya bisa berpikir sejenius itu. Bahkan nilai matematika saya saja berwarna merah; bolehkah saya memberi manfaat kepada orang lain dengan mengatakan kepada mereka; anda orang yang diberkahi. Benar. Anda adalah orang-orang yang diberkahi. Anda mendapatkan bentuk tubuh yang indah. Tampan dan cantik. Dan menawan. Bisakah keindahan itu memberi manfaat kepada orang lain? Tidak. Saya tidak tampan. Jauh dari kata tampan. Bolehkah saya menampankan perilaku saya agar tak seorangpun terusik oleh tingkah dan langkah saya?

Tolong ijinkan saya untuk memberi manfaat kepada orang lain. Agar saya tidak kehilangan kesempatan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya. Tolong. Karena bahkan saya tidak tahu bagaimana caranya. Tolong. Karena saya tidak memiliki apapun yang bisa diberikan kepada orang lain. Jangan tanya berapa pendapatan saya, karena bahkan sebelum tanggalan dikalender menuju ke bulan tua; hati saya sering gundah – bisakah anak dan istri saya mendapatkan nafkah. Nafkah yang halal, maksud saya. Jangan tanya apa yang bisa saya kontribusikan karena bahkan selama ini saya masih mengharapkan seseorang datang dan menolong saya agar terbebas dari segala kesulitan. Saya mau. Saya mau memberi manfaat kepada orang lain. Tapi tolong. Saya tidak tahu bagaimana melakukannya. Tetapi, jika itu boleh dengan sesuatu yang bukan uang, mungkin saya bisa. Iya. Setidaknya, saya akan memberi manfaat kepada orang lain dengan cara tidak membuat mereka menjadi sulit. Jika saya tidak membuat orang lain susah; apakah bisa diterima itu sebagai pemberian bagi mereka? Jika saya tidak menjadikan orang lain kesulitan karena saya, bisakah saya menjadi sebaik-baiknya manusia? Bukankah saya boleh mengatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang yang tidak menyulitkan orang lain. Ah, entahlah. Itu urusan Tuhan saja. Jika Tuhan setuju, mungkin saya bisa menjadi sebaik-baiknya manusia, dengan tidak menyulitkan orang lain. Barangkali. Sebut saja itu cara paling murah. Paling lemah. Tapi, belum tentu selalu paling mudah.