Kekerasan atas nama agama

All religions agree upon the necessity to control the undisciplined mind that harbours selfishness and other roots of trouble, and each teaches a path leading to a spiritual state that is peaceful, disciplined, ethical, and wise. It is in this sense that I believe all religions have essentially the same message.

~ Dalai Lama XIV.


Kecuali ia memang berhasil diredam di dalam, konflik internal —di dalam diri seseorang atau sekelompok orang— mau-tak-mau, cepat atau lambat, bermuara pada konflik eksternal. Dan, disadari atau tidak, konflik internal ini ternyata menular. Seseorang yang di benaknya penuh konflik bisa dengan mudah menularkannya kepada orang lain yang berinteraksi dengannya, dan yang punya vibrasi mental-spiritual yang serupa. Ini mirip sekali dengan paradigma 'perokok pasif' itu.

Oleh karenanya, orang-orang tua dulu sering menasehatkan kalau sedang marah lebih baik ke luar rumah, apakah itu ke tanah lapang, ke taman-taman kota, atau ke pantai, sehingga tidak mengkontaminasi seisi rumah. Ketika saya marah di rumah, walaupun kemarahan saya itu tidak saya lontarkan dalam kata-kata, dalam tindakan atau sikap, saya sebetulnya sudah mengkontaminasi istri dan anak-anak saya. Kalau daya-tahan mereka kurang, mereka bisa terinfeksi. Dan demikian juga sebaliknya. Kalau Anda selalu berhati damai, penuh kasih-sayang, dan yang sejenisnya, Andapun akan memancarkan vibrasi itu di lingkungan manapun Anda berada, kendati Anda tak mengucapkan sepatah-katapun, atau menggerakkan sebuah jari sekalipun.

Dan, kalau Anda sependapat dengan saya bahwasanya adalah mustahil suatu ajaran agama atau kepercayaan manapun di muka bumi ini yang mengajarkan kekerasan —dan bukan yang sebaliknya— Anda juga akan melihat kalau kekerasan yang dilancarkan oleh sekelompok orang yang mengatas-namakan agamanya itu sebetulnya sebentuk kesesatan. Yang seperti inilah yang sebetulnya 'musuh dalam selimut agamanya sendiri'. Mereka begitu tega langsung mencorengkan noda di wajah sesuatu yang sesungguhnya luhur, karena lahir dari keluhuran budi dan atas anugerah Hyang Mahaluhur Itu Sendiri.

Rupanya benar nasehat para bijak yang mengingatkan kita kalau Setan bisa mengambil banyak wujud, guna menghancurkan umat manusia. Ia bisa mengambil wujud apa saja; bisa mengambil wujud pemerintah yang zolim, bisa mengambil wujud kelompok beragama dan berkepercayaan yang menyelewengkan ajaran luhur yang dianutnya, bahkan bisa mengambil wujud bujuk rayu berupa kasih-sayang dan kebanaran yang seolah-olah mengayomi. Sungguh luar biasa bukan ? Berhati-hatilah !

Oleh karenanyalah para bijak kita tempo-dulu tak henti-hentinya mengingatkan umat manusia untuk senantiasa 'éling lan waspada'. Dan mengingat berbagai kejadian belakangan ini, tutur keluhuran para bijak itu kian terasa signifikansi dan relevansinya.