Wanita dan Kekerasan

Wanita, memang ditakdirkan hadir dengan penuh kelembutan. Sangat jauh dari kesan kekerasan. Digambarkan, senyumnya selalu tersungging, alis bulan sepenanggalan, rambut bak kembang mayang terurai, kulit mulus bak pualam dan seabreg keindahan lainnya. Sungguh sosok yang indah, penuh kelembutan dan sekali lagi, sangat jauh dari kesan kekerasan.

Tapi mengapa, sosok wanita juga berkaitan dengan kekerasan. Entah sebagai korban atau malah sebagai penyebab kekerasan itu sendiri. Sebagai korban, kita sudah sering mendengarnya. Mulai dari istri yang disiksa suami karena dianggap kurang pecus mengerjakan pekerjaan rumah, kurang cakap mendidik anak atau seringkali pula dianggap kurang pintar memuaskan suami. Ujung-ujungnya, wanita inilah yang menjadi korban dari semua sikap kekerasan yang dilakukan –tentu saja- oleh laki-laki.

Angka kekerasan terhadap wanitapun semakin meningkat setiap tahunnya. Meskipun angka-angka tersebut sangat diyakini jauh lebih kecil daripada kejadian yang sebenarnya. Selama ini masih banyak wanita-wanita yang enggan melapor alias dipendam dengan alasan malu atau malah takut dianggap sebagai membuka rahasia rumah tanga. Kebanyakan mereka, masih menyakini swargo nunut, neroko katut (Surga dan neraka, wanita ikut aja…). Kekerasan yang mereka alami mulai dai makian, pemaksaan hubungan badan sampai dengan kekerasan fisik.

Tapi di dalam kelembutannya, wanita juga banyak menyimpan pesona meraih kekuasaan. Kekuasaan yang kental dengan nuasa kekerasan. Dalam kisah lama, tradisi kekuasaan bagi wanita sesungguhnya sudah ada sejak zaman Hindu seperti Ratu Shima di Kalingga, Ratu Kencana Wungu di Majapahit, Ratu Kalinyamat zaman Mataram dan cerita-cerita rakyat seperti Calonarang.

Para wanita yang berkuasa tersebut ternyata lebih kretaif dan bervariasi dalam menggunakan sarana untuk mencapai kekuasaan. Ratu Shima mendapatkan kekuasaan di Kalingga bukan karena kesaktiannya, tetap lebih utama karena keadilan dan kejujurannya. Lain halnya dengan Ratu Kencana Wungu (dalam sejarah disebut Dewi Suhita) yang menemukan kekuasaan dengan cara memanfaatkan kekuatan pria.

Ratu Kencana Wungu telah berhasil menundukkan tokoh sakti, Kebo Macuet yang hendak berkuasa di Majapahit melalui kesaktian Adipati Menak Jingga (Bre Wirabumi). Dan Ketika Adipati Menak Jingga menginginkan tahta Majapahit sekaligus memperistrinya, lagi-lagi Kencana Wungu memanfaatkan kelihaian dan ketampanan seorang pria bernama Anglingdarma. Upaya meraih kekuasaan dengan memanfaatkan kekuatan pria semacam ini juga terjadi pada Ratu Kalinyamat.

Dari ketiga contoh wanita penguasa tersebut, tampaknya hanya Calonarang yang menggunakan kemampuan dan keunggulan pribadi, yaitu kesaktian dalam menebar racun dan kelihaian mengintimidasi penduduk di wilayah kekuasaannya.

Ada juga wanita yang menjadi penyebab aksi kekerasan. Kita bisa sebut nama Cleopatra dari Kerajaan Romawi Agung. Di kerajaan yang memuja banyak dewa ini, Cleopatra digambarkan sebagai wanita yang sangat menggoda hingga akhirnya menjadi perebutan kaisar-kaisar di sana. Malah Cleopatra juga disebut sebagai salah satu penyebab perang di zamannya.

Atau kalau mau yang lebih lokal lagi adalah kisah tentang Ken Arok. Pemuda sakti ini akhirnya sampai terbebani dendam nyawa 7 turunan dengan garis silsilah Adipati Tunggul Ametung, suami Ken Dedes yang pertama sebelum akhirnya wanita penuh pesona ini dinikahi Ken Arok.

Kalau membaca sejarah itu, kita akan tahu Ken Arok sangat terpesona dengan keindahan betis Ken Dedes dan membuatnya sangat berambisi untuk berkuasa dan memperistri Ken Dedes, apapun caranya. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Ken Arok seandainya saat itu dia tidak hanya melihat betis Ken Dedes.

Keindahan betis itu harus dibayar dengan 14 nyawa (7 turunan dari Ken Arok dan 7 turunan dari Tunggul Ametung). Lalu berapa nyawa yang harus dibayar untuk keindahan paha, payudara atau malah kemaluan Ken Dedes?

Karena itu, wahai wanita, jagalah auratmu dan pesonamu baik-baik karena itu bisa membuat laki-laki merasa di surga atau di jurang neraka.